Krisis kepercayaan publik kepada KPK terus berlanjut. Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik. ”Wajah” dari KPK, Febri Diansyah memutuskan mundur dari KPK. Mungkinkah krisis dipulihkan?
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Krisis kepercayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi KPK terus berlanjut. Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik. ”Wajah” dari KPK Febri Diansyah memutuskan mundur dari KPK. Persoalan yang mendegradasi kepercayaan publik pada KPK tak henti-hentinya muncul pasca-Undang-Undang KPK direvisi, pertengahan September 2019, kemudian menyusul estafet kepemimpinan KPK ke Firli Bahuri cs, akhir 2019. Mungkinkah krisis kepercayaan dipulihkan?
Dewan Pengawas (Dewas) KPK melalui putusannya pada Kamis (24/9/2020) memutuskan Firli Bahuri melanggar kode etik dan pedoman perilaku KPK. Ia dinilai tidak menunjukkan keteladanan ketika memutuskan menyewa helikopter mewah untuk perjalanan pribadi pada Juni 2020.
Sekalipun hanya sanksi ringan yang dijatuhkan Dewas KPK pada Firli, pelanggaran kode etik seolah menguatkan keraguan yang muncul pada sosoknya.
Keraguan yang sudah muncul sejak ia dipilih oleh DPR memimpin KPK hingga 2023. Kala itu seperti diketahui, ia didera kabar bahwa dirinya pernah diputus melanggar etik karena bertemu pihak yang berperkara dengan KPK saat posisinya masih menjabat Deputi Penindakan KPK. Ia juga pernah bertemu dengan salah satu ketua umum partai politik. Firli pun diduga menerima pembayaran hotel dan 600 lembar tiket konser boyband Eropa terkait dengan posisinya sebagai Deputi Penindakan KPK.
Sempat muncul penolakan kuat dari mahasiswa, kelompok masyarakat sipil, dan kalangan akademisi, tetapi DPR bergeming, dan tetap memilihnya, bahkan menjadikannya Ketua KPK.
Ketika kepercayaan publik kepada KPK berpotensi kian luntur setelah pucuk pimpinan tertingginya dinyatakan melanggar kode etik, krisis kepercayaan menguat dari internal KPK.
Pada hari yang sama ketika Firli dinyatakan melanggar kode etik, Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Febri Diansyah yang pernah menjadi ”wajah” KPK karena selalu hadir menjelaskan setiap kerja KPK kepada publik mengumumkan pengunduran dirinya dari KPK.
Alasannya sungguh menohok. Ia melihat, kondisi politik dan hukum telah berubah bagi KPK. Hal ini terutama akibat revisi Undang-Undang KPK. Febri mengaku mencoba bertahan di KPK dan berupaya berbuat sesuatu agar bisa tetap berkontribusi untuk pemberantasan korupsi.
”Namun, secara pribadi, saya melihat rasanya ruang bagi saya untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi akan lebih signifikan kalau saya berada di luar KPK. Tetap memperjuangkan dan ikut dalam advokasi pemberantasan korupsi,” tuturnya.
Febri bukan pegawai KPK pertama yang mundur pasca-revisi UU KPK. Pertengahan Desember 2019, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang pernah menyebutkan, ada 12 pegawai KPK yang mengundurkan diri setelah berlakunya UU KPK hasil revisi.
KPK melemah
Akibat revisi UU KPK, kerja lembaga yang didirikan pada 2003 itu memang dinilai banyak kalangan telah melemah.
Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019, produk hasil revisi UU KPK sebelumnya dinilai menghambat kerja penindakan KPK. Kewenangan penyadapan, misalnya, baru bisa dijalankan setelah memperoleh izin dari Dewan Pengawas.
UU No 19/2019 juga dinilai telah mengubah KPK dari lembaga independen menjadi tidak independen karena menjadi lembaga pemerintahan. Sebagai bagian dari itu, pegawai KPK diubah statusnya menjadi aparatur sipil negara.
