Setahun Penembakan Randi-Yusuf dan Jejak Si ”Parabellum”
Setahun sudah kasus meninggalnya Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi, dua mahasiswa UHO Kendari, Sultra. Namun, kasus keduanya belum terungkap jelas. Mahasiswa turun ke jalan untuk memperingati September Berdarah.
Tepat setahun sejak aksi berdarah yang menewaskan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, pelaku belum terungkap jelas. Kasus penembakan Randi (22) masih dalam persidangan. Sementara kasus meninggalnya Muhammad Yusuf Kardawi belum terungkap sama sekali. Bukti proyektil kaliber 9/19 milimeter, atau si Parabellum, menjadi salah satu kunci.
Kamis, 26 September 2019, Randi dan Yusuf meninggal saat mengikuti aksi yang berujung bentrokan dengan aparat kepolisian di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka mengikuti aksi penolakan RUU KUHP, RUU KPK, dan lainnya yang dianggap kontroversial.
Anak peluru di depan STMIK Catur Sakti mengalami deformasi yang cukup parah sehingga sulit untuk diperiksa.
Randi meninggal setelah terkena tembakan di ketiak kiri yang tembus ke dada kanan. Sementara Yusuf mengalami luka terbuka di kepala. Berdasarkan temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yusuf juga terkena tembakan di kepala. Hingga saat ini, pelaku penembakan keduanya belum terungkap.
Kamis (24/9/2020), dua hari sebelum peringatan satu tahun aksi berdarah yang menewaskan dua mahasiswa tersebut. Sidang penembakan kasus Randi dengan terdakwa Brigadir AM berlangsung secara virtual. Brigadir AM adalah satu dari enam aparat yang telah disidang etik oleh Polda Sultra karena diketahui membawa senjata dan melepaskan tembakan saat aksi. Ia sebelumnya bertugas sebagai tim Buser di Polres Kendari.
Selain di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara Brigadir AM di Mabes Polri, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Herlina dari Kejaksaan Tinggi Sultra juga mengikuti sidang. Ia memonitor sidang dari aula Kejaksaan Negeri (Kejari) Kendari. Kejari Kendari berjarak sekitar 100 meter dari lokasi kejadian tertembaknya Randi.
Proyektil dan selongsong
Dari monitor, saksi ahli balistik Wiji Purnomo menjelaskan terkait barang bukti proyektil dan selonsong yang ia uji. Sebanyak 3 proyektil, 3 selonsong, dan 14 senjata api ia terima untuk diuji. Tiga anak peluru dan tiga selonsong merupakan kaliber 9x19 milimeter.
Baca juga : Dua Proyektil Identik dengan Pistol Terdakwa Penembak Randi
Satu selonsong diketahui identik dengan senjata terdakwa, sementara dua selonsong lainnya tidak identik dengan senjata mana pun. Ia menyampaikan, ada kemungkinan senjata lain dari aparat yang melakukan penembakan selain 14 senjata yang diuji.
Untuk tiga anak peluru tersebut, Wiji menjelaskan, 1 proyektil ditemukan di sekitar STMIK Catur Sakti, 1 di gerobak martabak, dan 1 dari kaki seorang perempuan atas nama Maulida Putri yang berjarak sekitar 1,3 kilometer dari lokasi kejadian.
”Untuk yang di gerobak martabak dan di kaki Ibu Putri itu, setelah kami uji, sidik jari anak peluru itu identik dengan anak peluru yang keluar dari senjata HS-9, dengan nomor seri A262966, yang merupakan senjata dengan nomor seri terdakwa. Sementara untuk anak peluru di depan STMIK Catur Sakti mengalami deformasi yang cukup parah sehingga sulit untuk diperiksa,” tutur Wiji.
Pengujian, ujar Wiji, dilakukan dengan menembakkan peluru pembanding dari senjata milik terdakwa. Anak peluru yang keluar lalu diuji dengan alat pemindai untuk melihat alur dan sidik jari senjata. Sidik jari senjata merupakan goresan dan garis halus yang tertinggal dari anak peluru yang ditembakkan.
