Tiga Hari Pertama Kelahiran Menentukan Keberhasilan Proses Laktasi
›
Tiga Hari Pertama Kelahiran...
Iklan
Tiga Hari Pertama Kelahiran Menentukan Keberhasilan Proses Laktasi
Tiga hari pertama kelahiran bayi merupakan masa krusial dalam proses pemberian ASI. Keberhasilan proses menyusui pada awal masa kelahiran menentukan keberhasilan menyusui di kemudian hari.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses menyusui pada tiga hari pertama kelahiran bayi sangat menentukan keberhasilan laktasi dalam jangka panjang. Untuk itu, proses menyusui pada masa ini perlu dioptimalkan, termasuk dalam proses pelekatan dan pemerahan air susu ibu.
Dokter spesialis anak yang juga konselor air susu ibu (ASI), Dini Adityarini, di Jakarta, Rabu (23/9/2020), mengatakan, tiga hari pertama kelahiran bayi merupakan masa krusial dalam proses pemberian ASI. Keberhasilan proses menyusui pada awal masa kelahiran menentukan keberhasilan menyusui di kemudian hari.
”Semakin sering bayi menyusu pada hari-hari pertama akan semakin banyak reseptor yang terbentuk untuk meningkatkan hormon prolaktin. Hormon ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi ASI,” katanya.
Ia menuturkan, pada hari pertama kelahiran bayi sebaiknya diusahakan untuk bisa menyusui sekitar delapan jam dalam sehari. Produksi ASI pada masa awal sekitar 650 mililiter per hari. Jumlah ini akan terus meningkat berkisar 750-800 mililiter per hari hingga bulan keenam usia bayi.
Untuk menunjang optimalisasi proses menyusui pada usia awal kelahiran, terdapat beberapa cara yang perlu diperhatikan. Proses inisiasi menyusui dini ketika bayi baru lahir merupakan salah satu hal yang sangat menentukan.
Selain untuk memperkuat daya tahan tubuh bayi dari kandungan kolostrum, proses menyusui yang umumnya dilakukan pada 30-45 menit pertama kelahiran ini dapat mendukung keberhasilan menyusui langsung. Isapan dari bayi ketika menyusu dapat meningkatkan produksi ASI.
Selain itu, Dini menuturkan, pastikan pula ibu dan bayi sering melakukan kontak kulit. Ketika bayi sering menyusu dan melakukan kontak kulit dengan ibu, hormon oksitosin yang bermanfaat untuk merangsang produksi ASI akan meningkat. Ibu juga perlu memeras ASI secara mandiri untuk membantu proses pengosongan ASI ketika menyusui. Setidaknya proses menyusui ini dilakukan delapan kali dalam sehari.
Hak anak
Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Eva Devita Harmoniati menyampaikan, ASI merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap anak. ASI mengandung komponen zat gizi lengkap dan zat protektif yang sesuai dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhannya.
Namun, persentase anak yang mendapatkan ASI eksklusif pada usia 0-5 bulan hanya 44 persen di tingkat global. Sementara di Indonesia, proporsi pemberian ASI pada usia tersebut hanya 37,3 persen. Selain itu, persentase pemberian ASI eksklusif ini juga menurun setiap bulan, yakni dari 64,8 persen pada bulan pertama menjadi 22,3 persen pada bulan keenam.
”Pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan diri dari ibu serta dukungan dari keluarga. Ibu yang percaya diri bisa menyusui memiliki tingkat keberhasilan ASI eksklusif 19 sampai 66 kali lebih besar. Ibu yang mendapat dukungan dari keluarga juga enam sampai 49 kali lebih tinggi berhasil memberikan ASI eksklusif,” tutur Eva.
Pengganti ASI
Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Elizabeth Yohmi menuturkan, setiap ibu harus mengupayakan pemberian ASI eksklusif pada bayi dan dilanjutkan mulai usia enam bulan dengan tambahan pemberian makanan pendamping ASI. Karena itu, produk pengganti ASI tidak boleh diberikan tanpa alasan medis tertentu.
Berdasarkan Kode Pemasaran Pengganti ASI dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bayi mendapatkan pengganti ASI hanya dalam jangka waktu terbatas dengan syarat memiliki berat badan lahir rendah kurang dari 1.500 gram, lahir pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu, serta memiliki risiko hipoglikemia yang gagal meresposns pemberian ASI.
Sementara itu, ibu dibenarkan untuk tidak menyusui secara permanen apabila terinfeksi HIV dan memberikan pengganti ASI untuk bayinya yang memenuhi kriteria AFFASS (dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan, dan aman). Selain karena terinfeksi HIV, ibu dibenarkan untuk sementara menghentikan menyusui adalah apabila memiliki penyakit parah yang menghalanginya untuk merawat bayi, terinfeksi herpes di bagian payudara, serta sedang terpapar psikoterapi dan kemoterapi.
Menurut Elizabeth, dalam penggunaan pengganti ASI, peran petugas kesehatan sangat penting untuk tetap mengedukasi masyarakat bahwa pemberian ASI secara langsung adalah yang terbaik. Ketika memberikan informasi, petugas kesehatan harus menjelaskan bahaya dari penggunaan susu formula atau produk pengganti ASI lain yang tidak perlu dan tidak tepat.
”Petugas kesehatan ini bertanggung jawab di bawah kode dan undang-undang untuk tidak mempromosikan pengganti ASI, seperti susu formula. Bahkan, dalam Undang-Undang Kesehatan diatur bahwa pihak yang sengaja menghalangi pemberian ASI dapat dipidana,” katanya.