Migran dan Pengungsi Merana di Tengah Eropa yang Terbelah
›
Migran dan Pengungsi Merana di...
Iklan
Migran dan Pengungsi Merana di Tengah Eropa yang Terbelah
Sikap negara-negara Eropa terhadap pengungsi dipertanyakan. Alih-alih membantu memperluas akomodasi bagi para migran dan pengsungsi, beberapa negara justru membatasi akses perlindungan atas mereka.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
SARAJEVO, JUMAT — Kehidupan ribuan migran dan kaum pengungsi di Benua Eropa dikhawatirkan semakin diwarnai ketidakpastian menjelang datangnya musim dingin di tengah kondisi pandemi Covid-19. Terbelahnya sikap negara-negara Uni Eropa tentang suaka menambah situasi pelik yang dihadapi para pencari kehidupan yang lebih baik itu.
Tragedi terbaru dilaporkan datang dari Perancis, Jumat (25/9/2020). Sepuluh migran dari Komoro, Afrika Timur, tewas tenggelam saat perahu yang membawa mereka menuju Mayotte, Perancis, kandas. Termasuk dalam barisan para migran yang tewas itu adalah seorang bocah berusia tujuh tahun.
Mayotte dalam beberapa tahun terakhir menyaksikan masuknya banyak migran dari negara-negara di Afrika. Sepuluh migran yang tewas itu berada dalam sebuah rombongan yang diidentifikasi terdiri dari 24 orang. Mereka berangkat ke Mayotte dengan perahu nelayan dari Anjouan dan menempuh perjalanan sepanjang 70 kilometer (43 mil). Sepuluh mayat ditemukan terdampar di pantai timur laut Mayotte.
Dari Bosnia dilaporkan, dari total sekitar 8.500 migran yang terjebak di Bosnia, misalnya, kini lebih dari 2.500 warga terpaksa tidur di luar ruangan yang dapat dikategorikan layak. Mereka tinggal di hutan, jalanan, dan bangunan-bangunan telantar. Kebanyakan dari mereka terdampar di wilayah barat laut Krajina, wilayah yang berbagi perbatasan sepanjang 1.000 kilometer (620 mil) dengan Kroasia yang merupakan anggota UE.
Peter Van der Auweraert, koordinator Organisasi Internasional untuk Migrasi untuk wilayah perwakilan Bosnia dan koordinator di Balkan Barat, mengatakan, sikap otoritas-otoritas lokal tidak memihak para migran dan pengungsi. Alih-alih membantu badan PBB untuk memperluas akomodasi bagi para migran, beberapa otoritas lokal di negara itu justru malah membatasi akses mereka untuk mendapatkan perlindungan.
”Yang menyedihkan dari hal ini adalah bahwa ini sama sekali tidak perlu karena kami memiliki sumber daya keuangan, yang sebagian besar disediakan oleh UE, untuk menyediakan (hunian) dan menjaga semua orang,” kata Van der Auweraert, Kamis (24/9/2020). ”Ada 1.500 orang di Krajina. Otoritas lokal hanya mengizinkan penyediaan bagi 500 orang. Sementara 1.000 lainnya bisa kita tampung segera, tetapi tidak diizinkan oleh mereka.”
Kondisi yang mirip juga terjadi di Turki. Tak lama setelah mencapai Pulau Lesbos di Yunani, tengah pekan ini, sekelompok migran asal Afghanistan mengatakan harapan mereka untuk kehidupan baru di Eropa pupus.
Kondisi yang mirip juga terjadi di Turki. Tak lama setelah mencapai Pulau Lesbos di Yunani, tengah pekan ini, sekelompok migran asal Afghanistan mengatakan harapan mereka untuk kehidupan baru di Eropa pupus. Mereka dikumpulkan oleh otoritas Yunani. Namun, otoritas setempat memperlakukan mereka dengan buruk. Mereka didorong kembali naik ke perahu-perahu yang mereka gunakan untuk merapat ke Eropa dan meminta mereka meninggalkan pulau.
