Tak Ada Toleransi untuk Pelanggaran Izin Ekspor Benih Lobster
›
Tak Ada Toleransi untuk...
Iklan
Tak Ada Toleransi untuk Pelanggaran Izin Ekspor Benih Lobster
Pelanggaran ketentuan ekspor benih bening lobster harus ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas. Keseriusan pemerintah perlu dibuktikan untuk memberikan efek jera.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran aturan berupa penyalahgunaan izin ekspor benih lobster tak boleh ditoleransi. Pemerintah didesak menjatuhkan sanksi tegas terhadap 14 perusahaan yang menyalahgunakan izin ekspor dengan cara memanipulasi dokumen.
Dokumen ekspor menyebutkan benih lobster sebanyak 1,5 juta ekor. Padahal, jumlah sebenarnya 2,7 juta ekor.
Rapat kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Selasa (22/9/2020), antara lain, membahas pencegahan ekspor benih bening lobster oleh Kantor Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pekan lalu. Jumlah benih bening lobster yang tertera di dokumen ekspor 1,5 juta ekor. Namun, benih yang akan dikirim sebanyak 2,7 juta ekor. Artinya, sebanyak 1,2 juta ekor benih bening lobster tidak dilaporkan di dokumen itu.
Komisi IV DPR mendesak pemerintah mencabut izin ekspor 14 perusahaan eksportir karena diduga menyalahgunakan izin dengan memanipulasi dokumen.
KKP berencana mencabut izin ekspor ke-14 perusahaan itu. Sementara Bea dan Cukai telah melimpahkan kasus itu ke kepolisian. Berita acara pemeriksaan eksportir telah dibuat. Status perusahaan akan ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan kepolisian (Kompas, 23/9/2020).
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menyatakan, publik menanti transparansi proses penyelidikan dan penjatuhan sanksi terhadap 14 perusahaan eksportir benih lobster yang memanipulasi data. Sanksi yang bisa dikenakan adalah sanksi administrasi berupa pencabutan izin dan sanksi pidana jika ditemukan tindak pidana kepabeanan.
”Kasus ini ujian bagi KKP untuk menegakkan aturan dan konsistensi tata kelola lobster. Proses penyelidikan dan pemberian sanksi harus transparan. Jangan sampai keputusan pemberian sanksi hanya lip service di DPR,” kata Abdi yang dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia, yang ditetapkan pada 4 Mei 2020. Hingga Agustus 2020, sebanyak 47 perusahaan mendapat rekomendasi ekspor benih bening lobster.
Menurut Abdi, dugaan penyalahgunaan izin ekspor benih lobster terlihat sejak awal. Sebagian perusahaan sudah mengekspor benih lobster kendati belum memenuhi kewajiban budidaya berkelanjutan. Perusahaan diduga memanfaatkan kemitraan dengan pembudidaya lobster sebagai syarat memperoleh izin ekspor. Setelah persyaratan terpenuhi dan izin ekspor benih didapat, pembudidaya ditinggal.
Abdi menilai, pengawasan KKP terkait izin budidaya dan ekspor lemah. Oleh karena itu, tata kelola lobster perlu dibenahi.
”Pemerintah tidak boleh menoleransi pelanggar izin ekspor dan tidak tebang pilih menegakkan hukum,” ujarnya.
Tata kelola lobster perlu dibenahi.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Dani Setiawan meminta kasus manipulasi itu ditindaklanjuti. Caranya, dengan menjatuhkan sanksi bagi eksportir nakal, yakni sanksi administrasi berupa pencabutan izin dan memasukkan perusahaan ke daftar hitam. Unsur pidananya, yakni indikasi pemalsuan data, juga mesti ditindaklanjuti.
”Menteri Kelautan dan Perikanan perlu serius menangani hal ini. Jangan sampai perburuan rente yang merugikan negara berlanjut,” ujarnya.
Tak ada niat baik
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar Dedi Mulyadi mengingatkan, salah satu argumentasi pembukaan keran ekspor benih bening lobster adalah menghindari penyelundupan benih lobster. Namun, penyelundupan terbukti terus berlangsung, antara lain memanipulasi jumlah yang tercantum di dokumen dengan jumlah riil yang dikirim.
Dedi menambahkan, kasus manipulasi dokumen menunjukkan eksportir tidak memiliki niat baik untuk mematuhi regulasi. Ada dua esensi kebijakan yang dirusak, yakni komitmen menjaga pendapatan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pelestarian ekosistem. Manipulasi dokumen, baik dalam jumlah kecil maupun besar, tetap merupakan bentuk penyalahgunaan izin. Pelakunya dijatuhi sanksi berat agar memberikan efek jera.
”Ada kenakalan tingkat tinggi yang dilakukan pengusaha eksportir benih bening lobster. Kenakalan ini tidak boleh diberikan toleransi lagi. Pengusaha yang tidak punya niat baik tidak boleh diberi kesempatan lagi,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin menyampaikan, prioritas penanganan dalam masalah ini adalah hukuman bagi eksportir yang menyalahi ketentuan ekspor. Sanksi itu berupa sanksi administrasi yang dapat berlanjut ke sanksi pidana.
Kasus penyalahgunaan ekspor benih lobster menunjukkan standar operasional pengawasan perlu diperbaiki. KKP perlu berbenah. Dalam bisnis ekspor benih lobster, setidaknya ada empat faktor pemicu ekspor ilegal, yakni eksportir, badan karantina ikan, bea dan cukai, serta perusahaan pengangkutan ekspor.
”Ekspor ilegal terjadi karena perusahaan eksportir ingin untung yang cukup besar, sedangkan pengawasan kurang ketat. Ada kesempatan bagi eksportir untuk berbuat curang,” kata Safri.
Kasus penyalahgunaan ekspor benih lobster menunjukkan standar operasional pengawasan perlu diperbaiki.