Mitigasi Risiko Pilkada Saat Pandemi Covid-19
Memilih opsi menunda pilkada pada sebagian daerah yang angka Covid-19 menunjukkan tren peningkatan adalah jalan tengah yang bisa dipertimbangkan untuk alasan kemanusiaan—daripada tetap melaksanakan pilkada.
Di tengah desakan sejumlah pihak untuk meminta penundaan pelaksanaan pilkada, pemerintah dan DPR memutuskan tetap melangsungkan pilkada pada 9 Desember 2020. Keputusan tersebut diambil dalam rapat dengar pendapat di DPR, 22 September 2020. Sebelum rapat dengar pendapat dimulai, pemerintah melalui juru bicara mengirimkan rilis media yang isinya menyampaikan posisi pemerintah untuk tetap menggelar pilkada serentak sesuai jadwal.
Tulisan ini akan membahas beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan untuk memitigasi risiko penyebaran Covid-19 dalam pelaksanaan tahapan kampanye dan pilkada, serta bagaimana pembelajaran yang bisa diambil dalam proses pembuatan kebijakan strategis dalam masa krisis pandemi Covid-19.
Dalam masa krisis pandemi seperti saat ini, proses pengambilan kebijakan idealnya mempertimbangkan kolaborasi multi-aspek dan multi-stakeholder. Kebijakan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pelaksanaan pilkada di masa pandemi, seharusnya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang kesehatan dan penanganan bencana. Keputusan multi-pihak dianggap lebih komprehensif dan punya daya pengaruh yang kuat karena mendapatkan perspektif dari banyak pihak atau disiplin ilmu.
Dalam masa krisis pandemi seperti saat ini, proses pengambilan kebijakan idealnya mempertimbangkan kolaborasi multi-aspek dan multi-stakeholder.
Dalam pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan pilkada, pengambil kebijakan sepertinya belum terbuka terhadap opsi-opsi alternatif terhadap skenario penundaan pilkada. Kondisi dan indikator kesehatan yang berbeda pada setiap daerah yang akan melaksanakan pilkada sebaiknya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Dengan begitu, keluaran (output) kebijakan menjadi relevan. Artinya, karena indikator kesehatan yang berbeda pada setiap daerah, pengambilan kebijakan terkait dengan pilkada tidak bisa dipukul rata untuk semua daerah.
Dengan mempertimbangkan indikator kesehatan tersebut, dapat saja ada daerah yang tetap melaksanakan pilkada pada 9 Desember dan ada daerah yang ditunda pelaksanaannya pada tahun depan. Model penundaan sebagian daerah juga bisa diterapkan dalam Pilkada 2020, mengacu pada kebijakan sejumlah negara demokrasi di tingkat global (Internasional IDEA, 2020).
Risiko jika dipaksakan
Terdapat beberapa risiko yang mungkin terjadi apabila memaksakan pelaksanaan pilkada di daerah-daerah dengan indikator kesehatan dan kasus Covid-19 yang masih tinggi, misalnya daerah-daerah dengan zona merah/hitam.
Pertama, memaksakan pilkada pada daerah dengan zona hitam/merah bisa berpotensi meningkatkan penyebaran kasus Covid-19 karena kepala daerah berkonsentrasi pada kampanye dibandingkan dengan penanganan Covid-19. Apalagi durasi kampanye cukup panjang, dari 26 September sampai 6 Desember 2020. Padahal, faktor kepemimpinan kepala daerah menjadi penting dalam mitigasi risiko dalam penurunan angka Covid-19. Dalam situasi krisis, penanganan Covid-19 sangat membutuhkan faktor kepemimpinan dan kemauan politik yang kuat dari pengambil kebijakan (Guest, de Rio & Sanchez, 2020).
Risiko kedua adalah implementasi penanganan Covid-19 yang berpotensi akan terganggu karena peran kepala daerah menjadi penting dari sisi implementasi kebijakan penanganan Covid-19 di daerah, baik dari sisi kebijakan anggaran maupun politik, bantuan sosial, dan lainnya. Kondisi ini diperparah lagi apabila kepala daerah petahana pecah kongsi dalam pilkada. Pecah kongsi membuat kompetisi menjadi lebih tinggi dan fokus calon kepada sosialisasi dan kampanye menjadi lebih tinggi.
Pecah kongsi membuat kompetisi menjadi lebih tinggi dan fokus calon kepada sosialisasi dan kampanye menjadi lebih tinggi.
Dari data yang dianalisis berdasarkan informasi yang dimuat di laman www.kpu.go.id, pecah kongsi di level bupati dan wakil bupati itu terjadi di 75 dari 224 pilkada pada level kabupaten, atau sekitar 33,5 persen. APabila difilter berdasarkan daerah yang diikuti oleh petahana saja, angka pecah kongsi antara bupati dan wakil bupati akan menjadi tinggi. Potensi gangguan pada penanganan Covid-19 juga terjadi karena petahana harus mengajukan cuti selama masa kampanye (71 hari) sehingga daerah akan dipimpin pelaksana tugas (plt) kepala daerah.
