”The Future We Choose” dan Batas Akhir Menyelamatkan Bumi
Kualitas kelayakan bumi sebagai tempat tinggal terus menurun. Tanpa perubahan pola pikir dan tindakan nyata, perubahan iklim tetap akan menjadi titik kritis bagi kehidupan bumi.
Batas musim yang tak jelas, berkurangnya lapisan es, kenaikan permukaan laut serta terjadinya cuaca ekstrem yang meningkat selama 2015-2019 memberi tanda bahaya akan dampak perubahan iklim. Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) mencatat periode lima tahun terakhir itu sebagai periode terpanas cuaca tahunan di Planet Bumi sejauh yang pernah tercatat.
Laporan WMO tentang iklim global menyebutkan, suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 1,1 derajat celsius sejak periode pra-industri (sebelum abad ke-19) dan meningkat sebesar 0,2 derajat celsius dibandingkan periode 2011-2015.
Demikian juga ambang batas konsentrasi karbon dioksida hingga akhir 2019 sudah mencapai 410 ppm. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1958 sebesar 317 ppm. Level karbon dioksida terus naik menjadi 389 ppm pada 2010. Tingkat konsentrasi karbon dioksida tercatat telah melewati ambang batas 400 ppm sejak 2015.
Melihat fenomena ini tidak heran jika Christiana Figures and Tom Rivett-Carnac mengingatkan dalam buku The Future We Choose ini sebagai dekade titik kritis perubahan iklim. Mereka mengingatkan komitmen dunia untuk mengurangi separuh emisi pada 2030 untuk bumi yang lebih baik. Keduanya coba memberikan gambaran masa depan masyarakat dunia dari aspek perubahan iklim.
Teropong masa depan ini didasarkan pada titik tolak bagaimana kehidupan di bumi pada 2050 jika negara-negara di dunia gagal memenuhi target iklim Kesepakatan Paris. Dalam Kesepakatan Paris tersebut, 197 negara di dunia anggota Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) sepakat menahan laju kenaikan suhu bumi.
Target suhu bumi dipatok tetap di bawah 1,5-2 derajat celsius dibandingkan sebelum era Revolusi Industri. Kesepakatan Paris melanjutkan skema global sebelumnya untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu Protokol Kyoto. Jika dalam perjanjian Kyoto hanya negara maju saja yang dibebani kewajiban menurunkan emisi, saat ini semua negara bertanggung jawab mengurangi emisi sesuai kemampuan masing-masing.
Secara teknis, Kesepakatan Paris menyetujui penurunan emisi global sebesar 7,6 persen per tahun hingga 2030. Tujuannya, demi membatasi kenaikan suhu menjadi 1,5 derajat celsius. Salah satu arsitek utama Kesepakatan Paris 2015 adalah Christina Figueres yang saat itu merupakan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, sedangkan Rivett-Carnac merupakan penasihat seniornya.
Tidak heran jika uraian dalam buku ini memberikan bobot komitmen negara-negara di dunia untuk terus berupaya membatasi kenaikan suhu global. Keduanya memberikan gambaran skenario masa depan bumi yang dapat kita pilih sebagai warisan kepada generasi selanjutnya.
Skenario pertama yang ditampilkan dalam bagian awal buku ini adalah seperti apa kehidupan di bumi pada 2050 jika warga dunia tidak berhasil memenuhi komitmen Kesepakatan Paris. Di sisi sebaliknya, Figueres dan Rivett-Carnac juga menguraikan seperti apa hidup di dunia regeneratif dan netral karbon.
Beda tindakan akan menuai perbedaan hasil. Kedua penulis menggambarkan masa depan yang berbeda, satunya mengarah pada pemanasan lebih dari 3 derajat celsius, sedangkan situasi lainnya dapat dibatasi hingga 1,5 derajat celsius. Kondisi gagalnya target Kesepakatan Paris ditandai dengan suhu udara yang panas, penuh polusi partikulat, naiknya permukaan air laut, dan sering terjadi bencana akibat iklim.
Situasi sebaliknya ditunjukkan jika berhasil menekan laju pemanasan global. Kondisi ini ditandai dengan udara bersih, pembangunan ramah lingkungan, dan berkembangnya kecerdasan manusia. Sistem transportasi listrik yang canggih, kereta cepat antarwilayah akan mengurangi penggunaan kendaraan bertenaga fosil.
Berkurangnya kendaraan dapat membuka ruang jalan berganti dengan taman kota yang penuh pepohonan. Dari sisi pertanian, teknologi agroforestri berkelanjutan dapat lebih banyak diterapkan dalam menghasilkan pangan untuk massa. Teknologi pintar juga dapat dimanfaatkan dalam efisiensi energi dengan menggunakan daya terbarukan seperti panel surya.
Pola pikir baru
Namun, perkembangan ilmu pengetahuan saja belum cukup untuk membuat kehidupan bumi kembali berkualitas. Figueres dan Rivett-Carnac menegaskan perlu terobosan lain, yaitu mengadopsi pola pikir baru untuk mengurangi separuh emisi global dan membuka 50 persen peluang untuk melindungi warga dunia dari dampak terburuk pemanasan global.
Karena itu, perjuangan keras menahan laju pemanasan global membutuhkan tiga mindset, yaitu optimisme kuat, kesejahteraan yang makin luas, dan regenerasi yang radikal. Optimisme melawan perubahan iklim merupakan spirit pertama yang harus dimiliki untuk membuat bumi makin tidak hangat.
