Ubah Metode Kampanye Konvensional ke Virtual
KPU melarang kampanye yang dapat mengundang kerumunan massa, seperti konser musik dan donor darah. Para calon kepala daerah diharapkan mengoptimalkan kampanye virtual melalui media sosial dan lainnya.
JAKARTA, KOMPAS — Aturan menggelar kampanye di Pemilihan Kepala Daerah 2020 dalam bentuk rapat umum, pentas seni, hingga konser musik telah dihapuskan demi mencegah terjadinya kerumunan massa dan penyebaran Covid-19. Dengan keterbatasan ruang gerak tersebut, para calon kepala daerah dituntut kreatif dan mengintensifkan kampanye secara virtual.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah telah menetapkan pasangan calon kepala daerah pada 23 September, kemudian diikuti dengan pengundian nomor urut pasangan calon kepala daerah pada Kamis (24/9/2020). Setelah itu, tahapan kampanye berlangsung pada 26 September hingga 5 Desember 2020.
Sejalan dengan tahapan-tahapan tersebut, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 resmi diundangkan pada Rabu (23/9/2020). Adapun PKPU ini merupakan perubahan kedua atas PKPU No 6/2020.
Aturan terbaru, misalnya, di dalam Pasal 88C Ayat (1) PKPU No 13/2020, setidaknya terdapat enam jenis kegiatan kampanye yang dilarang dalam Pilkada 2020. Kegiatan tersebut mulai dari pentas seni, panen raya, konser musik, jalan santai, perlombaan, bazar, donor darah, hingga peringatan hari ulang tahun partai politik. Bahkan, PKPU ini juga melarang kampanye akbar atau rapat umum.
Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19, Tingkat Kerawanan Meningkat
Di sisi lain, dalam Pasal 63 PKPU No 13/2020 dijelaskan, bentuk kampanye lain yang tidak melanggar ketentuan undang-undang agar dilakukan melalui media sosial atau media daring.
Terdapat enam jenis kegiatan kampanye yang dilarang dalam Pilkada 2020. Kegiatan tersebut mulai dari pentas seni, panen raya, konser musik, jalan santai, perlombaan, bazar, donor darah, hingga peringatan hari ulang tahun partai politik.
Soal sanksi, KPU juga mulai mencantumkannya di BAB XIA PKPU No 13/2020. Misal, jika partai politik, paslon kepala daerah, atau tim kampanye melanggar ketentuan dalam Pasal 88C Ayat (1), sanksi bisa berupa peringatan tertulis oleh Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota pada saat terjadinya pelanggaran.
Namun, apabila peringatan tertulis tak diindahkan, Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota berhak menghentikan dan membubarkan kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran.
Selain itu, dalam Pasal 88D disebutkan, jika paslon, partai politik pengusul, penghubung paslon, tim kampanye, dan/atau pihak lain didapati melanggar protokol kesehatan, sebagaimana diatur dalam metode kampanye pertemuan terbatas, debat publik, dan penyebaran bahan kampanye kepada umum, maka sanksi bisa berupa peringatan tertulis hingga pembubaran kegiatan kampanye oleh Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota.
Jika peringatan tersebut tetap diabaikan, yang bersangkutan dilarang melakukan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari berdasarkan rekomendasi Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota.
Transformasi kampanye
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby, dalam forum diskusi ”Kampanye Tanpa Gemuruh Massa: Menakar Peluang dan Tantangan Kampanye di Era Pandemi”, mengatakan, di tengah metode kampanye yang kian terbatas, calon harus kreatif dalam memanfaatkan platform digital.
Misal, calon bersama tim suksesnya bisa memproduksi video yang berisi kampanye mereka, lalu disebarkan secara masif di media sosial. Cara lain, calon juga bisa bekerja sama dengan stasiun televisi. Menurut Alwan, transformasi kampanye dari konvensional menjadi virtual ini harus mulai didorong.