Tingginya angka pecah kongsi dan memaksakan pilkada di daerah yang zona merah/hitam akan mengganggu penanganan Covid-19. Apabila pemimpin daerah tidak fokus, kita akan kehilangan ”golden time” untuk menurunkan penyebaran angka Covid-19 di daerah. Keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mengelola ”golden time” dalam masa krisis sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan (Garcia, 2006).
Dalam kasus Korea Selatan, misalnya, keberhasilan penanganan Covid-19 dipengaruhi beberapa hal yang saling berkaitan, di antaranya kepemimpinan yang percaya pada bukti dan rekomendasi yang disampaikan oleh ahli kesehatan, transparansi data, dan dukungan dari kepatuhan publik dan perusahaan swasta untuk menerapkan protokol kesehatan (Lee, Hwang, & Moon, 2020).
Mitigasi risiko
Dalam penentuan penundaan atau pelaksanaan pilkada, indikator dan data kesehatan sebaiknya menjadi patokan utama. Pada titik ini, keterbukaan pemerintah untuk menyampaikan data dan tren harian angka Covid-19 untuk dapat diakses publik menjadi penting.
Tren harian tersebut baiknya tersedia pada setiap kabupaten/kota. Dengan begitu, publik dapat terlibat aktif untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan, terutama untuk ikut menganalisis daerah mana yang bisa menyelenggarakan pilkada di 2020 dan mana yang harus ditunda ke tahun depan, berdasarkan data-data kesehatan.
Terkait dengan penundaan, ada beberapa opsi yang bisa diambil, di antaranya menunda pilkada di 270 daerah sampai dengan Maret 2021. Atau memilih opsi moderat dengan menunda pilkada pada sebagian daerah yang secara indikator kesehatan tidak memungkinkan dilaksanakan pilkada, misalnya daerah yang masuk dalam kategori zona merah/hitam.
Kolaborasi lintas organisasi/lembaga menjadi penting untuk menentukan daerah mana yang dapat melanjutkan pilkada dan mana yang harus ditunda. Indikator kesehatan adalah indikator utama untuk menentukannya, misalnya dengan melihat tren kasus aktif harian, kemampuan daerah untuk melakukan tracing, angka testing-rate dan permodelan/prediksi Covid-19 ke depan.
Dalam penentuan penundaan atau pelaksanaan pilkada, indikator dan data-data kesehatan sebaiknya menjadi patokan utama.
Apabila pilkada tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020, ada beberapa hal yang dapat mengerem pembentukan kluster Covid-19 di masa pilkada dan diadopsi menjadi regulasi kampanye dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Pertama, memperpendek durasi kampanye. Dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2020, kampanye dilaksanakan selama 71 hari dari 26 September menjadi 6 Desember. Memperpendek durasi kampanye dapat mengurangi mobilisasi pemilih sehingga interaksi banyak orang bisa diatasi. Apalagi, efek kampanye terhadap perilaku memilih dan partisipasi dalam pemilu belum sepenuhnya terkonfirmasi/terjawab (Jacobson, 2015).
Kedua, menerapkan sanksi administratif kepada calon dan tim yang melanggar protokol kesehatan. Dibandingkan sanksi pidana dan teguran, sanksi administratif seperti penerapan diskualifikasi biasanya lebih efektif dalam meningkatkan kepatuhan peserta pilkada. Penyelenggara pemilu juga dapat menerapkan sanksi administratif lain, misalnya memberikan hukuman dengan mengurangi waktu kampanye bagi calon yang terbukti melanggar protokol kesehatan.
Memang penerapan diskualifikasi, dari sisi regulasi, terbentur karena UU Pilkada belum mengatur sanksi diskualifikasi berdasarkan pelanggaran protokol kesehatan. Dalam UU No 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, sanksi diskualifikasi hanya bisa diterapkan pada pelanggaran politik uang, petahana melakukan mutasi enam bulan sebelum masa jabatan berakhir, atau partai pengusung menerima dana asing.
Kekosongan ini bisa ditutup apabila pemerintah dalam waktu cepat menerbitkan perppu yang khusus mengatur sanksi pelanggaran protokol kesehatan dalam pilkada di masa pandemi.
Memilih opsi yang moderat dengan menunda pilkada pada sebagian daerah yang angka Covid-19 menunjukkan tren peningkatan adalah jalan tengah yang bisa dipertimbangkan untuk alasan kemanusiaan—daripada tetap melaksanakan pilkada di 270 daerah.
(Arya Fernandes, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS)