Mencatat Indonesia di Tengah Pandemi
Di tengah pandemi Covid-19 tahun 2020 ini, lebih dari 70 negara memiliki jadwal melakukan sensus penduduk dengan prediksi akan mencapai jumlah 3 miliar jiwa.
Menyelesaikan pencatatan sensus dengan tepat waktu dan kualitas data yang baik menjadi tantangan Sensus Penduduk 2020 di tengah pandemi Covid-19. Indonesia tidak sendirian menghadapi situasi ini.
Mempersiapkan sensus periodik yang dilakukan hanya sekali dalam sepuluh tahun butuh waktu yang tidak sebentar. Tahun 2020 ini, lebih dari 70 negara memiliki jadwal melakukan sensus penduduk dengan prediksi akan mencapai jumlah 3 miliar jiwa. Beberapa di antaranya adalah Jepang, Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Swiss, Brasil, Korea Selatan, China, juga Indonesia.
Pandemi datang menantang setiap perencanaan yang sudah dibuat. Dalam kondisi banyak negara yang menuju resesi dan kesulitan anggaran, pilihan atas jadwal melakukan sensus ada dua. Pertama, tetap melaksanakan sensus dengan penyesuaian (waktu, metode, biaya). Kedua, menundanya sampai setelah 2020, seperti yang dilakukan Brasil.
Jika sensus tetap dilaksanakan pada masa pandemi, selain harus melakukan banyak penyesuaian, tantangan utamanya terletak pada kualitas data sensus. Apakah datanya valid benar-benar menghitung semua warga dalam situasi pembatasan sosial dan sejauh mana data tersebut akurat sehingga menggambarkan dengan baik angka fertilitas dan mortalitas yang disebabkan dampak dari penyebaran virus korona baru.
Baca juga : Metode Baru Digunakan dalam Sensus 2020
Penyesuaian
Indonesia memilih tetap melaksanakan sensus tahun 2020 dengan melakukan penyesuaian waktu dan biaya. Bahkan, sebentar lagi kita akan mengetahui hasil Sensus Penduduk (SP) 2020. Akhir September merupakan batas akhir dilakukannya sensus secara wawancara dari pintu ke pintu. Metode terbaru berbasis teknologi internet telah lebih dulu diterapkan.
SP 2020 merupakan sensus penduduk yang ketujuh di Indonesia sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1961. SP 2020 seharusnya menjadi aktivitas mencatat Indonesia yang membanggakan sepanjang usia 75 tahun kemerdekaan jika saja tidak ada serangan wabah.
Untuk pertama kali dalam sejarah sensus penduduk kita, Indonesia menerapkan sensus dalam jaringan (online). Persiapannya dilakukan selama tiga tahun dengan uji coba dilakukan terhadap 16.000 pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri.
BPS menargetkan partisipasi warga dalam melakukan SP daring sebanyak 23 persen. Angka tersebut mempertimbangkan kemampuan literasi masyarakat yang terus meningkat dalam penggunaan teknologi komunikasi dan jangkauan internet yang sudah ada. Metode SP daring ini diharapkan efektif dalam mempercepat pelaksanaan sensus, menghemat biaya lapangan (pewawancara), serta mengurangi resistensi masyarakat atau faktor kesulitan dalam menemui warga.
Dalam sensus daring ini, penduduk bisa melakukan sensus dengan cara masuk ke laman BPS, kemudian membuat akun berbasis kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Terdapat 21 pertanyaan dalam SP daring ini dan cenderung mudah. Semula SP daring ini direncanakan dilaksanakan pada 15 Februari-31 Maret 2020. Karena kondisi pandemi, pelaksanaannya diperpanjang hingga 31 Mei 2020.
Lihat juga : Enam Menit Mengisi Sensus Daring
Dalam rentang waktu yang sudah diperpanjang itu, jumlah warga masyarakat yang melakukan SP daring hanya sebanyak 51,36 juta jiwa atau sekitar 19 persen dari perkiraan total penduduk. Angka yang cukup jauh dari target yang ditetapkan. Dengan demikian, masih ada 81 persen penduduk yang perlu dicatat secara tatap muka.
Tahapan sensus dengan wawancara tatap muka atau dari pintu ke pintu semula dijadwalkan pada 1-31 Juli 2020, dalam perkembangannya disesuaikan menjadi 1-30 September 2020. Pengecekan terhadap penduduk yang telah berpartisipasi dalam sensus daring juga dilakukan pada periode ini.
