Meski Bosan dengan Berita soal Covid-19, Tetap Jangan Lengah
›
Meski Bosan dengan Berita soal...
Iklan
Meski Bosan dengan Berita soal Covid-19, Tetap Jangan Lengah
Informasi harian perkembangan kasus Covid-19 menjadi pertimbangan warga untuk beraktivitas di luar rumah. Dari situ mereka tahu situasi di lingkungan terdekat hingga tempat tujuan ketika beraktivitas di luar.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga bosan dengan pemberitaan soal pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung enam bulan. Ada kekhawatiran hingga penyangkalan yang timbul dalam benak warga. Walakin, informasi harian perkembangan pandemi tetap menjadi pilihan supaya bisa menjaga diri dan orang lain.
Skolastika (25), warga yang tinggal di Radio Dalam, Jakarta Selatan, misalnya, sempat tidak mengikuti perkembangan Covid-19 lewat berita di media massa dan media sosial lantaran bosan. Informasi yang ada menunjukkan ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir. Bahkan, kemungkinan akan lebih lama hingga dua tahun ke depan.
”Makanya sempat tidak baca berita atau informasi-informasi. Malah khawatir, bisa stres lama-kelamaan,” ujar Skolastika, Jumat (25/9/2020).
Lebih banyak di indekos saja semenjak pandemi membuatnya kembali membaca berita supaya tahu kondisi dunia luar. Karyawan swasta ini pun secara rutin membaca jumlah kasus positif harian. Informasi lainnya berasal dari grup percakapan di media sosial.
Skolastika melepas penat di indekos saja dengan berkomunikasi lewat panggilan suara atau panggilan video dengan orang dekat. Olahraga ringan dan jajan di swalayan menjadi pilihan lain karena menyegarkan pikiran.
Giyo (43) sudah jarang membaca atau menonton berita tentang pandemi karena terkesan bombastis. Apalagi sering terjadi silang pendapat antara pemerintah, ahli kesehatan, dan warga sendiri terkait dengan jumlah kasus, penanganan, dan lainnya.
Warga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, ini tidak tahu persis jumlah temuan kasus positif di sekitar tempat tinggalnya. Sebab, lebih banyak beredar informasi simpang siur dari mulut ke mulut. ”Cuma katanya doang, katanya doang. Tidak tahu persis ada kasus positif,” ucapnya.
Kebosanan sudah melandanya karena tidak leluasa beraktivitas selama enam bulan ini. Kendati demikian, protokol kesehatan tidak boleh kendur. Wajib kenakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan atau pakai antiseptik selama berada di luar rumah.
”Tidak bisa ngomong lagi (penanganan pandemi), yang penting waspada saja. Ikuti protokol kesehatan karena tidak tahu virus (tidak terlihat). Tidak ada salahnya juga protokol kesehatan,” katanya.
Reni Nandya (24) tidak membuka Twitter dan Instagram untuk meredam kekhawatiran karena infodemik. Film dan drama di Netflix sebagai gantinya supaya tidak jenuh di rumah saja. ”Khawatir banget, aku meminimalkan untuk keluar rumah,” kata Reni. Sesekali karyawan swasta ini mengecek perkembangan kasus di sekitar tempat tinggalnya di Pulo, Kebayoran Baru.
Manusia di mana pun umumnya punya sifat alamiah berupa optimisme yang sebenarnya bias. Beragam riset dan fakta menunjukkan manusia cenderung menganggap peluang sesuatu yang buruk terjadi padanya kecil.
Anak-anak muda menjadi salah satu korban akibat pandemi Covid-19. Banyak anak muda tidak cukup tanggap akan kondisi kesehatannya. (Kompas, 13/8/2020)
Lebih parahnya, tidak mampu mendapatkan akses, memahami, bahkan menggunakan informasi untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Terlebih jika harus mengunjungi tenaga kesehatan dan menghadapi alur rujukan sistem kesehatan yang rumit.
Literasi digital yang dimiliki anak muda tidak serta-merta membuat mereka kritis terhadap informasi terkait dengan kesehatan yang diterimanya. Sering kali informasi yang diperoleh tidak akurat, termasuk soal pandemi Covid-19. Akibatnya, mereka berpeluang mendapatkan informasi yang menyesatkan sehingga salah dalam menyikapi pandemi.
Belum lagi persoalan psikologis yang muncul akibat pandemi, seperti menurunnya semangat untuk menjalankan aktivitas, mudah marah, dan cepat kehilangan konsentrasi yang akan sangat berbahaya jika berlangsung berkepanjangan. Terlebih resesi yang mengancam di depan mata semakin meningkatkan ketidakpastian masa depan 600 juta anak muda yang kemungkinan tidak akan dapat diserap pasar.
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Roby Muhamad, menuturkan, manusia di mana pun umumnya punya sifat alamiah berupa optimisme yang sebenarnya bias. Beragam riset dan fakta menunjukkan manusia cenderung menganggap peluang sesuatu yang buruk terjadi padanya kecil. ”Mungkin pada orang lain terjadi, tetapi pada dirinya kecil. Itu sudah built-in dalam pikiran manusia,” ucap Roby, Senin (20/7/2020).
Ada mekanisme di otak yang bisa menjadi salah satu pemicu perubahan perilaku, yaitu ketakutan. Contohnya, ketakutan terhadap risiko kematian dari penularan Covid-19 membuat seseorang menjauhi kerumunan dan pertemuan serta rajin mengenakan masker.
Menurut Roby, kadar ketakutan itu mesti pas untuk mendorong terciptanya perubahan perilaku. Sebab, ada dua kemungkinan dari rasa takut berlebihan, yakni menimbulkan kepanikan atau malah membuat seseorang tidak berbuat apa-apa.
Dalam konteks Covid-19, menciptakan keseimbangan antara bias optimisme dan ketakutan berlebihan menjadi tantangan guna mendorong perubahan perilaku di masyarakat agar membiasakan diri dengan protokol kesehatan.
”Kunci menciptakan keseimbangan itu adalah mengefektifkan lagi komunikasi, baik yang digencarkan pemerintah, nonpemerintah, seperti media massa maupun komunikasi yang berjalan pada kehidupan sehari-hari warga,” katanya.