Membawa Harapan, Jakarta Perpanjang PSBB Dua Minggu Lagi
›
Membawa Harapan, Jakarta...
Iklan
Membawa Harapan, Jakarta Perpanjang PSBB Dua Minggu Lagi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperpanjang PSBB kedua hingga 14 hari ke depan. Perpanjangan dilakukan bersamaan dengan angka kasus aktif yang mulai melandai.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial berskala besar atau PSBB kedua di Jakarta akhirnya diperpanjang lagi dua minggu. Keputusan perpanjangan dilakukan setelah mencermati potensi kenaikan angka kasus positif Covid-19 jika diberlakukan pelonggaran. Di sisi lain, dua minggu terakhir terjadi pelandaian kasus aktif Covid-19.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (24/9/2020), dalam keterangan tertulis menjelaskan, perpanjangan PSBB itu hasil koordinasi Pemprov DKI Jakarta dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. ”Dalam rapat koordinasi terkait antisipasi perkembangan kasus Covid-19 di Jabodetabek, Menko Kemaritiman dan Investasi menunjukkan data bahwa DKI Jakarta telah melandai dan terkendali, tetapi kawasan Bodetabek masih meningkat sehingga perlu penyelarasan langkah-langkah kebijakan. Menko Marinves juga menyetujui perpanjangan otomatis PSBB DKI Jakarta selama dua minggu,” kata Anies.
Merujuk pada Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 959 Tahun 2020 poin kedua bagian memutuskan, di sana disebutkan, perpanjangan pembatasan selama 14 hari berikutnya bisa dilakukan jika kasus belum menurun secara signifikan berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi DKI Jakarta.
Tanpa pembatasan ketat dan dengan tingkat pengetesan tetap, seperti saat ini, pertambahan kasus harian di Jakarta diprediksi mencapai 2.000 per hari pada pertengahan Oktober, sedangkan kasus aktif akan mencapai 20.000 pada awal November.
Dalam pekan PSBB, lanjut Anies, mulai tampak tanda-tanda pelandaian kasus positif dan kasus aktif di Jakarta seiring berkurangnya mobilitas warga saat dilakukan pengetatan PSBB. Pada PSBB transisi, tepatnya pada akhir Agustus dengan menyandingkan kasus positif, angka sembuh, dan angka meninggal terdapat 7.960 kasus aktif. Lalu, pada 11 September atau masih pada periode PSBB transisi, dengan menyandingkan tiga faktor itu ada 11.824 kasus aktif. Dengan begitu, pada 12 hari pertama September itu pertambahan kasus aktif sebanyak 49 persen atau 3.864 kasus.
Pada periode PSBB, yakni pada 12 hari berikutnya, per 23 September tercatat kasus aktif ada 12.277. Artinya, penambahan jumlah kasus aktif masih terjadi, tetapi berkurang menjadi 12 persen atau 1.453 kasus.
”Pelandaian grafik kasus aktif bukanlah tujuan akhir. Kita masih harus terus bekerja bersama untuk memutus mata rantai penularan. Pemerintah terus tingkatkan 3T dan warga perlu berada di rumah dulu, hanya bepergian bila perlu sekali dan terapkan 3M,” imbau Anies.
Pemprov DKI menyatakan, jumlah kasus positif bertambah sedikit lebih banyak dari sebelumnya seiring dengan peningkatan jumlah tes. Namun, jumlah kasus sembuh juga meningkat pesat.
Widyastuti, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, menyatakan, tingkat kesembuhan di DKI Jakarta sekarang sudah 77 persen. Namun, seiring jumlah kasus aktif masih bertambah, tetap perlu menjadi perhatian.
Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian khusus, menurut Anies, adalah angka kematian yang masih terus meningkat meski menunjukkan tanda awal pelandaian, di mana tingkat kematian saat ini sebesar 2,5 persen.
Penelusuran dan tes
Yayat Supriatna, pengamat perkotaan, mengatakan, dirinya mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk lebih banyak melakukan penelusuran dan pengetesan untuk bisa mendapatkan lebih banyak orang yang berkontak erat dengan pasien Covid-19 juga, khususnya orang tanpa gejala (OTG). Itu karena saat ini persebaran virus korona sudah merata, dengan kluster paling banyak ada di perkantoran dan permukiman.
Saat ini, menurut Yayat, mendesak dilakukan pemetaan dan pendataan bagi siapa saja yang memang mungkin OTG untuk pendeteksian. Kebijakan PSBB memang membatasi, tetapi itu hanya di sektor tertentu, seperti di perkantoran, perbelanjaan, ataupun angkutan umum.
Di sektor permukiman atau rumah-rumah, kegiatan tidak bisa dibatasi. Untuk itu, pemprov sebaiknya memaksimalkan peran posko Covid-19 di tingkat RT untuk bisa melakukan rapid test sebanyak mungkin di tingkat permukiman, selain mungkin yang selama ini sudah dikerjakan puskesmas.
Ia menyarankan sebaiknya ada peralatan rapid test yang disiapkan di setiap posko di RT dengan sukarelawan yang dilatih untuk mampu menyelenggarakan rapid test. Sementara pihak RT mesti terus-menerus menyosialisasikan perlunya pasien bersikap terbuka, memberi tahu siapa saja yang berkontak erat dengannya sampai saat ia dinyatakan positif.
Menurut Yayat, keterbukaan ini yang saat ini sulit karena orang cenderung menutupi sehingga memutus informasi dan penelusuran. ”Kalau di tingkat RT, RT-nya bisa diberi insentif lebih untuk bisa melakukan sosialisasi dan mengajak masyarakat untuk mau menjalani tes rapid. Pemerintah juga bisa membuat kampanye, seruan mengajak masyarakat untuk mau tes rapid dan terbuka,” ujarnya.
Memang, ada sejumlah persoalan yang mesti dijawab pemerintah, misalnya apabila tes itu gratis, siapa yang menanggung. Jika tes berbayar, siapa yang menanggung. Demikian juga bahan tes siapa yang menyediakan.
Selain itu, juga urusan birokrasi bagi masyarakat yang tidak mampu, apabila dari rapid test ia ditemukan reaktif dan harus melakukan uji usap, siapa yang akan menanggung biayanya. Apabila pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab, Yayat menyarankan supaya ajakan tes rapid bisa diberikan bersamaan dengan pendistribusian paket bantuan sosial.
Anies dalam keterangan tertulis juga menyatakan, meski telah menunjukkan tanda awal pelambatan, peningkatan kasus masih perlu ditekan. Tanpa pembatasan ketat dan dengan tingkat pengetesan tetap seperti saat ini, pertambahan kasus harian di Jakarta diprediksi mencapai 2.000 per hari pada pertengahan Oktober, sedangkan kasus aktif akan mencapai 20.000 pada awal November.
Seperti diberitakan, cakupan tes cepat dan swab di Jakarta terus meningkat seiring bertambahnya kapasitas pengetesan. Hingga 23 September, Jakarta telah melakukan tes PCR terhadap 857.863 orang atau 80.588 orang per sejuta penduduk. Kapasitas tes di Jakarta per minggu lebih dari 6 kali lipat standar WHO, yang mana WHO menetapkan standar jumlah tes ideal bagi setiap wilayah sebanyak 1 orang per 1.000 populasi setiap minggu.