Polusi Tak Berkurang, PM 2,5 Jakarta Melebihi Batas Nasional dan Global
›
Polusi Tak Berkurang, PM 2,5...
Iklan
Polusi Tak Berkurang, PM 2,5 Jakarta Melebihi Batas Nasional dan Global
Selain kendaraan bermotor, penyumbang PM 2,5 terbesar lainnya ialah pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan bahan bakar batubara.
Oleh
laraswati ariadne anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kadar partikulat pencemaran udara berukuran 2,5 mikrogram atau PM 2,5 di Jakarta telah melewati ambang batas aman, baik dari aturan Pemerintah Indonesia sendiri maupun dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diperlukan tindakan drastis untuk mewujudkan koordinasi antarsektor, antarlembaga, dan antarpemerintah daerah untuk mengurangi polutan berbahaya di udara.
Fakta tersebut mengemuka dalam diskusi Kemitraan Udara Bersih Jakarta (Jakarta Clean Air Partnership) yang merupakan kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Bloomberg Philantrophies dan Vital Strategies. Diskusi tersebut dilaksanakan secara virtual pada Rabu (23/9/2020).
Pakar lingkungan dari Institut Teknologi Bandung, Puji Lestari, menyebutkan, rata-rata kadar PM 2,5 setiap tahun di Jakarta ialah 37 mikrogram per meter kubik. Padahal, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menegaskan, batas maksimal PM 2,5 setiap tahun adalah 15 mikrogram per meter kubik. Adapun WHO mensyaratkan batas lebih rendah lagi, yakni 10 mikrogram per meter kubik.
”Penyebab adanya partikulat ini adalah emisi kendaraan bermotor, baik dari Jakarta maupun dari luar Jakarta yang melintasi Ibu Kota,” kata Puji.
Partikulat ini mudah diterbangkan oleh angin. Kadar PM 2,5 di Jakarta yang begitu tinggi menyebabkan tidak ada perbedaan signifikan antara baku mutu udara pada musim kemarau dan musim hujan.
Selain kendaraan, penyumbang PM 2,5 terbesar lainnya ialah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara. Dalam jangkauan 100 kilometer dari Jakarta terdapat enam PLTU di Jawa Barat dan Banten, seperti Palabuhanratu, Suralaya, Labuan, dan Babelan. Selain itu, organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia menghitung, akan ada lima PLTU yang dibuka dengan total emisi setara 1 juta mobil (Kompas, 11 Maret 2020).
Terdapat pula karbon organik, karbon hitam, partikel logam, dan senyawa kimia lain dalam polutan udara Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah pembakaran di ruang terbuka, seperti pembakaran sampah yang kerap dilakukan warga. Padahal, kegiatan itu dilarang dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Pengolahan sampah yang sistematis menjadi keniscayaan agar tidak ada pembakaran lagi.
”Aturan yang memayungi serta sumber-sumber emisi sudah jelas dipetakan. Tinggal kemauan pemerintah pusat dan daerah untuk berkoordinasi mengambil langkah. Minimal harus ada uji emisi rutin yang terintegrasi antardaerah untuk semua kendaraan, pabrik, dan pembangkit listrik,” ujar Puji.
Pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam diskusi ini diwakili Yusiono Anwar dari Dinas Lingkungan Hidup dan Hari Wibawa dari Bagian Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Daerah Jakarta. Mereka mengatakan bahwa Pemprov tengah membuat kajian mengenai dampak partikulat ini dan cara penanganannya. Kesempatan untuk berkolaborasi dari berbagai pihak juga terbuka.
Pada awal bulan September, Koalisi Langit Biru Jakarta menyerahkan petisi yang ditandatangani 18.000 orang kepada Dinas Lingkungan Hidup Jakarta. Tanggapan dinas ialah akan menindaklanjuti petisi itu dengan memasifkan kampanye bahaya pembakaran sampah di ruang terbuka. Salah satu solusi yang ditawarkan ialah pemantauan pembuangan sampah dari hulu ke hilir agar tidak ada lagi penanganan sampah secara ilegal, seperti dibakar atau dibuang ke saluran air.
Sementara itu, pakar lingkungan dari Vital Strategies, Vivian Pun, menerangkan bahwa secara global pencemaran udara mengakibatkan 5 juta kematian prematur setiap tahun. Pencemaran udara adalah masalah yang lazim ditemui di negara-negara berkembang, tetapi dapat diatasi.
Ia mencontohkan India yang memiliki badan pengendalian baku mutu udara mulai dari tingkat nasional hingga daerah. Bisa juga melihat ke Kamboja yang membuat aturan perundang-undangan larangan membakar sampah dan menerapkan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir secara tegas dengan sanksi.
”Perlu juga menambah titik-titik pemantauan udara untuk landasan data pengambilan kebijakan,” kata Pun. Dalam hal ini harus ada keterbukaan dalam emisi yang dihasilkan setiap periode tertentu sehingga terukur kenaikan ataupun penurunannya.
Dari sisi riset, peneliti Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) Muhayatun Santoso mengatakan, telah ada alat yang dihasilkan Batan untuk mengukur partikulat kecil di udara. Saat ini, mereka tengah menyusun laporan perubahan baku mutu udara Jakarta selama pembatasan sosial berskala besar.