Majelis hakim lalu menanyakan anak peluru yang kemungkinan mengenai korban. Randi diketahui terkena tembakan dari ketiak kiri yang tembus ke dada kanan. Randi tidak terselamatkan akibat kehilangan banyak darah.
Baca juga : Yusuf dan Randi, Duka Abadi dari Kendari
Wiji melanjutkan, salah satu anak peluru di lokasi kejadian adalah yang ditemukan di gerobak martabak. Dari hasil olah tempat kejadian, anak peluru tersebut diduga ditembakkan dari sudut 6 derajat dari area pintu kantor Disnakertrans Sultra.
Anak peluru lalu melesat dan terpantul di pagar tembok kantor. Setelah itu, anak peluru kembali rekoset (memantul) di jalan dan berakhir di gerobak martabak. Setelah beberapa kali rekoset, anak peluru memiliki beberapa goresan.
”Tapi kami tidak bisa memastikan goresan dari mana karena kami fokus ke sidik jari anak peluru,” ucap Wiji. ”Dan, siapa saja yang berada di lintasan peluru tersebut bisa terkena. Senjata HS memiliki jarak tembak hingga 2 kilometer dan efektif di jarak 30-50 meter.”
Sembilan barang bukti
Sementara itu, Usman, ahli kimia biologi forensik yang memeriksa darah di barang bukti, menjabarkan, dirinya menerima sembilan barang bukti yang akan diuji forensik. Bukti tersebut adalah anak peluru dari gerobak martabak, darah dari korban Randi, proyektil peluru korban Putri, dan sejumlah darah dari lokasi kejadian. Barang bukti ini ia terima dalam kondisi terbungkus plastik dan akan diuji apakah benar ada kesesuaian darah.
”Dari hasil uji ada empat yang positif darah, yaitu darah dari korban Randi, proyektil anak peluru dari korban Putri, set darah dari TKP Randi, dan darah dari Ibu Putri. Untuk proyektil di gerobak tidak ditemukan darah,” kata Usman.
Kuasa hukum Brigadir AM, Nasrudin, menanyakan, apakah tidak terdapatnya darah di proyektil di gerobak artinya tidak menembus seseorang.
Terkait tidak ditemukannya proyektil di gerobak, Usman melanjutkan, bisa saja karena kondisi alam ketika kejadian. ”Anak peluru yang tidak terdapat darah belum tentu tidak menembus korban atau seseorang. Selain kondisi alam, juga karena penanganan barang bukti,” ucapnya.
Semua anak peluru dan selonsong yang ditemukan merupakan kaliber 9x19 mm. Senjata jenis HS-9 atau revolver, yang biasanya dipakai aparat kepolisian, memakai jenis peluru ini. Pihak Polda Sultra pada awal kejadian juga mengakui bahwa peluru 9x19 mm adalah peluru yang juga digunakan aparat di lingkup kepolisian ini. Senjata HS-9 merupakan senjata semiotomatis yang menjadi primadona di banyak belahan dunia.
Baca juga : Jejak Terurai dari Peluru Kaliber 9 Milimeter
Sementara amunisi 9x19 mm merupakan rancangan Georg Luger yang dirilis sejak 1902. Amunisi ini digunakan sejak Perang Dunia I, mulai populer di Perang Dunia II, hingga menjadi amunisi andalan NATO, organisasi intelijen Amerika Serikat FBI, Rusia, juga di Indonesia.
Peluru ini diporduksi oleh pabrikan asal Jerman, Deutsche Waffen- und Munitionsfabriken (DWM). Amunisi ini dikenal dengan nama 9 mm Parabellum, berasal dari moto perusahaan, yaitu Si Vis Pacem Para Bellum. Artinya, ”Bila kamu menginginkan kedamaian, bersiaplah untuk perang”.
Dari berbagai literatur, daya tembak amunisi ini tidaklah begitu istimewa. Akan tetapi, bentuk yang kecil, murah, dan praktis menjadikannya amunisi peringkat pertama untuk varian pistol. Salah satu turunan amunisi ini yang kini banyak digemari adalah jenis full metal jacket, atau yang diselubungi logam sehingga lebih kuat.
