61 Pekerja Migran Ilegal Asal NTT Meninggal di Luar Negeri
›
61 Pekerja Migran Ilegal Asal ...
Iklan
61 Pekerja Migran Ilegal Asal NTT Meninggal di Luar Negeri
Sebanyak 61 pekerja migran illegal asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri pada periode Januari-25 September 2020. Jenazah korban terakhir berasal dari Adonara, Flores Timur, atas nama Ignasius Sanga (54).
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 61 pekerja migran ilegal asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri pada periode Januari-25 September 2020. Jenazah korban terakhir berasal dari Adonara, Flores Timur, atas nama Ignasius Sanga (54). Ia meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Semua pekerja migran asal NTT yang meninggal dunia termasuk ilegal.
Kepala Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Balai Pelayanan Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Nusa Tenggara Timur Timothius Kopong Subhan di Kupang, Jumat (25/9/2020), mengatakan, tahun 2019 jumlah PMI ilegal asal NTT yang meninggal di luar negeri sebanyak 115 orang, tahun 2018 sebanyak 273 orang, dan tahun 2017 sebanyak 250 orang.
Mereka semua adalah TKI ilegal karena berangkat melalui calo, ada yang lewat Nunukan di Kalimantan Utara, ada pula melalui Batam.
Tahun ini, dari Januari-25 September sebanyak 61 orang. Mereka meninggal dunia karena kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, tenggelam di laut, sakit karena penyakit, dan ada yang bunuh diri. ”Mereka semua adalah TKI ilegal karena berangkat melalui calo, ada yang lewat Nunukan di Kalimantan Utara, ada pula melalui Batam,” kata Kopong Subhan.
Korban terakhir yang tiba di Bandara El Tari Kupang hari ini atas nama Ignasius Sanga (54). Kondisi jenazah mengeluarkan bau tak sedap sehingga jenazah disemayamkan di RSUD Yohannes Kupang. Jenazah akan diberangkatkan pada Minggu (27/9/2020) dengan kapal feri dari Bolok Kupang menuju Larantuka, kemudian dilanjutkan ke Pulau Adonara. Semua biaya keberangkatan dari Kupang ke Adonara ditanggung BP3TKI NTT.
Ignatius Sanga sudah 20 tahun bekerja di Johor Bahru, Malaysia barat. Ia bekerja di perkebunan kelapa sawit. Saat itu ia pulang dari tempat kerja hendak menyeberang jalan, tiba-tiba ada kendaraan roda empat dengan kecepatan tinggi menabrak korban hingga tewas di tempat. Korban sempat dibawa ke salah satu rumah aakit di Johor Bahru, tetapi tidak tertolong.
Pe,mulangan jenazah
Korban meninggal dunia, Sabtu (19/9/2020) tetapi sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal sehingga proses kepulangan agak lama. Biaya pemulangan jenazah korban setelah anggota keluarga menstransfer uang dari Adonara, Flores Timur, ke Johor Bahru melalui rekening rekan korban, yang juga asal Adonara. Administrasi kepulang jenazah korban ditangani Konsulat RI di Johor Bahru.
Menurut Kopong Subhan, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang berangkat secara illegal lebih dari 10.000 orang, sementara berangkat melalui perusahaan jasa tenaga kerja rata-rata 500 orang per tahun. PMI NTT berangkat secara ilegal karena propaganda murahan dari para calo.
Biasanya satu kepala (calon PMI) calo mendapatkan imbalan Rp 5 juta-Rp 10 juta. Karena itu, mereka berjuang mendapatkan calon PMI sebanyak mungkin. Calo ini biasanya mendatangi orangtua korban, kemudian menemui korban, dan terakhir kepala desa setempat.
Kepada orangtua korban, calo biasanya memberi uang tunai antara Rp 300.000-Rp 500.000, kemudian kepada kepala desa calo memberikan Rp 100.000-Rp 200.000 untuk mendapatkan surat keterangan keberangkatan korban. Namun, dalam perjalanan, surat keterangan kepala desa atau aparat desa dipalsukan. Mereka mengganti nama, tempat dan tanggal lahir, usia, dan pendidikan calon PMI.
“Situasi ini sering merepotkan semua pihak, setelah PMI bersangkutan meninggal dunia di luar negeri. Semua data mengenai identitas korban palsu. BP3TKI selalu kesulitan terkait ini. Terkadang, pihak Konsulat RI di luar negeri mengirim jenazah tersebut ke Bandara Kupang tanpa alamat desa dan kecamatan asal secara jelas,” katanya.
Ia mengatakan, beberapa kali petugas BP3TKI kewalahan mengantar jenazah ke rumah yang disebutkan sesuai kartu tanda penduduk, tetapi ditolak pihak keluarga karena tidak mengenal identitas jenazah itu. Mereka sama sekali tidak memiliki anggota keluarga yang bekerja di luar negeri.
Pemalsuan identitas calon PMI atau PMI ini biasanya terjadi di daratan Pulau Timor dan Sumba. Namun, PMI di daratan Flores dan Lembata relatif sulit dipalsukan meskipun mereka juga berangkat secara ilegal.
Rata-rata setiap tahun 100 PMI ilegal asal NTT meninggal di luar negeri. Mereka itu meninggal tidak hanya di Malaysia, tetapi juga Peru, Hong Kong, Singapura, dan Brasil.
Kepala Desa Nayu Baya Kecamatan Wotan Ulumado, Adonara, Flores Timur, Yohanes Lameng mengatakan, sekitar 1.000 warga Flores Timur menjadi PMI di luar negeri, terutama Malaysia.
Sumber nafkah
Malaysia ibarat ”lahan hidup” mereka karena dengan menjadi PMI di sana, mereka bisa menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, membangun rumah yang lebih layak huni, membeli televisi beparabola, dan membiayai kesehatan anggota keluarga.
Biasanya saat berangkat dari kampung asal, warga Suku Lamaholot (Flores Timur, Lembata, dan Alor) ini tidak pernah menggunakan jasa calo untuk menjadi calon PMI ilegal di luar negeri. Bertolak dari kampong, biasanya dalam kelompok, atau perorangan. Setelah sampai di Nunukan, atau Batam kemudian memeroses paspor dan kartu tanda penduduk untuk ke Malaysia. Kepengurusan administrasi keimigrasian ini melalui calo di Batam atau Nunukan.
”Nama dan identitas mereka tidak pernah dipalsukan. Lagi pula, mereka sudah memiliki anggota keluarga di Malaysia sehingga begitu sampai di Malaysia, langsung dijemput anggota keluarga tersebut, dan langsung mendapatkan pekerjaan yang sudah disiapkan,” katanya.
Ia mengatakan, puluhan warga Adonara, Flores Timur, dinilai sukses mengembangkan keterampilan yang diperoleh di Malaysia setelah pulang ke kampung asal. Kamilus Tupen Masan (48), misalnya, berhasil mengembangkan sistem pertanian terpadu di Witihama. Ia menggarap lahan pertanian dengan menanam beberapa jenis tanaman hortikultuar, kemudian dijual secara daring, terutama jagung.
”Semua rumah warga Adonara sudah permanen, dilengkapi dengan parabola, dan pola pikir mereka jauh lebih maju setelah menjadi PMI. Tidak berarti mereka wajib menjadi PMI di luar negeri, tetapi PMI menjadi salah satu pilihan membangun hidup yang lebih layak,” kata Lamen.