Pengungsi Alami Kekejian Mengerikan, Eropa Didesak Bersikap
›
Pengungsi Alami Kekejian...
Iklan
Pengungsi Alami Kekejian Mengerikan, Eropa Didesak Bersikap
Amnesty Internasional mendesak Uni Eropa untuk meninjau kembali kerja sama dengan otoritas Libya terkait penanganan pengungsi karena telah terjadi pelanggaran HAM yang mengerikan.
Oleh
Madhi Muhammad
·4 menit baca
NAIROBI, KAMIS — Puluhan ribu pengungi yang ada di Libya dilaporkan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan. Mereka menjadi sasaran penyiksaan, penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, hingga perdagangan manusia.
Tindakan-tindakan yang mengerikan itu dilakukan tidak saja oleh kelompok bersenjata dan sindikat perdagangan manusia yang beroperasi di kamp-kamp pengungsian, tetapi juga oleh otoritas keamanan yang mengusai Libya.
Kondisi itu membuat Amesty Internasional (AI), sebuah lembaga yang bergerak di bidang HAM, Kamis (24/9/2020), mendesak Uni Eropa (UE) agar mempertimbangkan kembali kerja sama dengan otoritas Libya untuk menangani pengungsi dan migran di negara yang terletak di kawasan Afrika utara itu.
”Alih-alih dilindungi, mereka justru dihadapkan pada katalog pelanggaran HAM yang mengerikan,” kata Wakil Direktur Regional AI untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Diana Eltahawy.
Menurut Eltahawy, UE dan negara-negara lain yang bekerja sama dengan otoritas di Libya harus memikirkan ulang kerja sama yang telah dilakukan dalam hal penanganan para pengungsi.
Pernyataan kelompok hak asasi yang berbasis di Inggris itu muncul setelah Komisi Eropa, pada Rabu (23/9/2020), mengumumkan proposal kebijakan suaka yang telah lama ditunggu kelompok negara-negara tersebut.
Di dalam laporan terbarunya, AI menyebutkan para migran yang terjebak di Libya, negara yang porak poranda akibat konflik, tidak bisa mencari kehidupan yang lebih baik ke negara lain.
Kebijakan UE untuk mendukung Italia dalam hal pembiayaan dan pelatihan pasukan penjaga pantai Libya berujung pada penangkapan ratusan ribu migran di wilayah konflik ini.
Libya menjadi titik transit utama para migran dari Afrika dan Timur Tengah yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan ke Eropa.
Temuan para sukarelawan dan pekerja kemanusiaan di sejumlah lembaga, termasuk AI, menyebutkan, ribuan migran yang hendak menyeberang menuju Eropa dicegat oleh pasukan penjaga pantai Libya dan diminta untuk kembali ke darat.
Namun, sebagian, secara paksa ”hilang” setelah dibawa ke luar dari pusat penahanan atau semacam rumah detensi yang dikelola milisi yang bersekutu dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Perdana Menteri Fayez Al Sarraj. GNA didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa, UE, dan Amerika.
Tindakan yang tidak berbeda juga dilakukan Pasukan Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar. Mereka, menurut laporan AI, mengusir ribuan migran tanpa proses hukum atau kesempatan untuk menantang deportasi mereka.
Data yang dikeluarkan AI pada awal September ini menyebutkan, saat ini terdapat 625.638 pengungsi dan migran berada di Libya. Sejak 2016, lebih dari 60.000 pengungsi dan migran dicegat oleh pasukan penjaga pantai Libya ketika mereka mencoba menyeberang ke Eropa dengan tujuan Yunani atau Turki.
Hanya 5.700 orang pengungsi dan migran yang dinilai rentan berhasil dikeluarkan dari kamp-kamp pengungsian atau rumah detensi ke wilayah yang lebih aman.
Masih menurut laporan tersebut, ratusan ribu pengungsi dan migran yang ada di negara itu menjadi sasaran penghilangan paksa di tahun ini. Mereka dibawa ke sebuah pusat penahanan tidak resmi, yang disebut sebagai pabrik tembakau oleh kelompok bersenjata yang terafiliasi dengan pemerintah.
Di sana mereka menghadapi risiko penyiksaan, pemerkosaan, sampai keluarga mereka membayar uang tebusan untuk menjamin pembebasan mereka. Lainnya, menurut laporan tersebut, tewas di dalam tahanan karena kekerasan yang berulang dan penyiksaan, kelaparan, atau minimnya obat-obatan.
Laporan itu juga menyebut, kondisi yang dialami para pengungsi dan migran di Libya merupakan lingkaran setan kekejaman dengan sedikit atau bahkan tanpa harapan untuk menemukan jalan keluar yang aman dan legal.
Badan PBB yang mengurusi migrasi, IOM, pada Agustus lalu mengeluarkan laporan yang menyebutkan sebanyak 30 pengungsi dan migran tewas di tangan sindikat perdagangan orang.
Puluhan pengungsi dan migran itu disekap di sebuah kompleks pergudangan di Mezda, di dekat Kota Gharyan, barat daya Tripoli. Sebanyak 11 orang berhasil diselamatkan dari lokasi tersebut dalam kondisi luka dan trauma akibat penyiksaan dan kekerasan.
Federico Soda, Kepala Misi IOM di Libya, mengatakan, tindakan tersebut adalah tindakan tidak berperikemanusiaan.
”Tindakan-tindakan seperti ini sering terjadi pada para pengungsi dan migran ketika mereka berada di tangan para penyelundup atau sindikat perdagagnan manusia. Mereka memanfaatkan ketidakstabilan situasi keamanan dan politik di negara ini. Mencari celah, memanfaatkan kelemahan kelompok pengungsi dan migran yang memang sudah lemah dan terpojok,” kata Soda.
Janji otoritas Libya untuk menyelidiki kejahatan terhadap pengungsi dan migran, menurut dia, ”tidak mengarah pada pertanggungjawaban”.
Komisi Eropa, Rabu (23/9/2020), berusaha untuk mengumpulkan negara-negara anggota Uni Eropa yang skeptis seputar rencana untuk berbagi tanggung jawab yang lebih baik untuk menyelesaikan pengungsi dan mengirim pulang pencari suaka.
Negara-negara utara, yang kondisi ekonominya lebih baik, memiliki kesamaan pandangan dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen yang menginginkan pembagian tanggung jawab diantaran negara-negara anggota UE terkait pengungsi. Sementara negara-negara selatan yang kondisi ekonominya tidak cukup kuat menolak usulan tersebut.
Baik pejabat GNA maupun LNA yang saling bersaing dan terlibat konflik sejauh ini belum mengeluarkan pernyataan terkait laporan AI ini. (AP/AFP)