Dalam situasi normal, metode sensus yang konvensional ini memiliki beberapa kesulitan. Kondisi geografis Indonesia sering menjadi kendala teknis di lapangan. Butuh perlakuan khusus dan upaya yang cukup besar untuk mengambil data dari penduduk di daerah pedalaman atau daerah terpencil, terluar, tertinggal (3T).
Ada pula kendala berupa kesulitan menemui responden dengan berbagai alasan. Untuk masalah ini, BPS menyiasatinya dengan melakukan wawancara pada akhir pekan. Ada pula kesulitan lain, seperti keengganan responden memberikan data yang sebenarnya, terutama pada responden perusahaan.
Dalam situasi pandemi yang memprihatinkan saat ini, kendala yang dihadapi petugas pencacahan di lapangan bertambah, terutama dari segi resistensi responden dan faktor pembatasan sosial. Untuk kendala ini, BPS bisa menyiasatinya dengan melakukan pendekatan dan pendampingan dari pihak kelurahan hingga ke tingkat RW dan RT.
Berbagai upaya dilakukan BPS agar pendataan lapangan berjalan optimal dan mengikuti prinsip mengutamakan keselamatan di tengah pandemi. Pelatihan bagi petugas sensus berubah dari semula akan dilakukan secara tatap muka menjadi pembelajaran mandiri melalui media televisi dan radio. Sebelum menjalankan tugasnya, petugas sensus pun wajib menjalani tes cepat terlebih dahulu. Selama di lapangan, petugas dibekali dengan masker, pelindung wajah (face shield), sarung tangan, penyanitasi tangan (hand sanitizer), serta wajib menjaga jarak dari responden selama wawancara dan pendataan.
Baca juga : Dari Sensus ke Budaya Registrasi
Potensi ”Undercount”
Presiden Joko Widodo dalam pidato pencanangan SP 2020 pada 24 Januari 2020 menyatakan bahwa data adalah the new oil, bahkan lebih berharga daripada minyak. Pernyataan itu mengacu pada data hasil SP yang tidak sekadar menggambarkan perkembangan penduduk, tetapi data SP juga menjadi dasar untuk penyusunan rencana pembangunan di berbagai bidang dan penentu pemilihan kebijakan pembangunan yang tepat.
Namun, data hasil sensus pada masa pandemi berpotensi tidak akurat dan valid. Keterbatasan akibat pandemi meningkatkan kemungkinan jumlah penduduk yang tidak tersensus (undercount) semakin besar. Banyak hal lain yang juga memengaruhi kemungkinan makin besarnya jumlah penduduk yang luput dari sensus. Kesulitan geografis, perubahan demografis, tingkat kepercayaan kepada pemerintah yang berkorelasi dengan keterbukaan data, rendahnya pemahaman atas pertanyaan sensus, serta perpindahan penduduk yang tidak mengurus dokumen kepindahan di daerah asal dan tidak mencatatkan diri di daerah tujuan adalah beberapa hal yang memengaruhi undercount.
BPS tentu berupaya meminimalkan kemungkinan undercount tersebut. Salah satu langkah yang ditempuh adalah melakukan sensus pada malam hari (census night) untuk menghitung penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, seperti gelandangan dan tunawisma yang tinggal di bawah jembatan, emperan toko, dan gorong-gorong. Diharapkan tidak ada satu pun penduduk yang terlewat dicacah. Lokasi-lokasi seperti terminal, pelabuhan, dan kantong-kantong permukiman sementara didatangi oleh tim task force BPS untuk mendata tunawisma. Pendataan harus dilakukan malam hari untuk memastikan mereka memang tidak punya rumah.
Data yang undercount akan menyebabkan ketidaksesuaian antara data sensus dan kondisi sesungguhnya. Hal ini akan menyebabkan tidak semua penduduk tercakup dalam program pembangunan. Ketidaksesuaian ini akan semakin melebar pada masa mendatang karena faktor mobilitas penduduk yang kian meningkat.
Kondisi pandemi berkontribusi meningkatkan ketidaksesuaian data pada masa mendatang. Sejumlah kalangan berpendapat, sebagai dampak penerapan PSBB, kurun setahun ke depan akan terjadi ledakan penduduk. Keharusan tinggal di rumah meningkatkan risiko lonjakan angka kelahiran dari pasangan muda. Terjadi baby boom pascapandemi.
Hal ini akan menimbulkan dampak berantai. Setelah terjadi ledakan kelahiran bayi, akan terjadi ledakan kebutuhan sekolah dan pangan serta ledakan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Rentetan ini pada akhirnya akan menimbulkan kekisruhan karena program pembangunan berpotensi tidak tepat sasaran. Di sinilah letak pentingnya data sensus yang valid dan akurat.
(LITBANG KOMPAS)