Proses Pilkada Masuki Tahapan Kritis
Para calon kepala/wakil kepala daerah di Pilkada 2020 mulai berkampanye pada Sabtu (25/9/2020). Seluruh komponen harus ikut menjaga salah satu tahapan kritis ini agar tidak menjadi kluster penularan Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Para calon kepala/wakil kepala daerah di Pemilihan Kepala Daerah 2020 mulai berkampanye pada Sabtu (26/9/2020) hingga 71 hari mendatang.
Seluruh komponen harus ikut menjaga salah satu tahapan kritis ini agar tidak menjadi kluster penyebaran virus penyebab Covid-19. Pelanggaran protokol kesehatan pada masa pendaftaran calon tidak boleh terulang lagi.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) per Kamis (25/4), total bakal pasangan calon kepala daerah yang mendaftar sebanyak 743 calon. Namun, terdapat dua calon yang statusnya ditolak. Dengan begitu, total paslon yang mendaftar dengan status diterima adalah 741 calon.
Jika dirinci, jumlah paslon di sembilan provinsi yang akan menggelar Pilkada 2020 sebanyak 25 calon. Adapun ada 615 bakal paslon tersebar di 224 kabupaten dan 101 bakal paslon tersebar di 37 kota.
Baca juga: Calon Diingatkan Disiplin Protokol Kesehatan dan Berpolitik Bersih
Mengacu pada data yang sama, calon tunggal di Pilkada 2020 terdapat di 25 kabupaten/kota. Adapun pada hari pemungutan suara, 9 Desember mendatang, pilkada serentak digelar di 261 kabupaten/kota serta sembilan provinsi.
Sementara itu, tahapan kampanye sudah dimulai sejak besok hingga 5 Desember 2020. Demi menjaga keberlangsungan dan netralitas birokrasi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk empat pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Kemendagri menjadi pejabat sementara (pjs) kepala daerah untuk empat provinsi. Empat provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Jambi, dan Kalimantan Utara.
Selain keempat daerah itu, akan ditunjuk pula pjs bupati/wali kota untuk 133 kabupaten/kota. Untuk ini, nama pjs akan diajukan oleh gubernur ke Mendagri sebelum disetujui menjadi pjs.
Mendagri Tito saat penyerahan surat keputusan untuk pjs gubernur di Kantor Kemendagri, Jakarta, Jumat, mengingatkan, ada setidaknya dua agenda utama yang harus dijalankan pjs selama menjabat.
Pertama, mengawal pilkada agar tidak hanya aman, lancar, dan tertib, tetapi bisa menghasilkan pimpinan daerah yang baik. Kedua, di tengah situasi pandemi Covid-19, para pjs diminta menjadi penggerak dan berkoordinasi dengan forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) untuk mencegah pilkada jadi media penularan Covid-19.
”Tentu dalam mendukung agar pilkada justru jadi momentum menekan Covid-19 di tingkat nasional, 309 wilayah harus bergerak. Itu akan sangat penting artinya untuk mendukung langkah-langkah tingkat pusat. Pusat sendiri bergerak hanya 50 persen mesin, mesin lainnya di daerah juga harus bergerak serempak,” ujar Tito.
Tak hanya itu, Mendagri juga mengingatkan kepada calon yang akan berkontetasi di Pilkada 2020 agar saling beradu gagasan dan berbuat terkait penyelesaian masalah pandemi beserta dampak sosial ekonomi di wilayahnya masing-masing, seperti peningkatan jumlah pengangguran, pertumbuan tingkat kemiskinan, serta penurunan pendapatan asli daerah.
Dalam masa kampanye ini, Tito juga melarang paslon menciptakan kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan massa. Ini akan menjadi media penularan yang signifikan dan bisa menimbulkan sentimen negatif dari publik, seperti yang terjadi di masa pendaftaran paslon pada 4-6 September lalu.
Kerumunan sosial sedapat mungkin tidak terjadi. Pertemuan terbatas pun diutamakan di daerah-daerah yang tidak memiliki sinyal elektronik. Tito berharap terjadi perubahan metode kampanye di Pilkada 2020. Calon harus memanfaatkan media daring, media elektronik, serta media cetak.
Tim sukses dapat menggunakan kampanye terbatas (door to door) untuk menyebarkan alat pelindung diri, yang dijadikan sebagai alat peraga kampanye. Alat pelindung diri tersebut meliputi masker, sarung tangan, hand sanitizer, dan pelindung wajah. Itu bisa ditaruh di depan gang, di sudut-sudut jalan, pasar, terminal, dan bandara.
Menurut Tito, cara tersebut malah bisa menimbulkan kesan positif di mata publik serta menggenjot elektabilitas dan popularitas paslon dibandingkan dengan menciptakan kerumunan yang malah membahayakan keselamatan rakyat.
”Pandemi ini intinya pengendalian sosial. Bagaiman calon kepala daerah bisa mengendalikan daerah dengan ratusan ribuan, bahkan jutaan orang, sementara mengendalikan pendukung yang jumlahnya ribuan saja tidak bisa. Pasti akan berantakan daerah itu,” ucap Tito.
Potret baik
Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, mengungkapkan, secara umum tidak ada pelanggaran serius atas protokol kesehatan di masa penetapan paslon hingga pengundian nomor urut paslon di seluruh daerah pilkada pada 23 dan 24 September 2020.
