Sebagian Konten Perpres Keterlibatan TNI dalam Memerangi Terorisme Bertentangan dengan UU
›
Sebagian Konten Perpres...
Iklan
Sebagian Konten Perpres Keterlibatan TNI dalam Memerangi Terorisme Bertentangan dengan UU
Sejumlah ketentuan dalam Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dinilai bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini, Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme belum dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat karena dinilai masih memiliki sejumlah problem substansial. Beberapa ketentuan dalam Perpres TNI itu dinilai bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sejumlah ketentuan, seperti peran penyelidikan, pemulihan, dan pencegahan, yang diatur dalam Perpres TNI itu dinilai tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI sebagai penjaga kedaulatan negara. Peran-peran itu merupakan bagian dari sistem peradilan pidana, yang seharusnya menjadi ranah penegakan hukum yang, antara lain, dijalankan oleh Polri.
Di sisi lain, pengaturan mengenai sejumlah operasi yang dicantumkan dalam perpres itu meliputi operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya sifatnya permanen, sedangkan dalam UU TNI tugas-tugas itu bersifat temporer dan hanya dapat dilakukan melalui kebijakan politik negara.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mayor Jenderal (Purn) TB Hasanuddin, dalam diskusi daring yang diadakan Imparsial, Kamis (24/9/2020) di Jakarta, mengatakan, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) memang diatur dalam UU TNI. Namun, ada ketentuan yang membatasi operasi itu dapat dilakukan. Salah satu ketentuan yang membatasi ialah Pasal 7 Ayat (2) dan (3).
”Di dalam UU TNI diatur bahwa untuk operasi militer selain perang dapat dilakukan sepanjang diputuskan melalui kebijakan politik negara. Kebijakan politik negara ini ialah diputuskan presiden dengan persetujuan DPR. Di samping itu, tidak bisa TNI mengatur tugas untuk dirinya sendiri sebagaimana diatur di dalam draf Perpres TNI,” kata Hasanuddin.
Pengaturan yang ditentukan sendiri itu tercantum dalam draf Perpres TNI Pasal 5, yang berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dan/atau operasi penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ditetapkan oleh Panglima”. Menurut Hasanuddin, hal itu bertentangan dengan UU TNI.
Hasanuddin mengatakan, pihaknya bukan tidak sepakat pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Namun, yang harus dipilah-pilah kembali dengan tegas ialah pada bagian mana peran itu dapat diambil TNI dan tidak bertentangan dengan UU. Hal-hal yang terkait dengan penegakan hukum, seperti penyelidikan, yakni seperti diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) draf Perpres TNI itu, dinilai bukan merupakan tugas TNI. Pasal itu berbunyi, ”Kegiatan dan/atau operasi intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilaksanakan melalui penyelidikan, pengamanan dan penggalangan”.
”Operasi intelijen ini harus jelas, karena di dalam operasi teritorial juga ada intelijen. Kalau penegakan hukum, sudah ada bagian dari kepolisian. Penyelidikan tidak menjadi tupoksi TNI,” ujarnya.
Demikian halnya dengan penganggaran dalam Pasal 14 draf Perpres TNI. Perpres mengatur penganggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Menurut Hasanuddin, ketentuan ini tidak sesuai dengan UU TNI yang secara tegas mengatakan anggaran TNI dari APBN.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang juga anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, draf Perpres TNI itu juga tidak selaras dengan semangat pembentukan UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme. UU tersebut memberikan peran kepada Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) sebagai pihak yang berperan utama dalam penanganan terorisme.
Hadirnya Perpres TNI dengan draf yang selama ini ada dinilai tidak sesuai dengan semangat menempatkan terorisme sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Ini karena TNI dapat aktif memberantas terorisme mulai dari pencegahan, penindakan, hingga pemulihan. Draf juga memberi kewenangan kepada TNI untuk berkoordinasi dengan BNPT.
”Dalam UU No 5/2018, kalau kita lihat, fungsi pencegahan itu diberikan kepada BNPT sebagai leading sector. Akan tetapi, kalau kita membaca draf perpres itu, TNI juga terlibat dalam kerja-kerja penangkalan, yang juga merupakan bagian dari kerja-kerja pencegahan. Oleh karena itu, menjadi tidak begitu jelas siapa yang menjadi leading sector,” kata Arsul.
Dengan mengkritisi substansi Perpres TNI, lanjut Arsul, bukan berarti pihaknya tidak sepakat TNI dilibatkan dalam kerja-kerja penangkalan terorisme. Namun, kalaupun hal itu dilakukan, harus tetap di bawah koordinasi BNPT.
Di sisi lain, konsep pelibatan TNI yang sementara ini diatur dalam draf perpres belum jelas arahnya karena rentan terjadi benturan dengan fungsi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. Jika draf perpres itu diubah dengan pendekatan dan mekanisme perbantuan TNI, hal itu dinilai akan lebih jelas.
”Draf perpres itu perlu dibahas mendalam dan diperbaiki rumusannya supaya jelas. Yang lebih penting lagi tidak keluar dari politik hukum dasar yang diatur dalam UU No 5/2018. Kalau sampai saat ini perpres itu belum dibahas di DPR, lebih karena setiap fraksi memiliki pandangan berbeda. Sebaiknya perpres diperbaiki dan diajukan ulang kepada pimpinan DPR,” kata Arsul.
Mempertahankan kedaulatan
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo mengatakan, tugas utama TNI adalah perang untuk mempertahankan kedaulatan negara. Dalam kasus tertentu, misalnya ada perompakan atau pembajakan kapal dan pesawat di luar wilayah Indonesia, TNI dapat saja diterjunkan sebagai bagian dari perlibatannya melawan terorisme internasional. Namun, bukan berarti tugas itu dapat dilakukan untuk melawan terorisme di dalam negeri, karena itu bagian dari ranah penegakan hukum.
”Ambil contoh, untuk mengatasi bom Marriott atau bom Bali, apakah kita mengirimkan satu peleton Kopassus ke sana? Kalau kita menurunkan itu, maka dia akan mencari musuh dan akan dia tembak itu. Dia habisi. Itu tugas tentara, menghancurkan musuh. TNI tak dapat mencari bukti-bukti, menemukan pelaku, dan mengadilinya. Itu tugas polisi dalam criminal justice system,” ujarnya.
Menurut dia, TNI di satu sisi tak dapat melakukan tugas penegakan hukum karena tidak pernah dilatih hal itu. Selain itu, tugas tersebut membuat TNI lembek dan mengganggu profesionalitas tentara dalam menjaga kedaulatan negara.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengatakan, sebaiknya TNI dilibatkan hanya dalam penindakan. Perspektif yang digunakan ialah melihat skala ancaman terorisme. Pada skala ancaman tinggi, pendekatan militer dibutuhkan, sebab polisi dinilai tidak mampu mengatasi skala ancaman yang tinggi tersebut.
Direktur Imparsial Al Araf menambahkan, hal yang juga penting ditekankan dalam draf perpres ialah pencegahan, selain penindakan. Upaya penanganan terorisme pun tidak boleh mengabaikan hak asasi manusia.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan, pembentukan perpres didasarkan pada fakta terorisme sebagai kejahatan luar biasa yang harus pula ditangani dengan luar biasa. Perpres itu juga merupakan amanat dari UU No 5/2012 tentang Pengesahan Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme.
Menurut dia, pemerintah juga telah menerima sejumlah masukan dari berbagai pihak terkait perpres tersebut. ”Masukan itu akan menjadi pertimbangan bagi pemerintah,” katanya.