”Substansi kampanye bukan pada pengumpulan massa atau yang bersifat seremonial dan euforia semata, melainkan kampanye yang dialogis dan partisipatif. Calon harus mampu menunjukkan substansi kampanye itu meski berbasis daring,” ujar Alwan.
Baca juga: Suara Publik Diabaikan
Sementara itu, Erik Kurniawan, peneliti dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), menyampaikan, perkembangan penetrasi internet di Indonesia bisa menjadi modalitas penting untuk melancarkan kampanye di media sosial.
Berdasarkan data HootSuite, situs layanan manajemen konten yang menyediakan layanan media daring, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Riset yang dirilis pada akhir Januari 2020 itu menyebutkan, jumlah penguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Jika dibandingkan dengan 2019, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.
Dari jumlah pengguna internet di Indonesia, rata-rata waktu mereka dihabiskan berselancar di dunia maya (7 jam 59 menit), media sosial (3 jam 26 menit), dan menonton televisi (3 jam 4 menit).
Jika lebih didalami lagi, lebih dari 80 persen dari total pengguna internet di Indonesia tergolong memiliki hak memilih atau berusia di atas 17 tahun. Adapun media sosial yang paling kerap diakses, seperti Youtube, Whatsapp, dan Facebook.
”Saya kira ini bisa menjadi pemicu untuk menyusun alternatif kampanye di masa pandemi,” tutur Eka.
Catatan Bawaslu, 541 kecamatan di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 masih terkendala jaringan internet.
Potensi pelanggaran
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, mengungkapkan, sebelum keputusan melanjutkan pilkada, sebenarnya pihaknya telah mengingatkan bahwa masalah utama penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi adalah akses internet. Catatan Bawaslu, 541 kecamatan di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020 masih terkendala jaringan internet.
”Tetapi, begitu sudah ada kebijakan politik (melanjutkan pilkada), mau tidak mau, kami perkuat pengawasan, salah satunya di daerah yang belum mendapatkan fasilitas jaringan internet,” ucap Afifuddin.
Menurut Afifuddin, setidaknya tiga hal yang menjadi potensi pelanggaran pemilu di tengah penerapan metode kampanye daring, yaitu netralitas aparatur sipil negara (ASN), ujaran kebencian atau hoaks, serta politik uang yang muncul akibat masifnya pertemuan-pertemuan kecil yang diinisasi oleh calon.
”Potensi pelanggaran karena pemanfaatan media sosial ini harus diantisipasi. Transaksi gagasan di dalam kampanye secara fisik akan berkurang signifikan dengan aturan baru. Terkonfirmasi juga dengan hadirnya banyak calon tunggal. Itu, kan, konsekuensi atas wabah yang terjadi,” kata Afifuddin.
Sementara itu, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah memprediksi, calon akan lebih mengintensifkan kampanye terbatas karena celah itu masih terbuka di PKPU No 13/2020. Aturan yang tidak tegas itu disayangkan karena tetap bisa membuka peluang penyebaran virus Covid-19.
”Ketentuan yang membolehkan tatap muka, kan, multitafsir. Peserta pemilu mudah saja menginterpretasikan tidak bisa daring lalu memakai cara tatap muka dengan alasan geografis dan kondisi masyarakat. Artinya, kalau alasan-alasan itu masih bisa digunakan, kita belum siap dan paham menggelar pilkada di tengah pandemi,” ujar Hurriyah.
Karena itu, menurut Hurriyah, yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan penyelenggara pemilu untuk melarang segala bentuk pertemuan fisik. Jika masyarakat kini bisa dipaksa untuk beradaptasi dengan pandemi, seharusnya partai politik dan paslon bisa juga dipaksa untuk bertransformasi ke metode kampanye virtual.
”Mereka harus dipaksa mencari solusi atas keterbatasan yang ada di masyarakat. Mereka juga bisa mendorong ketersediaan infrastruktur internet di wilayahnya,” ucap Hurriyah.