Sidang jaksa Pinangki Sirna Malasari di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sudah dimulai. Dakwaannya dinilai tak secara utuh mengungkapkan dugaan permufakatan jahat dalam upaya pengurusan fatwa dari Mahkamah Agung.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dakwaan terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari dinilai tidak secara utuh mengungkapkan dugaan permufakatan jahat dalam upaya pengurusan fatwa dari Mahkamah Agung. Konstruksi dakwaan pun dianggap hanya melokalisasi perkara kepada para tersangka saja.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Jumat (25/9/2020), mengatakan, dalam proposal ”Action Plan” yang disusun Pinangki, setidaknya terdapat tiga potensi terjadi permufakatan jahat. Pertama adalah antara Pinangki, Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Joko Tjandra.
Kedua, lanjut Kurnia, adalah ketika merencanakan pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung yang memerlukan kajian hukum dari internal Kejagung. Yang ketiga adalah permufakatan berupa komunikasi antara Pinangki dan pihak internal MA yang berwenang memberikan fatwa.
Baca juga: Nama Burhanuddin dan Hatta Ali Ada di Proposal Pinangki
”Dengan demikian, pada proses persidangan ke depan hal itu tidak akan diungkap. Dan, ada kesan berupa upaya untuk melokalisasi kasus ini hanya pada orang-orang yang sekarang dijadikan tersangka saja,” kata Kurnia.
Dengan demikian, pada proses persidangan ke depan hal itu tidak akan diungkap. Dan, ada kesan berupa upaya untuk melokalisasi kasus ini hanya pada orang-orang yang sekarang dijadikan tersangka saja.
Dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang ditangani Kejagung, selain Pinangki, tersangka lainnya adalah Joko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.
Hal itu, menurut Kurnia, tampak dari tidak adanya penjelasan tentang hal yang membuat Joko Tjandra percaya kepada Pinangki. Demikian pula jaksa penuntut umum (JPU) belum menjelaskan langkah yang ditempuh Pinangki dalam rangka menyukseskan ”Action Plan”.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum juga tidak menyampaikan jaringan Pinangki atau Anita Kolopaking di MA dan upaya yang mereka lakukan untuk mendapatkan fatwa dari MA. Sebab, fatwa hanya diperoleh berdasarkan permintaan lembaga negara.
Hal lain yang juga tidak bterungkap di dalam surat dakwaan terhadap Pinangki adalah dugaan bahwa setelah bertemu dengan Joko Tjandra, Pinangki melaporkannya kepada atasannya langsung dan Jaksa Agung. Di dalam dakwaan, hal itu sama sekali tidak ada.
”Dengan posisi Pinangki yang hanya menjabat sebagai Kepala Subagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan mustahil dapat mengurus fatwa yang nantinya kemudian diajukan oleh Kejaksaan Agung secara kelembagaan,” ujar Kurnia.
Dengan konstruksi dakwaan itu, menurut Kurnia, dugaan permufakatan hanya akan berhenti kepada para tersangka. Sementara dugaan permufakatan yang terkait dengan internal Kejagung ataupun MA tidak akan tersentuh.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono pernah menyatakan, laporan Pinangki kepada atasannya seusai bertemu Joko Tjandra turut dibahas di dalam eskpose atau gelar perkara. Namun, karena hal itu masuk dalam materi penyidikan, itu akan diungkap dalam persidangan.
Mendapat keberatan
Ketua Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak berpandangan, dakwaan dari jaksa penuntut umum kepada Pinangki akan mendapatkan nota keberatan dari terdakwa pada sidang minggu depan. Pada kesempatan itu, publik dapat menilai seberapa kuat konstruksi dakwaan tersebut berhadapan dengan eksepsi terdakwa.
Kompas mencoba melakukan konfirmasi kepada kuasa hukum Pinangki, Jefri Moses Kam, terkait dengan keterangan Pinangki yang melapor kepada atasannya seusai bertemu Joko Tjandra. Namun, pesan singkat yang dikirim Kompas tidak dibalas.
Kuasa hukum Joko Tjandra, Krisna Murti, mengatakan, kliennya mengaku ditipu melalui proposal ’Action Plan’ tersebut. Hal itu, lanjut Krisna, diungkapkan Joko Tjandra ketika diperiksa penyidik pada Kamis (24/9/2020).
Secara terpisah, kuasa hukum Joko Tjandra, Krisna Murti, mengatakan, kliennya mengaku ditipu melalui proposal ”Action Plan” tersebut. Hal itu, lanjut Krisna, diungkapkan Joko Tjandra ketika diperiksa penyidik pada Kamis (24/9/2020).
Menurut Krisna, Joko merasa ditipu karena mengetahui bahwa fatwa MA tidak dapat menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun kepada Joko Tjandra. Hal lain yang dianggap janggal oleh Joko adalah dirinya diminta menyiapkan uang 10 juta dollar AS sebagai deposit, sementara belum ada jaminan ”Action Plan” dapat berhasil.
Hal itulah yang membuat Joko Tjandra membatalkan proposal ”Action Plan”. ”Yang membuat Pak Joko yakin terhadap Pinangki adalah Pinangki mengatakan kepada Pak Joko bahwa Andi Irfan Jaya dan Anita ini punya networking yang luar biasa dalam pengurusan ini,” kata Krisna.
Berkas perkara untuk kasus surat jalan palsu dengan tiga tersangka sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum. Ketiga tersangka untuk kasus itu adalah Brigjen Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, dan Joko Soegiarto Tjandra.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono mengatakan, berkas perkara untuk kasus surat jalan palsu dengan tiga tersangka sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum. Ketiga tersangka untuk kasus itu adalah Brigjen Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, dan Joko Soegiarto Tjandra.
”Rencananya minggu depan, pada Senin 28 September, akan dilaksanakan tahap dua dengan menyerahkan barang bukti dan tersangka ke jaksa penuntut umum,” kata Awi.