Bergandeng Tangan demi Keberlanjutan
Kalaupun sejumlah film dibeli OTT dengan harga tinggi, itu dinilainya cenderung sebatas manuver yang belum pasti berkelanjutan.
Sineas-sineas tak henti berkarya lantaran pandemi menutup kanal utama untuk memutar film. Platform tontonan berbayar jadi pelita di tengah gulita. Gayung bersambut, bisnis pun berlanjut. Industri film bisa menyambung napas untuk bertahan menapaki masa pagebluk.
Jadwal Manoj Punjabi tetap padat di masa pandemi. Perjumpaan di studio dengan pemilik rumah produksi MD Pictures itu di Jakarta pada akhir pekan lalu dipercepat lantaran agendanya bertemu pemangku kebijakan perfilman nasional.
Bincang-bincang dengan produser kenamaan tersebut diatur sehari sebelumnya, Kamis (24/9/2020) petang. Ia seperti biasa bertutur antusias. Mendung karena pandemi tak mampu mengikis semangat Manoj untuk berkelit dari kemandekan bisnis.
Berkemeja batik berwarna emas dipadu biru, ia menyisipkan waktu di sela-sela jadwalnya untuk memaparkan secara daring soal MD Pictures yang merambah digitalisasi. ”Hingga September ini, perkembangannya luar biasa. Dunia digital memang saya tunggu-tunggu,” katanya.
Manoj malah memetik hikmah dari krisis. Jika tak ada pandemi, kemajuan MD Pictures belum tentu sejauh sekarang. Ia rangkul sejumlah platform tontonan streaming berbayar. ”Jangka panjangnya lebih cerah. Prospek digital jauh lebih besar,” katanya.
Manoj lantas menyebut beberapa platform yang kerap disebut over the top (OTT) itu, seperti Disney + Hotstar, WeTV, dan Iflix. Beberapa OTT sudah sepakat bekerja sama hingga tiga tahun ke depan. Tak hanya film, serial yang disiapkan pun tak kalah banyak.
Uluran tangan terjalin. Rumah produksi itu telah bermitra dengan lima OTT pada tahun pandemi ini. Padahal, MD Pictures hanya bekerja sama dengan satu OTT pada 2019. Manoj sedang menggarap hingga sepuluh serial. Ia juga menyiapkan sembilan film untuk satu OTT saja yang semula hendak diputar di bioskop.
Belum lagi, empat film sempat diluncurkan hingga Maret 2020 dan sembilan film lain yang siap shooting. Jumlah itu tak jauh berbeda dibandingkan film yang diluncurkan MD Pictures dan kerja sama dengan perusahaan lain, rata-rata 15 judul per tahun.
Naluri itu selaras dengan lonjakan akses konten OTT yang dilaporkan Media Partners Asia. Penyelenggara riset, penasihat, dan konsultan media Asia Pasifik tersebut mencatat konsumsi mingguan video daring telah meningkat lebih dari 60 persen di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Bagi Manoj, OTT bahkan kini bukan pintu-pintu kecil selagi bioskop selaku jalan utama distribusi film, belum beroperasi. ”Itu gerbang yang sangat besar. Gara-gara pandemi, rumah produksi mungkin hancur tapi MD Pictures tidak. Malah, kesempatan ini saya tunggu,” katanya.
Vice President Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar pun mengungkapkan hasrat serupa dengan menyebutkan prospek OTT yang seksi. ”Jumlah penduduk Indonesia sekitar 265 juta orang dengan 150 juta pengguna internet. Peluang penetrasi pasar OTT begitu besar,” katanya.
Efek pandemi yang luas tak pelak mendekatkan masyarakat dengan hiburan. Pertumbuhan OTT pun tergolong pesat. Sejak pandemi, Vidio tumbuh sangat baik. ”Pada April lalu, platform kami bertengger di nomor satu di Google Play dan iOS,” katanya.
Berkah tersembunyi melingkupi OTT. Kreator konten berbondong-bondong ingin menampilkan karyanya di Vidio. ”Menarik. Semakin banyak pihak menilai serius OTT. Sebelumnya, pemasukan rumah produksi dari bioskop. Kini, OTT dilihat sebagai mitra strategis,” katanya.
