Pemerkosa Anak Dituntut 15 Tahun Penjara, Keluarga Korban Berharap Hukuman Bakal Lebih Berat
›
Pemerkosa Anak Dituntut 15...
Iklan
Pemerkosa Anak Dituntut 15 Tahun Penjara, Keluarga Korban Berharap Hukuman Bakal Lebih Berat
Sistem hukum dan undang-undang di Indonesia belum memihak keluarga dan korban kejahatan seksual. Meski menjadi korban, mereka masih dibebankan menyiapkan bukti-bukti dan saksi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Depok mendakwa SM (42), pemerkosa anak sekaligus pengurus Gereja Santo Herkulanus, dengan hukuman 15 tahun penjara. Pihak keluarga saat ini masih menunggu proses penyidikan dari berkas laporan kedua masuk ke pengadilan dan berharap hukuman SM bertambah berat.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok Herlangga Wisnu Murdianto melalui keterangan tertulis mengatakan, Kepala Kejaksaan Negeri Depok Arief Sapriyanto selaku Kepala Seksi Pidana Umum telah menunjuk jaksa penuntut umum sebanyak tiga orang dalam proses penuntutan terhadap terdakwa SM. Jaksa penuntut umum tersebut adalah Jaksa Muda Siswatiningsih, Jaksa Pratama Devi Ferdiani, dan Ajun Jaksa Tompeyan Jovi Pasaribu.
”Kejaksaan Negeri Kota Depok mendakwa SM dengan tiga pasal alternatif, yaitu Pasal 82 Ayat 2 juncto Pasal 76 e Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP,” kata Herlangga, Kamis (24/9/2020).
Selanjutnya, Pasal 82 Ayat 1 juncto Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Terakhir, Pasal 292 KUHP juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Kuasa hukum dan orangtua korban berharap ada putusan hukuman yang lebih berat karena masih ada satu berkas dalam proses penyelidikan Kepolisian Resor Metro Kota Depok.
”Terdakwa terancam hukuman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun. Saat ini terdakwa ditahan oleh penuntut umum di rumah tahanan negara sambil menunggu penetapan sidang untuk proses penuntutan,” tutur Herlangga.
Ia menambahkan, pelimpahan berkas perkara SM ke Pengadilan Negeri Depok telah dilakukan pada Senin (21/9/2020). Berita pelimpahan tersebut berdasarkan surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa dengan nomor 442/m.2.20/Eku.2/09/2020.
Kuasa hukum pihak gereja dan keluarga korban, Azas Tigor Nainggolan, menyatakan menghormati tuntutan yang didakwakan kepada SM. Meski begitu, Tigor dan orangtua korban berharap ada putusan hukuman yang lebih berat karena masih ada satu berkas dalam proses penyelidikan Kepolisian Resor Metro Kota Depok.
”Jadi, dari berkas pertama ada dua pelapor dan satu saksi (korban). Satu saksi ini tidak bisa menjadi pelapor karena terkendala dalam menyiapkan bukti dan saksi. Sementara kami masih menunggu berkas kedua atas satu pelapor. Semoga segera diselidiki dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Depok,” kata Tigor.
Tigor dan keluarga korban berharap, melalui tambahan berkas kedua tersebut, hukuman SM bisa bertambah atau menjadi lebih berat. Selain itu, Tigor dan keluarga korban juga berharap penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur tidak berlarut-larut.
Lebih dari tiga bulan sejak pelaporan pada 27 Agustus 2020, berkas kasus dinyatakan P21 atau hasil penyidikan sudah lengkap. Padahal, pelaporan sudah dimasukkan pada 24 Mei 2020 dan tersangka ditangkap 14 Juni 2020. Total ada 23 anak-anak korban kejahatan seksual oleh SM. SM melakukan aksi tak terpujinya sejak 2020.
”Kami tentu sangat berharap proses hukum tidak lama. Penanganan kasus kejahatan harus menjadi prioritas,” ujar Tigor.
Beban ganda
Dalam proses penanganan kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak, terutama dalam kasus yang menimpa anak-anak misdinar Gereja Santo Herkulasnus, Tigor menilai sistem hukum belum memihak para korban dan keluarga korban karena masih membebankan korban dan keluarga untuk menyiapkan bukti-bukti dan saksi.
”Aparat penegak hukum seharusnya paham kondisi korban dan keluarga. Harus diingat bahwa mereka adalah korban, tetapi ada beban ganda yang berat dengan memenuhi bukti-bukti dan saksi. Belum lagi jika melihat masalah psikisnya. Seharusnya berdasarkan pengakuan korban dan terdakwa sudah cukup. Sistem hukum kita belum berpihak kepada korban,” tutur Tigor.
Tigor melanjutkan, sulitnya mengumpulkan bukti mengakibatkan masih ada 19 keluarga korban dari total 23 keluarga korban belum bisa menjadi pelapor atas tindak kejahatan seksual oleh SM.
Oleh karena itu, menurut Tigor, ke depan revisi undang-undang terkait kekerasan seksual anak-anak dan perempuan harus menjadi perhatian bersama, terutama Presiden dan anggota Dewan, agar ada perlindungan, korban dan keluarga tidak dibebankan, hingga hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual.
”Jika masih berpedoman dengan sistem hukum dan undang-undang saat ini, tidak akan menimbulkan efek jera, tidak ada perlindungan bagi korban, dan ditakutkan kejahatan seksual terus terulang. Pemerintah harus melihat ini sebagai kejahatan luar biasa, kejahatan kemanusiaan. Masa depan anak bangsa harus dilindungi,” kata Tigor.