Dari pengalaman sebelumnya, upaya menjaga bumi tetap asri tidak jarang menghadapi perspektif berbeda dari sisi industri dan kebijakan sejumlah pemimpin negara yang berlawanan dengan nilai kelestarian alam. Contoh nyatanya adalah kondisi setelah Kesepakatan Paris 2015.
Pada tahun yang sama, tingkat konsentrasi karbon dioksida malah terus meningkat menembus 400 ppm. Jumlahnya kian bertambah 10 ppm pada 2019. Selain itu, belum semua negara mendukung kesepakatan, seperti Pemerintah AS yang kemudian mundur dari Kesepakatan Paris.
Spirit kedua adalah menghadirkan kesejahteraan seluas-luasnya. Ini dapat dilakukan dengan kolaborasi atau kerja sama seluruh masyarakat di dunia. Karena kehidupan di bumi dan iklim yang sehat merupakan kepentingan bersama. Sudah saatnya negara-negara keluar dari cara berpikir kompetitif dan mulai menerapkan pola relasi saling mendukung untuk kesejahteraan yang makin baik dan bumi yang makin nyaman dihuni.
Tawaran pola pikir ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan paradigma pembangunan dunia karena mereka membingkai era baru pembangunan yang menggeser model persaingan internasional dan kecurigaan antarnegara ke arah kolaborasi global, pemecahan masalah, dan berbagi sumber daya untuk mewujudkan kesejahteraan tiada akhir.
Perubahan mendasar ketiga adalah menghadirkan regenerasi yang radikal. Tekanan yang diberikan dalam pembahasan ini adalah ekosistem dunia membutuhkan banyak regenerasi. Karena itu, perubahan iklim membutuhkan mindset regeratif dalam aspek kelestarian lingkungan. Figueres dan Rivett-Carnac mengajak kita sebagai warga dunia untuk memulihkan terumbu karang, menanam kembali hutan, membangun kembali keanekaragaman hayati, dan mendukung pemulihan lautan.
Namun, menghadapi laju penurunan kualitas bumi tidak cukup hanya mengubah pola pikir. Perlu langkah lanjutan berupa tindakan nyata untuk memperbaiki ekosistem global. Lebih lanjut, kedua penulis juga mencantumkan sepuluh langkah kunci yang harus dilakukan untuk menyelamatkan bumi.
Partisipasi dalam memulihkan kualitas bumi antara lain dapat dilakukan dengan beralih dari menggunakan energi fosil, menanam pohon, dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab.
Langkah strategis
Penurunan emisi global menjadi momentum bagi masyarakat dunia untuk melakukan dekarbonisasi dengan lebih banyak menggunakan energi yang ramah lingkungan. Hal ini berarti mengubah penggunaan batubara dan minyak bumi. Selama ini, bahan bakar fosil masih mendominasi sumber energi, yaitu sebesar 75 persen.
Demikian pula dengan pelestarian hutan. Di sini penulis mendesak tindakan paling mudah dilakukan, yaitu menanam pohon sebanyak-banyaknya, membiarkan lebih banyak kawasan alami, serta mengurangi konsumsi daging serta susu.
Merujuk data lain dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada periode 2015-2020, laju deforestasi mencapai 10 juta hektar per tahun. Deforestasi ini antara lain dipicu kebakaran hutan yang menyebabkan hilangnya hutan-hutan. Kehilangan hutan didominasi oleh negara-negara yang memiliki hutan luas, seperti Brasil, Australia, dan Indonesia.
Berkurangnya hutan bukan hanya mengurangi paru-paru dunia, melainkan juga berimbas pada hilangnya habitat dan sumber makanan bagi beberapa spesies fauna. Bukan tidak mungkin, aktivitas spesies tersebut kemudian mencari tempat tinggal baru di sekitar manusia dan juga mengancam penularan penyakit dari hewan ke manusia.
Jika partisipasi itu belum cukup, Figueres dan Rivett-Carnac juga melontarkan gagasan dengan mengikutsertakan aspek politik. Tekanan politik dapat dilakukan untuk memecah kebuntuan komitmen politik menyelamatkan bumi.
Aksi ini seperti yang pernah dilakukan aktivis remaja asal Swedia, Greta Thunberg, pada Maret 2019. Ia menginspirasi sekitar 1,6 juta pelajar di seluruh pelosok dunia untuk mogok sekolah untuk iklim yang lebih baik di masa depan. Aksi protes ditujukan untuk mendorong para pembuat kebijakan di dunia membuat tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim. Para pelajar di dunia bersatu dalam tagar #FridaysForFuture dan #YouthStrike4Climate untuk memperjuangan perbaikan iklim dunia.
Kenaikan suhu menyebabkan cuaca ekstrem di berbagai belahan bumi. Gelombang tinggi, banjir, dan kenaikan muka air laut kian sering terjadi dan mengancam masyarakat pesisir pantai dan sekitar sungai. Demikian pula dengan bencana kekeringan yang kian panjang durasinya.
Saat ini pemerintah di seluruh dunia sedang berjuang menangani wabah Covid-19. Penemuan vaksin dan pengobatan dapat menjadi harapan berkurangnya pandemi virus korona. Namun, tantangan perubahan iklim akan tetap tinggal lebih lama sejauh tidak ada terobosan radikal dalam penanganan iklim. Inilah pesan yang ingin disampaikan buku ini agar kita dapat mengurangi separuh emisi bumi pada 2030, tahun ambang batas menyelamatkan bumi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Manusia dan Tujuh Milenium Disrupsi Iklim