”Mereka mengambil telepon kami dan mengatakan bus akan datang dan membawa Anda ke kamp,” kata Omid Hussain Nabizada dalam bahasa Turki. ”Namun, mereka membawa kami dan menempatkan kami di perahu. Mereka meninggalkan kami di air dengan cara yang sangat buruk di perahu ini.”
Turki, yang menampung sekitar 4 juta pengungsi, menuduh Yunani melakukan penolakan skala besar-besaran. Hal itu dilakukan melalui deportasi singkat tanpa akses ke prosedur suaka. Tindakan itu dinilai sebagai hal yang melanggar hukum internasional. Ankara juga menuduh UE menutup mata terhadap apa yang dikatakannya sebagai pelanggaran hak asasi manusia terang-terangan.
Saling tuduh pun terjadi. Penjaga pantai Turki mengatakan telah menyelamatkan lebih dari 300 migran. Mereka adalah orang-orang yang ”didorong kembali oleh pihak-pihak di Yunani ke perairan Turki” sepanajang bulan ini saja. Mengutip apa yang mereka katakan sebagai laporan yang kredibel, kelompok hak asasi internasional telah berulang kali menyerukan penyelidikan atas tindakan serupa.
Yunani, yang terletak di perbatasan tenggara UE dan menanggung beban arus migrasi dari Turki, menyangkal tuduhan tersebut dan pada gilirannya menuduh Ankara mempersenjatai para migran.
Merombak sistem suaka
Para pejabat tinggi migrasi UE pada Kamis pekan ini menawarkan sebuah rencana baru, yakni usulan program yang bertujuan merombak sistem suaka yang dinilai gagal di blok itu. Para kritikus mengatakan proposal tersebut berfokus pada tindakan deportasi atas migran yang tidak memenuhi syarat sebagai pengungsi dan membujuk negara-negara Afrika untuk menghentikan kedatangan mereka.
Program itu bertajuk Pakta Baru tentang Migrasi dan Suaka. Program itu bertujuan mengakhiri kekacauan di perbatasan Eropa. Sejumlah negara menyambutnya dengan skeptis, di antaranya Austria, Ceko, dan Hongaria. Bersama dengan Polandia dan Slovakia, mereka menolak tunduk pada tekanan untuk menerima dan meringankan beban para pengungsi.
Usulan program itu harus didukung oleh semua 27 negara UE dan Parlemen Eropa. Usulan itu dinilai sulit terwujud, terutama karena para pejabat tinggi migrasi ingin melihatnya disetujui pada akhir tahun.
Jerman, Perancis, Yunani, dan Italia melihat pakta tersebut sebagai dasar yang baik untuk bernegosiasi. ”Kami memiliki sistem yang masuk akal. Saya tidak meminta Anda untuk menyukainya. Saya meminta Anda untuk memahaminya,” kata Wakil Presiden Komisi Eropa Margaritis Schinas.
Berdasarkan proposal tersebut, migran yang tiba di perbatasan luar Eropa tanpa izin akan diperiksa dalam waktu lima hari. Mereka kemudian akan memasuki prosedur suaka atau dideportasi, keduanya dalam waktu 12 minggu. Migran dapat ditahan di seluruh tempat penahanan. Namun, mereka bakal berada dalam situasi ketidakpastian hukum karena pada saat kedatangan mereka tidak dianggap telah memasuki wilayah UE.
Negara-negara anggota UE akan menghadapi dua pilihan. Pertama, menerima beberapa pengungsi atau memberikan dukungan material dan logistik lainnya. Pilihan lainnya adalah, bagi mereka yang tidak mau, harus bertanggung jawab mendeportasi orang-orang yang lamarannya ditolak. Negara-negara yang menerima pengungsi akan menerima 10.000 euro (11.650 dollar AS) per orang dalam bantuan dari kas UE. (AP)