Generasi muda kehilangan waktu mengembangkan diri secara optimal selama pandemi berlangsung. Kendati cemas, mereka menyimpan harapan besar akan masa depan sesudah pandemi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
”Aku putus asa dan semuanya berantakan. Aku hanya bisa melihat ke luar jendela. Aku hanya bisa berada di kamar.”
Kalimat itu disampaikan oleh Park Jimin, anggota BTS, grup musik asal Korea Selatan, pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (23/9/2020) malam waktu Indonesia. Ia dan enam anggota BTS lain berpidato tentang perspektif generasi muda terhadap pandemi Covid-19. Mewakili pemuda-pemudi, mereka berbagi cerita di hadapan para petinggi negara di dunia.
Mereka bercerita tentang kehidupan mereka—dan mungkin semua orang—yang mendadak hanya sebesar kamar tidur. Semua rencana tahun ini terpaksa batal. Darah muda yang meletup dengan semangat tiba-tiba padam disiram air dingin.
Dalam kondisi itu, mereka merasa tersesat. Lupa tujuan hidup. Masa depan yang awalnya dikira cerah jadi berkabut.
Kondisi ini juga dialami Juhandi (20), mahasiswa Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Ia mengaku kabarnya ”tidak begitu baik”. Selain punya tuntutan kuliah daring, ia kini nyambi bekerja paruh waktu di sebuah kedai kudapan. Pandemi mengharuskannya punya uang jajan sendiri.
”Ini masa yang menantang bagi keluargaku. Ayahku bekerja sebagai karyawan katering yang pendapatannya berasal dari pesta. Kini tidak ada lagi pesta karena pandemi. Untuk sementara, hanya ibu yang punya pendapatan di rumah. Aku ingin belajar mandiri. Setidaknya pendapatanku sekarang bisa untuk makan sehari-hari,” kata Juhandi saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (24/9/2020).
Pandemi tidak hanya berdampak ke perekonomian keluarga. Kesehatan jiwanya ikut terdampak. Menghabiskan hari-hari di kamar indekos membuat Juhandi uring-uringan. Pikirannya berat memikirkan jika pandemi berlangsung lebih lama. Kata dia, kewarasannya menipis.
Theresia Benedikta (20), mahasiswa jurusan sastra Inggris, mengatakan, ia dirumahkan dari pekerjaan sampingannya sebagai guru di tempat bimbingan belajar akibat pandemi. Padahal, pendapatan sebagai guru menunjang studinya, seperti untuk membeli buku.
Di sisi lain, dia khawatir pandemi bakal memengaruhi lapangan pekerjaan di masa depan. Perubahan teknologi kini kian cepat dan masif. Ia cemas lapangan pekerjaan yang ada digantikan oleh mesin.
”Itu berarti persaingan antartenaga kerja akan semakin ketat. Aku akan lulus 1-2 tahun lagi. Artinya, waktuku untuk mempersiapkan kemungkinan itu sangat singkat,” kata Theresia.
Untuk menyiasati hal itu, Theresia mendaftar sebagai karyawan magang di sebuah perusahaan manajemen acara. Ia ingin membangun jaringan kerja sejak awal dan belajar cara bekerja secara daring. Hingga kini ia masih beradaptasi.
Tantangan generasi muda
Generasi muda disebut sudah mengalami tantangan ganda sebelum pandemi. Tantangan itu meliputi perubahan iklim, teknologi, serta perubahan model pendidikan dan pekerjaan. Tantangan tersebut kini semakin berat dan dampaknya meluas.
Menurut hasil survei Save the Children di Indonesia, anak-anak akan menghadapi tujuh risiko akibat pandemi. Survei dilakukan secara daring pada 10-27 April 2020. Responden mencakup 11.989 orangtua/publik, 4.698 guru, lalu diikuti survei lanjutan terhadap 883 responden lain. Survei juga dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 417 kepala desa, kader kesehatan, guru, serta orangtua di kota dan desa.
Risiko pertama adalah kesejahteraan anak berkurang karena pendapatan orangtua hilang (30 persen) atau menurun (70 persen). Kedua, anak kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar. Ketiga, anak kesulitan mengakses layanan pendidikan berkualitas. Keempat, dukungan anak dengan disabilitas terbatas.
Kelima, banyak anak kehilangan orangtua karena 60 persen kasus Covid-19 terjadi pada penduduk usia produktif dan memiliki anak. Keenam, kerentanan anak terhadap kekerasan. Ketujuh, bertambahnya kesengsaraan korban bencana alam karena 60-70 persen korban bencana di Indonesia adalah anak-anak, perempuan, dan lansia.
Berdasarkan laporan Youth and Covid-19 oleh Organisasi Pekerja Internasional (ILO), pandemi berdampak besar khususnya bagi anak muda berusia 18-29 tahun. Dampak itu meliputi bidang pekerjaan, edukasi, kesehatan jiwa, hak, dan aktivitas sosial.
Antusias
Menyikapi tantangan yang ada, perwakilan Unicef di Indonesia dan aktivis muda Vania Santoso mengatakan, generasi muda antusias untuk membuat perubahan. Namun, pemuda butuh diberi kesempatan untuk bersuara dan melakukan kerja nyata (Kompas.id, 28/7/2020).
Suara anak muda pun diharapkan didengarkan oleh pemerintah. Anak muda dinilai bisa memberi sudut pandang baru bagi para pembuat kebijakan.
”Saya percaya bahwa anak muda adalah mitra yang setara, bukan sekadar topik bahasan,” kata Vania.
Sementara itu, Juhandi optimistis masa depan akan baik jika setiap anak muda berusaha untuk beradaptasi. Menurut dia, itu hal yang mungkin mengingat manusia pernah mengalami pandemi seabad lalu.
Adapun Theresia cukup optimistis akan masa depan. Dia berharap agar pandemi mengajarkan semua orang untuk lebih solid dan memahami satu sama lain. Dengan begitu, segala tantangan bisa dilewati dengan mudah.
”Mari memimpikan masa depan ketika dunia kita tidak lagi hanya sebatas kamar. Kita mungkin selalu melihat kegelapan dan sendirian. Tetapi, malam selalu paling gelap sebelum fajar menyingsing. Hidup berjalan terus. Mari terus hidup,” tutup BTS pada Sidang Umum PBB.