Ikan Patin Perkasa Indonesia Siap ”Melawan” Vietnam
›
Ikan Patin Perkasa Indonesia...
Iklan
Ikan Patin Perkasa Indonesia Siap ”Melawan” Vietnam
Pengembangan benih patin unggulan terus didorong sebagai salah satu program prioritas perikanan budidaya. Meski demikian, peningkatan daya saing patin menghadapi tantangan di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikan patin perkasa mulai dikembangkan untuk budidaya. Varietas baru itu diharapkan mendorong daya saing patin Indonesia, terutama menghadapi persaingan dengan patin asal Vietnam.
Varietas patin perkasa merupakan hasil riset yang dilakukan Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Hasil inovasi patin perkasa sudah mulai dipanen, antara lain di Tulungagung, Jawa Timur.
Dari rilis Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (25/9/2020), keunggulan ikan patin perkasa antara lain adalah pertumbuhannya lebih cepat 16,61-46,42 persen dibandingkan dengan varietas biasa. Produktivitasnya juga lebih tinggi dan rasio konversi pakan (FCR) lebih rendah 5,6-16,3 persen. Harga pokok produksi juga lebih rendah 4,45-17,92 persen.
Ketua Bidang Budidaya Patin Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) Imza Hermawan mengatakan, ikan patin perkasa merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah menjawab kebutuhan induk unggul yang menghasilkan benih unggul. Patin perkasa dinilai mempunyai performa pertumbuhan lebih baik sehingga pembudidaya dapat melakukan efisiensi produksi.
”Saat ini, patin perkasa mulai dikenal dan dicari untuk budidaya. Pembudidaya bisa mendapatkan efisiensi produksi dan marjin keuntungan yang lebih baik,” ujarnya.
Pertumbuhan ikan patin perkasa lebih cepat 16,61-46,42 persen dibandingkan dengan varietas biasa. Produktivitasnya juga lebih tinggi dan rasio konversi pakan (FCR) lebih rendah 5,6-16,3 persen. Harga pokok produksi juga lebih rendah 4,45-17,92 persen.
Menurut Imza, pembudidaya saat ini mengharapkan kecukupan induk unggul untuk mendorong daya saing. Namun, upaya meningkatkan daya saing tidak cukup dengan dukungan dari sisi budidaya.
APCI berharap ada sinergi hulu-hilir, mulai dari peningkatan produksi, pengolahan yang bernilai tambah, hingga pemasaran. ”Peningkatan daya saing masih perlu perjuangan mengingat masalah persaingan pasar tidak hanya melulu bisa diatasi dari sisi budidaya,” katanya.
Pandemi Covid-19 menyebabkan perdagangan ikan patin jeblok. Pada April-Mei, penjualan filet patin di Indonesia turun hingga 60-70 persen. Sejumlah pabrik pengolahan patin tutup sementara karena stok menumpuk akibat penurunan permintaan. Namun, memasuki Juli 2020, pasar patin mulai bergeliat dan pada Agustus serapan pasar sudah 50 persen.
Imza menambahkan, hingga saat ini stok patin masih cenderung berlebih. Serapan pasar saat ini sudah hampir 70 persen dibandingkan dengan kondisi normal. Dalam kondisi normal, setiap bulan sekitar 2.500 ton patin dikirim ke pabrik pengolahan untuk diolah menjadi produk ikan filet. Pemasaran patin ke Arab Saudi yang dirintis sejak tahun lalu kini juga masih tersendat.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Sjarief Widjaja mengemukakan, panen patin dari hasil inovasi riset itu diharapkan bukan menjadi akhir kegiatan, melainkan menjadi tonggak pengembangan usaha. Produksi budidaya patin itu diharapkan dapat diolah lebih lanjut.
”Tulungagung diharapkan berkembang menjadi desa wisata dengan produk khas olahan patin, seperti nasi lodo patin,” ujarnya.
Tulungagung diharapkan berkembang menjadi desa wisata dengan produk khas olahan patin, seperti nasi lodo patin.
Sjarief juga mengusulkan perlunya harmonisasi tanam, yakni pengaturan waktu tebar benih. Dengan demikian, tidak terjadi penebaran benih dan panen dalam waktu yang bersamaan. ”Harganya pun bisa stabil. Saya berharap kita membuat semacam model ekonomi untuk desa ini dan menjadi contoh bagi yang lain,” ucapnya.
Dalam Outlook Perikanan 2020, pemerintah memprioritaskan program pengembangan budidaya untuk lima komoditas unggulan. Komoditas itu adalah udang, lobster, rumput laut, patin, dan ikan hias.