Di negara monarki absolut seperti Arab Saudi, tidak ada pemilu. Tidak diketahui apa manfaat pembentukan partai politik oleh para pelarian di luar negeri.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Sejumlah warga Arab Saudi yang mengasingkan diri di sejumlah negara mengumumkan pembentukan Partai Majelis Nasional atau NAAS. Tidak diketahui bagaimana partai itu berdampak pada negara penerap monarki absolut seperti Arab Saudi.
Sebagian anggota partai di pengasingan itu diketahui sejak lama berhubungan dengan kelompok anti-Pemerintah Arab Saudi. Bahkan, ada yang masih terhitung berkerabat dengan keluarga kerajaan.
Pembentukan NAAS diumumkan pada Rabu (23/9/2020) di London, Inggris. Sekretaris Jenderal NAAS Yahya Asiri dan juru bicara NAAS, Madawi al-Rasheed, bermukim di Inggris. Selain mereka, anggota partai itu adalah Abdullah Alaoudh, Omar Abdulaziz, Abdullah al-Awdah, Saeed bin Nasser al- Ghamdi, dan Ahmed al-Mshikhs.
”Kami mengumumkan pendirian partai dalam masa penting untuk menyelamatkan negara kami. Untuk membangun masa depan yang demokratis dan menanggapi aspirasi warga,” kata Asiri, pendiri ALQST, organisasi yang fokus memantau isu hak asasi manusia di Arab Saudi.
NAAS mendorong pembentukan parlemen berdasarkan pemilu. Partai itu meminta pemisahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kini, ketiga cabang kekuasaan itu sepenuhnya dikendalikan keluarga kerajaan.
”Seluruh aspek politik telah dihalangi,” demikian pernyataan NAAS.
Partai itu menekankan, perubahan yang mereka dorong harus dilakukan dengan cara damai. Cara itu untuk membedakan kekerasan dan penekan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini.
”Pemerintah terus melakukan kekerasan dan penekan, dengan jumlah pembunuhan dan penegakan politik yang melonjak, meningkatkan kebijakan agresif pada negara-negara di kawasan, menerapkan penghilangan paksa dan memaksa orang lari ke luar negeri,” kata partai itu.
Juru bicara NAAS, Rasheed, mengatakan, partainya akan bekerja sama dengan PBB, organisasi HAM, dan lembaga internasional. NAAS tidak akan mendorong unjuk rasa di kerajaan. Ia menekankan, seluruh anggota partai tidak memusuhi keluarga kerajaan.
Anggota NAAS, Abdullah Alaoudh, menyebut partainya berusaha menyelamatkan Arab Saudi dari kediktatoran. NAAS mendorong transisi demokratis di Arab Saudi. Alaoudh dan Rasheed mengatakan, perubahan beberapa waktu terakhir di Arab Saudi belum cukup menghilangkan represi.
Perubahan lebih banyak terjadi untuk kepentingan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman. Di bawah Pangeran Mohammed, Arab Saudi mengalami banyak perubahan.
Kini, perempuan bisa mengemudikan sendiri kendaraan, bepergian tanpa didampingi kerabat pria, bahkan meminta sertifikat kelahiran untuk anaknya. Sampai 2018, semua itu terlarang bagi perempuan Arab Saudi. Riyadh juga menghapuskan hukuman mati bagi terdakwa yang berusia kurang dari 18 tahun kala pertama kali ditangkap. Hukuman cambuk telah dihapuskan.
Kesamaan di kalangan pendiri NAAS adalah mereka pelarian Arab Saudi dan sudah bertahun-tahun tinggal di Arab Saudi. Asiri pernah menjadi perwira Angkatan Udara Arab Saudi dan terlibat di bagian pengadaan senjata. Ia mulai tertarik dengan isu HAM kala menghadiri forum-forum yang diselenggarakan pegiat HAM Arab Saudi, Saud al-Hashimi.
Di forum-forum itu, ia mendengarkan pemikiran, antara lain, dari Khaled Meshal, mantan pemimpin Hamas, dan Rached Ghannouchi, pendiri Partai Ennahda di Tunisia.
Adapun Madawi al-Rasheed adalah antropolog Arab Saudi yang kini mengajar di Inggris. Salah satu sepupunya adalah Faisal bin Musaid, pembunuh Raja Faisal bin Abdulaziz pada 1975.
Sementara Alaoudh adalah anak mantan penasihat Pangeran Mohammed bin Salman, Salman al-Awdah. Beberapa tahun lalu, Awdah dipenjara dan divonis mati pada 2019.
Sementara Omar Abdulaziz merupakan teman mendiang Jamal Khashoggi, yang dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, Oktober 2018. Anggota lain NAAS adalah Ahmed al-Mshikhs, pembela hak-hak kaum minoritas Syiah. Adapun Ahmed al-Mshikhs, seorang Syiah, melarikan diri dari Arab Saudi sebelum ditangkap. (AFP/REUTERS)