”Ini potret baik melihat ketertiban atas protokol kesehatan yang diterapkan. Secara umum, penerapan protokol lebih dikuatkan dibandingkan dengan pada saat pendaftaran bakal calon. Koordinasi antara penyelenggara pemilihan dan pihak keamanan lebih sistemis didukung oleh kepatuhan dari pasangan calon,” ujar Afifuddin.
Bawaslu, lanjut Afifuddin, hanya sempat memberikan rekomendasi penundaan dalam pengambilan nomor urut di Kabupaten Bandung. Afif mengatakan, penundaan ini terjadi selama 20 menit karena membawa bus ke dalam area.
”Setelah (bus) keluar area, pengundian (nomor urut) dilanjutkan. Infonya, itu juga diluar kendali tim (sukses),” kata Afifuddin.
Di masa kampanye ini, potensi pelanggaran protokol kesehatan diprediksi terjadi di gang-gang. Oleh karena itu, menurut Afifuddin, sinergi semua pihak menjadi penting dalam upaya mematuhi protokol kesehatan.
Sementara itu, bakal calon wakil gubernur Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar, menyampaikan, kepatuhan menjaga protokol kesehatan dimulai dari calon. Dalam strategi kampanye pun, ia bersama timnya akan lebih memfokuskan pada kampanye virtual.
Adapun calon Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana, mengaku belajar dari teguran Kemendagri pada saat masa pendaftaran. Ia tidak akan mengulangi kesalahan dengan menciptkan kerumunan di masa kampanye.
Menurut Cellica, saat ini, peran media sosial sangatlah penting untuk melakukan sosialisasi dan mendapatkan dukungan masyarakat, terutama kaum milenial. Adapun pertemuan tatap muka tetap dilakukan terbatas untuk menjangkau mereka yang tidak memiliki media sosial.
Celah pelanggaran
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah memprediksi, calon akan lebih mengintensifkan kampanye terbatas karena celah itu masih terbuka di Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19. Aturan yang tidak tegas itu disayangkan karena tetap bisa membuka peluang penyebaran Covid-19.
”Ketentuan yang membolehkan tatap muka, kan, multitafsir. Peserta pemilu mudah saja menginterpretasikan tidak bisa daring lalu memakai cara tatap muka dengan alasan geografis dan kondisi masyarakat. Artinya, kalau alasan-alasan itu masih bisa digunakan, kita belum siap dan paham menggelar pilkada di tengah pandemi,” tutur Hurriyah.
Karena itu, menurut Hurriyah, yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan penyelenggara pemilu untuk melarang segala bentuk pertemuan fisik. Jika masyarakat kini bisa dipaksa untuk beradaptasi dengan pandemi, seharusnya partai politik dan calon bisa juga dipaksa untuk bertransformasi ke metode kampanye virtual.
”Mereka harus dipaksa mencari solusi atas keterbatasan yang ada di masyarakat. Mereka juga bisa mendorong ketersediaan infrastruktur internet di wilayahnya,” ucap Hurriyah.
Pelibatan figur nasional
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pun menilai masa kampanye merupakan salah satu ujian yang paling krusial dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, selain pemungutan dan rekapitulasi suara. Kampanye menjadi titik kritis karena karakternya yang mensyaratkan interaksi antara calon dan pemilih.
”Apalagi, masih dimungkinkannya kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas membuat para pihak yang punya otoritas harus solid dan sinergis dalam mengantisipasi potensi terjadinya pengumpulan massa yang melanggar protokol kesehatan,” ujar Titi.
Baca juga: Larangan Kampanye di Peraturan KPU Rentan Digugat
Masalah lain, lanjut Titi, adalah tingkat kedisiplinan pada protokol kesehatan yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Apalagi, pergerakan orang yang cenderung tak bisa dibatasi dari satu daerah ke daerah lainnya sehingga potensi penyebaran virus menjadi ancaman nyata yang harus diantisipasi dengan penuh keseriusan. Meskipun suatu daerah berstatus zona hijau, di masa kampanye ini sangat mungkin terjadi mobilitas orang dari zona merah ke daerah itu.
”Kecenderungan kandidat yang senang menghadirkan figur-figur nasional sebagai upaya menarik perhatian dan dukungan pemilih. Konsolidasi pemenangan itu, kan, bisanya selalu melibatkan figur nasional yang berpengaruh. Tentu juga ini akan menggerakkan pergerakan orang cukup besar lintas wilayah selama masa kampanye,” tutur Titi.
Pemerintah daerah, menurut Titi, harus bertindak selaras dengan komitmen pemerintah pusat untuk menerapkan protokol kesehatan secara tegas. Selain itu, sinergisitas KPU, Bawaslu, aparat keamanan, Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dan elemen daerah amat diperlukan dalam mengawasi kepatuhan kontestan dan masyarakat pada protokol kesehatan.
”Kejelasan eksekusi tanggung jawab di antara mereka harus dipahami dan diimplementasikan bersama. Jangan sampai tidak terkoordinasi, apalagi sampai berujung saling lempar tanggung jawab dalam merespons terjadinya pelanggaran protokol kesehatan pada masa kampanye yang cukup panjang ini,” ucap Titi.