Rabies masih menjadi ancaman serius di sebagian besar wilayah di Indonesia. Dengan kolaborasi dan vaksinasi tuntas, eliminasi rabies ditargetkan tercapai pada tahun 2030.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 26 provinsi masih dinyatakan sebagai daerah endemis rabies. Padahal, penyakit menular ini bisa dicegah dengan pemberian vaksin pada hewan penular. Selain itu, kesadaran warga untuk segera mendapat pertolongan saat digigit hewan penular perlu ditingkatkan.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Didik Budijanto mengatakan, rabies merupakan tantangan besar di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata angka kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) setiap tahun mencapai 80.861 kasus dengan angka kematian 105 kasus.
“Jumlah GHPR di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat. Setidaknya ada 26 provinsi yang merupakan daerah endemis rabies dan hanya 8 provinsi yang bebas rabies,” katanya, di Jakarta, Jumat (25/9/2020), dalam rangka menyambut Hari Rabies Sedunia yang diperingati setiap tanggal 28 September.
Delapan provinsi bebas rabies tersebut meliputi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat. Selain itu, terdapat wilayah kepulauan yang teridentifikasi bebas rabies, antara lain Pulau Weh (Aceh), Pulau Meranti (Riau), Pulau Sebatik (Kalimantan Utara), dan Pulau Makalehi (Sulawesi Utara).
Didik menambahkan, penularan rabies seharusnya bisa dicegah dengan vaksinasi pada hewan yang menjadi sumber pembawa virus. Vaksin anti rabies minimal harus diberikan pada 70 persen populasi hewan pembawa virus untuk memutus rantai penularan ke manusia. Saat ini, sebagian besar kematian manusia akibat gigital hewan pembawa virus rabies berasal dari gigitan anjing.
Deteksi dini
Menurut Didi, berbagai tantangan masih dihadapi dalam upaya pengendalian rabies di Indonesia. Pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan tentang rabies masih terbatas. Akibatnya, upaya pencegahan dan deteksi dini tidak bisa optimal dijalankan.
Selain itu, vaksin antirabies (VAR) serta serum antirabies (SAR) untuk manusia belum terdistribusi dengan baik di seluruh wilayah di Indonesia. Sebab, pengadaan VAR dan SAR membutuhkan biaya cukup tinggi.
Sejak tahun 2015, jumlah orang yang mendapatkan vaksin antirabies terus bertambah. Tercatat pada 2015, vaksin antirabies diberikan pada 57.899 orang, lalu meningkat menjadi 57.887 orang pada 2018 dan 67.625 orang pada 2019. Namun, tahun ini, jumlah orang yang mendapatkan vaksin antirabies menurun. Pada Januari-Agustus 2020, vaksin antirabies baru diberikan pada 14.263 hewan.
“Penurunan pemberian vaksin ini bisa karena angka penularannya menurun karena kegiatan masyarakat di luar rumah terbatas selama masa pandemi. Namun, bisa juga karena pendataannya tidak maksimal. Ini perlu dikaji lebih lanjut,” kata Didik.
Terkait hal itu, kolaborasi pemerintah pusat dan daerah serta pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat dan swasta diperlukan untuk mengendalikan penularan rabies. Dengan kolaborasi dan vaksinasi tuntas, eliminasi rabies di Indonesia diharapkan tercapai pada 2030, termasuk kenaikan cakupan vaksinasi pada hewan dan tatalaksana kasus gigitan hewan penular rabies.
Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Kementerian Pertanian Arif Wicaksono menuturkan, kasus rabies pada hewan masih cukup tinggi. Setidaknya pada 2019 dilaporkan ada 1.880 kasus hewan rabies di 22 provinsi di Indonesia.
Peningkatan cakupan vaksin rabies pada hewan pun terus dioptimalkan. Pada 2020 telah dialokasikan vaksin sebesar 977.250 vaksin. Meski begitu, pandemi ini membuat proses pemberian vaksin pada hewan menjadi terkendala. Petugas lebih terbatas untuk menangkap anjing yang harus divaksin.
“Kendalanya, banyak warga tidak bertanggung jawab dengan anjing yang dimilikinya. Jadi hanya digunakan ketika dibutuhkan, misalkan untuk menggembala, namun ketika sudah selesai langsung dilepasliarkan,” katanya.
Banyak warga tidak bertanggung jawab dengan anjing yang dimilikinya. Jadi hanya digunakan ketika dibutuhkan, misalkan untuk menggembala, namun ketika sudah selesai langsung dilepasliarkan.
Berbagai inovasi dikembangkan untuk menjangkau lebih banyak hewan untuk divaksinasi. Salah satunya dengan pengembangan vaksin oral. Penggunaan vaksin oral dinilai mempermudah karena anjing liar tak perlu ditangkap melainkan cukup melemparkan vaksin ini ke tempat anjing mencari makan.
Inovasi lain telah dilakukan di DKI Jakarta. Pemberian vaksin dilakukan dengan cara drive through. Cara ini sangat membantu agar pemberian vaksin rabies pada hewan berjalan dengan menjalankan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru.
Tatalaksana rabies
Dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Dr TC Hillers Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur, Asep Purnama mengatakan, pengetahuan warga yang masih terbatas terkait penularan rabies juga menjadi kendala dalam tatalaksana rabies. Kematian akibat rabies bisa dicegah apabila tatalaksana penanganannya bisa dilakukan dengan cepat dan tepat.
Seseorang harus segera mencuci luka bekas gigitan tersebut dengan air besih yang mengalir dan sabun. Jika perlu berikan pula antiseptik pada luka tersebut. Kemudian, pemberian serum antirabies dan vaksin antirabies juga perlu diberikan paling lambat 14 hari setelah digigit hewan pembawa rabies.
“Dari banyak kasus kematian akibat rabies ini karena tatalaksana ini tidak dilakukan dengan cepat. Deteksi dini sangat diperlukan. Umumnya, orang yang terkena rabies akan takut dengan air dan udara. Jika menemukan tanda-tanda itu setelah digigit anjing, sebaiknya segera memeriksakan diri,” tutur Asep.
Ia menambahkan, kasus kematian akibat rabies paling banyak terjadi pada usia anak. Ini bisa disebabkan anak-anak paling sering bersentuhan dengan anjing liar di sekitar tempat tinggalnya. Selain itu, anak sulit mengalami gejala yang dialami sehingga penanganannya menjadi terlambat.