Politik sektarian di Lebanon telah membuat negara itu tidak bisa lekas pulih dari krisis multidimensional sejak lama. Hezbollah dan Amal bersikeras untuk mempertahankan posisi strategis kabinet baru.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BEIRUT, SABTU — Tak mampu membentuk kabinet baru yang nonpartisan, Perdana Menteri Lebanon Mustapha Adib (48) memilih untuk mengundurkan diri. Padahal, ia baru ditunjuk bulan lalu.
Adib mundur menjadi pukulan keras terhadap upaya Perancis menyatukan para pemimpin sektarian demi mengatasi krisis terburuk Lebanon sejak perang saudara tahun 1975-1990.
Sebelum diangkat menjadi PM, Adib pernah menjadi Duta Besar Lebanon untuk Berlin, Jerman. Dia ditunjuk 31 Agustus lalu dengan tugas utama membentuk kabinet baru setelah tercapai konsensus yang diintervensi Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Dalam peta jalan Perancis, pemerintahan baru diharapkan akan bisa menumpas korupsi dan memulai reformasi. Jika ini terwujud, Lebanon akan menerima bantuan internasional hingga miliaran dollar AS untuk perekonomian yang ambruk gara-gara utang menumpuk.
Lebanon sangat membutuhkan bantuan finansial, tetapi Perancis dan komunitas internasional hanya mau membantu apabila reformasi bergulir di Lebanon. Krisis Lebanon terjadi karena korupsi yang sudah terjadi selama puluhan tahun dan kesalahan tata kelola pemerintahan oleh partai berkuasa.
”Saya minta maaf kepada rakyat karena tidak mampu menjalankan tugas. Saya harap inisiatif Perancis tetap dilanjutkan dan pengganti saya akan bisa membentuk pemerintahan baru,” kata Adib, Muslim Sunni, setelah bertemu Presiden Lebanon Michel Aoun, Sabtu (26/9/2020).
Para politisi berjanji pemerintahan baru akan terbentuk paling tidak pertengahan September. Namun, kemungkinan itu akan sulit karena Adib selama satu bulan ini pun tersandung pada urusan perselisihan penunjukan posisi menteri keuangan yang memegang peranan penting menyelamatkan perekonomian.
Mandek
Perundingan Lebanon dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai paket dana talangan terhenti tahun ini dan salah satu tugas pertama kabinet adalah memulai proses perundingan itu lagi.
Lebanon yang pernah menjadi salah satu negara yang dikontrol Perancis itu kini dihantam krisis ekonomi terparah dan gagal membayar utang untuk pertama kalinya. Mata uang mereka runtuh sehingga menyebabkan hiperinflasi dan tingkat kemiskinan serta pengangguran melonjak.
Pembentukan kabinet terganjal karena kelompok Syiah, Hezbollah dan Amal, bersikeras mempertahankan jatah mereka untuk posisi menteri keuangan. Mereka bersikeras untuk itu setelah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi pada dua politisi senior yang dekat dengan Hezbollah termasuk mantan menkeu.
Dua kelompok itu bersikeras menunjuk menteri-menteri Syiah untuk duduk di kabinet baru. Mereka menolak pilihan-pilihan Adib dan marah karena tidak berkonsultasi dengan mereka terlebih dahulu. Adib bertemu dengan para politisi Syiah tetapi gagal mencapai kesepakatan tentang bagaimana menteri akan dipilih.
Para pemimpin Syiah takut tersingkir karena Adib berusaha menggoyang penunjukan kementerian yang beberapa di antaranya telah dikendalikan oleh faksi yang sama selama bertahun-tahun.
Mohamad Hage Ali dari Pusat Timur Tengah Carnegie mengatakan, faksi yang didukung Iran kemungkinan ingin menunda pembentukan kabinet dan menunggu hasil pemilihan presiden AS, 3 November mendatang.
Presiden AS Donald Trump selama ini bersikap tegas pada Iran dan sekutu-sekutunya dan pemerintahannya menjatuhkan sanksi pada politikus Lebanon yang mendukung Hezbollah.
Pemimpin Amal dan Ketua Parlemen Nabih Berri mengatakan, pihaknya masih mendukung rencana Perancis. Begitu pula dengan kelompok Nasrani yang beraliansi dengan Hezbollah yang juga menganggap inisiatif itu kesempatan emas yang tidak bisa ditinggalkan.
Mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri, yang mendukung Adib, mengatakan, siapa pun yang senang dengan gagalnya inisiatif Macron pasti akan menyesal. (REUTERS/AFP/AP).