”Anak peluru yang ditemukan di gerobak martabak adalah jenis full metal jacket sehingga ketika mengalami beberapa kali rekoset tidak terlalu deformasi,” kata Wiji Purnomo dalam sidang Randi.
Kena tembakan
Sementara itu, kasus Yusuf Kardawi masih sangat kabur hingga saat ini. Aparat kepolisian menyatakan Yusuf meninggal karena luka terbuka di kepala. Akan tetapi, berdasarkan temuan Kontras, mahasiswa Universitas Halu Oleo ini juga tewas karena terkena tembakan.
Temuan itu diperoleh dari keterangan saksi mata yang tepat berada di samping Yusuf ketika kejadian berlangsung. Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri Arif menyampaikan, Yusuf jatuh tersungkur di depan kantor Disnakertrans Sultra, lalu seseorang yang diduga oknum aparat kembali datang memukul korban.
Setelah kejadian tersebut, Yusuf sempat diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit. Di Rumah Sakit Bahteramas, Kendari, Yusuf bertahan beberapa jam dengan luka serius di kepala.
”Ada beberapa luka besar di kepalanya. Di bagian kiri itu terbuka, ada yang keluar, tidak tahu apa. Di belakang juga ada. Mulutnya juga luka berdarah-darah. Saya tidak sanggup lihat lama-lama,” ujar Ratna, tante korban. ”Kami hanya berharap semoga selamat dulu. Itu saja. Persoalan lain kita urus di belakang,” lanjutnya.
Hingga saat ini kasus meninggalnya Yusuf belum terungkap, terlebih pelaku. Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar Ferry Walintukan bulan lalu menyampaikan, pihaknya saat ini terus melakukan penyelidikan atas tewasnya Yusuf Kardawi. Namun, aparat kesulitan untuk pemenuhan alat bukti dan saksi yang melihat langsung peristiwa meninggalnya Yusuf.
Baca juga : Enam Polisi Polda Sultra Terbukti Salah Gunakan Senjata Api
Sabtu (26/9/2020) tepat setahun aksi berdarah yang membuat dua nyawa generasi bangsa itu hilang di tanah Kendari. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah organisasi dan aliansi mahasiswa turun untuk menyerukan agar kasus ini diusut tuntas, keadilan ditegakkan, dan semua aparat yang terlibat dihukum seberat-beratnya. Mahasiswa bahkan berkemah di depan Polda Sultra sejak lebih dari satu bulan lalu.
Rahman Paramai, yang menginisiasi kemah kemanusiaan di depan Polda Sultra, mengungkapkan, semua pihak yang terlibat harus mendapat hukuman setimpal karena telah menghilangkan nyawa dua orang. Bukan hanya mereka yang menembak, melainkan juga aktor intelektual di lapangan.
Marsono, Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sultra, yang menggelar aksi renungan September Berdarah, mengungkapkan, aparat kepolisian harus bertanggung jawab dengan hilangnya dua nyawa mahasiswa di Kendari. Hal tersebut merupakan kejadian memilukan yang tidak bisa dilupakan begitu saja.
”Tapi Kapolda Sultra Irjen Yan Sultra saat ini adalah perwira paling tinggi saat aksi demonstrasi tahun lalu. Dia orang yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian ini dan sebaiknya mundur dari jabatannya,” ucap Marsono.
Aksi mulai berlangsung. Mahasiswa kembali turun ke jalan. Orangtua Yusuf Kardawi telah berpesan agar aksi tidak menjadi anarkistis. Pekik keadilan terdengar dari berbagai sisi. Lagu-lagu perjuangan mengiringi perjalanan mahasiswa di wilayah Kendari ini.
”Di manakah keadilan, saat kata kau lawan senjata. Di manakah letak nuranimu, saat kau tumpahkan darah saudaramu”, begitu salah satu bait lagu ”Menolak Lupa”, yang diciptakan pemuda Kendari untuk memperingati September Berdarah ini.