Kasus Covid-19 di Myanmar melonjak setelah wabah itu merebak di Negara Bagian Rakhine, wilayah barat negara itu, pada pertengahan Agustus lalu dan kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lain.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YANGON, KAMIS — Myanmar telah mengarantina puluhan ribu orang untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19. Namun, para ahli kesehatan masyarakat dan dokter di negara itu mengingatkan sekaligus cemas bahwa sistem perawatan dan fasilitas kesehatan yang rapuh di negara itu akan jebol karena lonjakan pasien.
Myanmar hingga Kamis (24/9/2020) memilih mengarantina sedikitnya 45.000 orang. Mereka termasuk pasien terkonfirmasi Covid-19 maupun orang yang diduga terpapar virus korona tipe baru itu, tetapi belum dites. Mereka adalah orang-orang yang diduga pernah berkontak erat dengan pasien terkonfirmasi dan para pekerja migran yang kembali dari luar negeri.
Mereka ditempatkan di gedung-gedung sekolah, biara, hingga kantor-kantor pemerintahan. Sebagian besar karantina mandiri itu dijalankan oleh sukarelawan. Mereka yang tidak memiliki gejala atau gejala ringan dirawat di rumah sakit atau dikarantina. Perawatan dan karantina besar-besaran digelar sebagai bagian dari rencana ambisius Pemerintah Myanmar untuk melawan pandemi.
Namun, strategi ”penahanan maksimum” yang dilakukan oleh Myanmar sejak kasus pertama dikonfirmasi pada bulan Maret dinilai dapat menjadi bumerang. Fasilitas yang kelebihan beban membuat orang bakal tidak dapat dikarantina sama sekali. Pendapat itu disampaikan pakar kesehatan masyarakat setempat, Kyaw San Wai.
”Strategi ini dapat diterapkan hingga pertengahan Agustus mengingat beban kasus yang rendah di Myanmar,” kata Kyaw. ”Namun, karena jumlah kasus meningkat secara dramatis dari akhir Agustus, terutama di Yangon, pendekatan ini dengan cepat mendorong pusat kesehatan dan pusat karantina ke tepi jurang.”
Pejabat dari Kementerian Kesehatan Myanmar sejauh ini tidak dapat dikontak untuk memberikan tanggapan.
Setelah sempat berminggu-minggu tanpa penularan secara lokal, Myanmar melaporkan wabah di Negara Bagian Rakhine, wilayah barat negara itu, pada pertengahan Agustus lalu. Sejak itu kemudian wabah dilaporkan telah menyebar ke seluruh negeri. Pada Kamis pekan ini, pihak berwenang melaporkan 535 infeksi baru dan tiga kematian, membuat total kasus terkonfirmasi berjumlah 7.827 kasus dan 133 kematian.
Setelah sempat berminggu-minggu tanpa penularan secara lokal, Myanmar melaporkan wabah di Negara Bagian Rakhine. Sejak itu kemudian wabah dilaporkan telah menyebar ke seluruh negeri.
Beberapa negara Asia dinilai telah menerapkan strategi penahanan yang ketat. Pasien terkonfirmasi Covid-19 dirawat di rumah sakit, sementara penderita yang lain, khususnya orang-orang tanpa gejala atau mereka yang pernah kontak dengan warga yang positif Covid-19, diisolasi di rumah.
”Di negara lain, mereka membiarkan orang tinggal di rumah, dan mereka yang dirawat di rumah sakit hanya jika mereka dalam kondisi parah,” kata Dr Kaung Myat Soe, kepala rumah sakit sementara di Yangon. ”Di negara ini kami khawatir anak-anak kecil atau orang tua menjadi korban, jadi kami mengisolasi mereka.”
Merujuk data Kementerian Kesehatan Myanmar, jumlah orang yang dikarantina telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sebulan terakhir. Pada Agustus lalu jumlahnya 19.000 orang, kini menjadi lebih dari 45.000 orang. Setelah beberapa dekade diabaikan di bawah kekuasaan militer, sistem kesehatan Myanmar telah menjadi salah satu yang terlemah di dunia. Hingga awal tahun ini, hanya ada 330 tempat tidur perawatan intensif untuk 54 juta penduduk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2018 menyebutkan, jumlah perbandingan dokter adalah 6,7 orang per 10.000 orang. Pihak berwenang berlomba untuk membangun dan meminta lebih banyak fasilitas untuk menampung jumlah tersebut. Namun, realitasnya belum terdata dengan baik hingga kini.
Kisah fasilitas-fasilitas tanpa listrik atau air, lalu cerita pasien positif yang dipaksa berbagi kamar dengan orang yang belum dites telah diberitakan di media. ”Adanya ketergesaan untuk memobilisasi tempat baru itu artinya pusat-pusat karantina baru ini kurang siap untuk menangani kiriman besar orang. Pada gilirannya (hal itu) mulai merusak strategi karantina secara maksimum,” kata Kyaw.
Seorang perempuan warga Yangon yang meminta tidak disebutkan namanya mengatakan, selama tinggal di rumah sakit dengan gejala Covid-19 ringan, dia tidak diizinkan pergi ke kamar mandi. Sebaliknya, dia dan seorang teman sekamarnya justru diberi kantong plastik untuk buang air kecil maupun besar.
”Tiga malam dan dua hari saya di rumah sakit seperti berada di neraka,” kata perempuan itu yang kemudian memilih pindah ke sebuah hotel.
Myanmar memiliki sejarah mobilisasi masyarakat pada saat krisis. Pemimpin pemerintahan, Aung San Suu Kyi, telah meminta masyarakat mendukung upaya memerangi virus tersebut.
Warga yang menjalankan pusat karantina di Delta Irrawaddy mengatakan, mereka bergantung pada sumbangan untuk mendapatkan makanan dan peralatan pelindung. ”Tanpa bantuan donor, keadaan akan menjadi buruk,” kata Ko Ko Lin, salah seorang sukarelawan. (REUTERS)