Terbuka lebar
Vidio senantiasa membuka pintunya lebar-lebar untuk bermitra dengan rumah produksi. Rezki memandang pandemi telah mengubah posisi OTT. ”Tak hanya rumah produksi, tetapi juga penyelenggara acara dan penerbit. Kalau mau meluncurkan produk, bisa kerja sama dengan OTT,” ujarnya.
Vidio berkomunikasi dua arah untuk memfasilitasi penyedia konten menayangkan karyanya. Sejak pandemi, kerja sama itu berjalan baik. ”Rumah produksi, OTT, dan pemangku kepentingan lain bergandeng tangan agar perfilman nasional tetap kontinu. Berkelanjutan sehingga tak lenyap karena pandemi,” kata Rezki.
Produser Eksekutif Rapi Films Sunil Samtani memilih menayangkan filmnya, Bucin, di Netflix. Promosi sudah digencarkan sejak Maret 2020. ”Tiba-tiba, bioskop tutup. Saya mikir, kelamaan. Orang sudah tunggu. Akhirnya, dirilis,” ujarnya.
Sementara, Nia Dinata gembira bisa bekerja sama dengan Netflix untuk mengangkat cerita Indonesia ke panggung dunia. Kalyana Shira dan Starvision disambut OTT tersebut untuk memproduksi dua film yang disutradarai Nia dan Hadrah Daeng Ratu.
Riri Riza pun berpendapat, OTT tepat untuk film tertentu. Salah satunya, film yang punya pasar menantang, seperti dokumenter atau etnografi. Pandemi juga mengajarkan pasar dengan film lebih beragam sehingga berdampak pada ekosistem perfilman.
Ini dapat menjadi dorongan bagi sineas berani berkarya dengan idealismenya. Namun, jika berbicara keuntungan, hal ini tentu berbeda. ”Ditonton lebih dari satu juta penonton di bioskop sudah untung. Untuk OTT, masih sulit dibayangkan,” ujar sutradara itu.
Angga Dwimas Sasongko juga sependapat. Pada Juli 2020, sutradara tersebut menggagas situs menonton daring, bioskoponline.com. Masyarakat bisa mengakses film dengan tarif hanya Rp 5.000. ”Gelisah juga karena banyak film bagus tetapi tidak dilirik,” katanya.
Padahal, menurut data Badan Perfilman Indonesia (BPI), industri perfilman seharusnya mengalami booming tahun ini. Prediksinya, ada sekitar 60 juta penonton film pada 2020. ”Namun, sejak awal pandemi hingga kuartal pertama tahun ini baru tercapai 12,7 juta penonton,” ujar Ketua Umum BPI Chand Parwez Servia.
Jika dikalikan dengan harga tiket rata-rata Rp 50.000 per orang, terdapat potensi kehilangan lebih dari Rp 2,3 triliun.
Besikap bijak
Saat ditanya OTT dijadikan peluang, Chand meminta semua pihak bijak. Secara bisnis, perolehan dari penayangan film di bioskop masih lebih besar. ”Film kita bisa bersaing, kadang malah mengungguli sinema Hollywood berbiaya besar. Karena, film Indonesia punya kearifan lokal, kedekatan kultur dan bahasa, juga cerita membumi,” ujarnya.
Kalaupun sejumlah film dibeli OTT dengan harga tinggi, itu dinilainya cenderung sebatas manuver yang belum pasti berkelanjutan. ”Memang betul, lewat layanan digital orang bisa pilih apa yang ingin ditonton. Akan tetapi, pilihan yang ditawarkan sebatas apa yang mereka pilihkan juga. Saya khawatir, ibarat makan sajian prasmanan, selera lokal makin lama berkurang sementara yang lebih banyak justru pilihan global,” ujarnya.
Jika suatu saat keberadaan bioskop tergusur, posisi tawar film-film Indonesia akan semakin kecil.
(WISNU DEWABRATA/FRANSISCA ROMANA NINIK/RIANA A IBRAHIM)