Melemahnya kerja KPK berlanjut ketika Firli Bahuri cs memegang kendali KPK sejak 20 Desember 2019. Operasi tangkap tangan (OTT) koruptor jarang lagi dilakukan oleh KPK. Padahal, hal itu yang membedakan KPK dengan aparat penegak hukum lainnya untuk menciptakan efek jera kepada koruptor.
Belum lagi pengusutan kasus-kasus megakorupsi, seperti kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia dan Bank Century, yang tak jelas kabarnya. Ditambah lagi, Januari lalu, Harun Masiku, penyuap bekas komisioner KPU, Wahyu Setiawan, bisa lolos dari tangkapan KPK, bahkan hingga kini masih buron.
Maka, tidak heran jika kepercayaan publik kepada KPK terus menurun.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 17-20 Juni 2020 terhadap 591 responden di 33 provinsi mengindikasikan adanya penurunan tingkat keyakinan dan persepsi positif responden terhadap KPK. Sebanyak 54,9 persen responden yakin pemberantasan korupsi oleh KPK akan lebih baik, sedangkan responden yang menjawab tidak yakin 41,6 persen, dan sisanya tidak tahu.
Hal ini memburuk dibandingkan dengan jajak pendapat Kompas pada Januari 2020, yakni 76,8 persen menjawab yakin dan 19,8 persen tidak yakin. Dari sisi tingkat kepuasan terhadap kinerja KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi, 56,9 persen responden menyatakan tidak puas. Persentase ini lebih buruk dibandingkan dengan jajak pendapat sebelumnya, 35,9 persen.
Selain itu, citra KPK memburuk. Hasil jajak pendapat Juni 2020 menunjukkan, 44,6 persen responden menjawab citra KPK baik. Sementara pada jajak pendapat Januari 2020 terdapat 64,2 persen responden yang menjawab baik.
Persepsi masyarakat terkait citra KPK tercatat menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020. Pada Mei 2017, sebanyak 82,8 persen responden menjawab citra KPK baik.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri pernah mengatakan, KPK tetap bekerja optimal pasca-revisi UU KPK. Di bidang penindakan, misalnya, KPK telah mengeluarkan setidaknya 30 surat perintah penyidikan dengan total 36 tersangka. Mereka juga menangani kasus dengan kerugian keuangan negara ratusan miliar, seperti kasus di Bengkalis (Riau) dan kasus dugaan korupsi di PT Dirgantara Indonesia.
KPK juga berhasil menangkap dua buronan kasus suap dan gratifikasi di Mahkamah Agung (MA), yakni bekas Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono.
Di bidang pencegahan, KPK, di antaranya, memberikan rekomendasi terkait permasalahan pengadaan barang dan jasa Covid-19, persoalan di BPJS, dan per 22 Juni 2020, 146 daerah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi yang mencakup 62.289 SD, 15.104 SMP, dan 14.552 SMA.
Namun tetap saja publik menilai sebaliknya.
Jadi kenyataan
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, kekhawatiran yang dibayangkan ketika UU KPK direvisi telah menjadi kenyataan. Kinerja KPK menjadi semakin biasa-biasa saja. Kemudian di internal terjadi ketidaknyamanan yang berakibat pada mundurnya Febri dan sejumlah pegawai KPK lainnya. Kondisi ini diperparah pelanggaran etik oleh Firli yang membuat kepercayaan terhadap KPK kian tergerus.
”Ini merupakan rentetan kenyataan demi kenyataan KPK yang membuat KPK semakin jauh dari harapan publik, bahkan jauh dari harapan orang-orang di dalamnya,” ujarnya.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kunci untuk memulihkan kepercayaan publik kepada KPK kini adalah dengan membuat KPK kembali bertaring. Harapan untuk ini bertumpu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Fickar yang termasuk dalam tim permohonan uji formil dan materi UU KPK ke MK berharap MK membatalkan UU KPK hasil revisi yang selama ini dinilai telah melemahkan KPK.
Harapan terakhir untuk kembali membuat KPK bertaring tinggal di ranah yudikatif. Sebab, eksekutif dan legislatif terlihat sudah sangat solid dan saling menopang untuk mempertahankan regulasi KPK saat ini.