Potongan Hukuman untuk Koruptor Terus Berlanjut
Kali ini, giliran dua terpidana korupsi kasus KTP elektronik, Irman dan Sugiharto, yang mendapatkan potongan hukuman dari MA. Sejak Maret 2019, MA setidaknya telah mengurangi hukuman 11 terpidana kasus korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung atau MA kembali memberikan potongan hukuman kepada terpidana korupsi. Kali ini, potongan hukuman diberikan kepada dua terpidana kasus proyek KTP elektronik, Irman dan Sugiharto.
Terus berlanjutnya potongan hukuman dari MA dikhawatirkan tidak akan menciptakan efek jera bagi koruptor. Hal itu pun dikhawatirkan akan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi.
MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan bekas Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Senin (21/9/2020).
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi pada Jumat (25/9/2020) mengatakan, permohonan PK terpidana Irman dan Sugiharto dikabulkan MA. Majelis hakim yang menangani perkara itu adalah Suhadi selaku ketua majelis dan Krisna Harahap serta Sri Murwahyuni sebagai hakim anggota. Melalui putusan PK itu, MA membatalkan putusan kasasi MA Nomor 430/K/Pid.Sus/2018 tanggal 18 April 2018.
Baca juga: MA Potong Hukuman Lagi
Irman dan Sugiharto sebelumnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dalam putusan kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar.
Dalam putusan PK, hukuman Irman dipotong menjadi 12 tahun penjara serta denda Rp 500 juta. Irman juga dijatuhi hukuman pidana tambahan uang pengganti sebesar USD 500.000 dan Rp 1 miliar subsider 5 tahun penjara.
Adapun Sugiharto yang semula dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dipotong menjadi 10 tahun. Selain itu, Sugiharto dijatuhi pidana tambahan uang pengganti sebesar USD 450.000 dan Rp 460 juta subsider 2 tahun penjara.
”Ada beberapa pertimbangan majelis hakim PK dalam mengabulkan permohonan PK terpidana. Salah satunya adalah karena terpidana telah ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK Nomor 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017,” kata Andi.
Menurut Andi, majelis hakim juga berpendapat bahwa terpidana bukan pelaku utama dan telah memberikan bukti-bukti yang signifikan sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya.
Meskipun demikian, putusan PK kedua tersebut tidak bulat. Sebab, ketua majelis Suhadi menyatakan dissenting opinion (DO). Ini karena Suhadi menilai terpidana memiliki peran yang menentukan, yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, putusan PK itu menambah daftar panjang keringanan hukuman terhadap koruptor. Menurut catatan ICW, sejak Maret 2019, MA setidaknya telah mengurangi hukuman 11 terpidana kasus korupsi di tingkat peninjauan kembali.
Potongan hukum ini ditegaskannya tidak akan menciptakan efek jera bagi koruptor. Meskipun telah dihukum berat, di tingkat kasasi, bahkan PK, MA dapat menganulir putusan tersebut menjadi lebih ringan.
”Jika ingin memberikan efek jera, seharusnya diberikan hukuman penjara maksimal. Apalagi, kasus itu terkait Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Kurnia.
Selain itu, menurut Kurnia, tren pemotongan hukuman di tingkat PK ini juga dapat merusak semangat kerja penegak hukum.
Penegak hukum sudah berupaya melakukan upaya optimal sejak penyelidikan, dakwaan, dan mengumpulkan bukti-bukti agar dapat menjerat pelaku korupsi dengan hukuman tinggi. Namun, pemotongan hukuman itu justru menggergaji kinerja baik aparat penegak hukum. Komitmen MA dalam memberantas korupsi pun pada akhirnya dipertanyakan.
Pengajuan PK meningkat
Semakin banyak putusan PK yang memotong masa hukuman koruptor pun telah berdampak pada meningkatnya pengajuan PK kasus korupsi. Berdasarkan data Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang diolah dari laporan tahunan MA, jumlah peninjauan kembali untuk kasus korupsi di MA terus meningkat. Pada 2017 ada 188 perkara, tahun 2018 ada 208 perkara, dan tahun 2019 ada 235 perkara.
Menurut peneliti senior Leip Arsil, salah satu faktor penyebab meningkatnya permohonan PK di MA adalah karena Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun. Sebab, pada saat Artidjo masih menjabat, banyak memberatkan hukuman koruptor di tingkat kasasi dan PK. Oleh karena itu, banyak koruptor yang takut mengajukan upaya hukum di MA.
”Memang banyak koruptor yang takut mengajukan upaya hukum di MA karena takut putusannya dikoreksi menjadi lebih berat. Setelah Artidjo turun, muncul banyak PK terutama kasus korupsi,” tutur Arsil.
Kurnia juga sepakat dengan pendapat Arsil. Menurut dia, memang ada tren kenaikan pengajuan PK kasus korupsi setelah Artidjo pensiun dari MA tahun 2018. Bahkan, terpidana kasus korupsi OC Kaligis sempat terang-terangan menyampaikan bahwa dirinya akan mengajukan PK terhadap kasusnya setelah Artidjo pensiun.
Kurnia berpendapat, dalam upaya pemberantasan korupsi, tidak bisa hanya bertumpu pada sosok yang tegas dan berintegritas seperti Artidjo. MA harus memperbaiki sistem penanganan perkara, seperti syarat pengajuan PK.
MA bisa saja membuat komitmen mempertegas syarat pengajuan PK kasus korupsi karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pemaknaan mengenai fakta baru (novum), misalnya, dapat diperketat sehingga tak semua PK kasus korupsi diterima di MA.
Baca juga: Kabulkan PK Bekas Bupati Talaud, MA Kembali Ringankan Hukuman Koruptor
Dengan memperbaiki aspek administrasi perkara, diharapkan MA lebih selektif dalam menerima permohonan PK. Saat ini, diperkirakan sudah ada sekitar 20 PK yang akan atau sedang diajukan terpidana kasus korupsi.
PK kerap menjadi jalan pintas dan akal-akalan koruptor agar mendapatkan keringanan atau bebas dari hukuman.
”Kami berharap MA tidak hanya berfungsi sebagai pemeriksa perkara, tetapi juga membenahi aspek administrasi. Selama ini, publik cukup kesulitan mengawasi karena MA juga tidak pernah transparan dalam publikasi perkara yang didaftarkan,” kata Kurnia.