Dari beragam sumber, termasuk ”The Economist”, kata restoran mengakar pada kata ”restaurare”, atau memulihkan. Awalnya itu merujuk pada makna kuah atau kaldu yang menyegarkan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Membatasi jumlah atau mencegah orang yang berkumpul di satu tempat yang sama selalu menjadi langkah pertama yang diambil pemerintah ketika jumlah kasus Covid-19 meningkat. Sasaran utamanya hampir selalu restoran, kafe, tempat hiburan, dan tempat umum lainnya. Jika tak ditutup untuk sementara, restoran, kafe, atau tempat nongkrong lainnya diimbau hanya melayani pesanan untuk dibawa pulang.
Berbagai negara di dunia mengambil kebijakan itu sebagai salah satu cara mencegah penyebaran Covid-19. Ada yang setuju, ada juga yang tidak. Bukan hanya pengelola restoran, kafe, dan tempat umum lain yang mengeluhkan ini karena harus merugi, melainkan juga konsumen yang merasa kehilangan tempat bersosialisasi bersama teman dan saudara.
Meski aturan ketat diterapkan, tetap saja ada yang tak mau patuh sehingga polisi dikerahkan untuk memastikan warga patuh. Seperti Pemerintah Quebec, Kanada, yang mengerahkan polisi untuk berpatroli di sekitar 1.000 restoran dan bar sejak Jumat. ”Orang tidak boleh berkumpul, tidak boleh minum alkohol, tidak boleh nyanyi karaoke, dan menari,” kata Menteri Keamanan Masyarakat Provinsi Quebec Genevieve Guilbault.
Dengan kasus Covid-19 yang mencapai 141.000 kasus dan 9.240 orang di antaranya meninggal, Kanada tidak main-main. Agar ada efek jera, Quebec juga akan mendenda 4.500 dollar AS bagi siapa saja yang tak mau mengenakan masker. Sejak 18 Juli lalu, masker wajib dipakai di tempat-tempat umum. Pemberlakuan denda besar seperti itu juga dilakukan banyak negara, terutama di Eropa.
Pemerintah Marseille, Perancis, juga tegas melarang lebih dari 10 orang berkumpul di tempat umum dan acara-acara besar juga dibatasi maksimal 1.000 orang. Namun, tidak seperti Italia, Belgia, dan Spanyol yang menutup restoran, kafe dan bar, Perancis masih memperbolehkan kafe buka. Warga hanya diminta untuk menjaga jarak fisik. ”Susah membayangkan tidak bisa ke bioskop, restoran, teater, atau sekarang ketemu teman dan saudara. Buat saya, itu penting,” kata Alexandra Baronnet, warga Marseille.
Studi terbaru yang dilakukan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat, Kamis lalu, menguatkan kebijakan pelarangan makan minum dan kumpul-kumpul di restoran, bar, dan kafe. Studi itu menunjukkan restoran dan bar lebih berisiko menjadi tempat penularan Covid-19 ketimbang berbelanja di toko, bekerja di kantor, atau menggunakan transportasi publik. Alasannya, ketika makan dan minum mau tak mau orang harus melepaskan maskernya. Bahkan, ketika mengobrol pun, orang terkadang lupa memakai masker.
Sosialisasi
Larangan seketat apa pun tampaknya tak mudah mencegah orang untuk berkumpul, apalagi makan minum bersama di restoran atau kafe. Guru Besar Departemen Sejarah Fudan University Gao Xi menjelaskan, setiap kali terjadi epidemi, pasti akan banyak orang yang tidak mau makan di luar rumah lagi, tetapi tetap saja akan ada yang tidak mau mengubah kebiasaannya. ”Kalau melihat sejarah, perubahan kebiasaan orang untuk tidak mau makan di luar itu hanya sementara. Tidak akan bertahan lama,” ujarnya kepada CGTN.
Kebiasaan makan bersama merupakan tradisi yang tidak akan pernah hilang meski menjaga jarak fisik kini menjadi keharusan. Pasalnya, kata Gao, makan di luar rumah itu bukan hanya urusan makan. Lebih dari itu. Makan di luar rumah itu menjadi ritual dan kesempatan untuk berinteraksi sosial. Pengalaman ini tak bisa digantikan dengan makan di rumah saja. ”Makan bersama teman atau saudara di luar rumah bagi sebagian orang lebih bermakna,” ujarnya.
Makan bersama di luar rumah juga, kata Gao, merefleksikan kebiasaan, tradisi, warisan budaya, dan cara berpikir sehingga pasti akan sulit diubah. Seperti di budaya masyarakat China yang makan bersama di meja yang besar dengan masakan lengkap dan banyak.
Simbol kebebasan
Bagi Chris Corbin dan Jeremy King, pemilik restoran di London, Inggris, restoran bukan sekadar tempat untuk makan minum, melainkan juga menjadi simbol kebebasan. Restoran mengabadikan gagasan tentang pilihan dan kemampuan seseorang untuk membuat pilihan.
Kepada majalah The Economist, edisi Juli lalu, Corbin juga menceritakan restoran memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang menjadikannya sebagai tempat makan saja, tempat berkumpul, pertemuan bisnis, wawancara, tempat kencan pertama, tempat putus, atau apa pun.
Kata ”restoran” yang kini merujuk pada tempat untuk makan, sebut The Economist, sebenarnya memiliki arti kuah atau kaldu yang menyegarkan. Kini artinya meluas sebagai tempat untuk melakukan pertukaran atau interaksi sosial. Makan bersama dengan orang lain di restoran juga berarti kita berbagi selera, ruang, kebiasaan, dan perilaku yang sama.
Karena urusannya bukan hanya makan, Corbin dan King merancang desain interior restoran dan menyulap suasana di dalam restoran mereka sehingga siapa saja yang masuk akan merasa betah seperti di rumah. Kritikus restoran di harian Sunday Times, Marina O’Loughlin, menilai restoran bisa didesain sedemikian rupa sehingga orang betah dan seakan lupa waktu. ”Restoran tak lagi hanya tempat menikmati makanan, tetapi bisa juga menikmati fantasi sejenak. Sendiri ataupun bersama-sama,” ujarnya.
Barangkali ini yang membuat orang sulit untuk mematuhi imbauan untuk tidak berkumpul di restoran, kafe, atau tempat umum lainnya. Ada kebutuhan yang hilang. Meski kini restoran dan kafe memberlakukan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak fisik dan mengenakan masker, tetap saja orang mau datang untuk berkumpul berbagi cerita bersama teman dan saudara atau sekadar duduk menikmati makanan dan suasana. (REUTERS/AFP/AP)