Festival Kebudayaan Yogyakarta: Menghidangkan Proses
Tak pelak lagi, teknologi virtual menjembatani keramaian dan kerumunan FKY 2020. Kompleks Museum Sonobudoyo Yogyakarta ditetapkan menjadi pusat kegiatan.
Festival Kesenian Yogyakarta berubah menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta, tetapi keduanya masih tetap sama-sama disingkat FKY. Ada pesona tersendiri dipancarkan melalui konsep berkebudayaan yang ternyata begitu sederhananya, yaitu menghidangkan suatu proses, bukan lagi semata hasil akhir.
FKY 2020 berbeda dengan yang diselenggarakan pada tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 menentukan sebuah protokol untuk tidak membuat kerumunan. Padahal, sebuah festival mengisyaratkan adanya keramaian dan kerumunan.
Tak pelak lagi, teknologi virtual menjembatani keramaian dan kerumunan FKY 2020. Kompleks Museum Sonobudoyo Yogyakarta ditetapkan menjadi pusat kegiatan. Namun, pusat kegiatan sesungguhnya telah bertransformasi ke dunia virtual di laman FKY 2020 dengan tema Mulanira 2.
”Kesenian itu salah satu produk akhir dalam berkebudayaan. Kesenian itu obyek kebudayaan,” demikian Direktur Kreatif FKY 2020 Gintani Nur Apresia Swastika, Kamis (24/9/2020), dalam suatu perbincangan melalui telepon.
FKY 2020 menjadi ajang terpendek masa penyelenggaraannya, yaitu 21-26 September 2020. Di tahun-tahun sebelumnya bisa berlangsung selama satu bulan lamanya.
Meski menjadi ajang terpendek, peristiwanya direkam lengkap dan disimpan ke laman internet yang bisa diakses sewaktu-waktu. Bahkan, usia pajangnya menjadi terpanjang dibandingkan FKY di tahun-tahun sebelumnya.
FKY 2020 mengambil tema yang sama dengan tema tahun sebelumnya, yaitu Mulanira 2. Tema ini mengartikan diri sebagai wiwitan atau sebuah permulaan.
Permulaan bukan lagi sekadar peralihan nama dari festival kesenian menjadi festival kebudayaan. Permulaan terjadi sesungguhnya bagi hadirnya venue atau tempat-tempat penyelenggaraan yang beralih ke dunia virtual, di laman FKY Mulanira.
Akar hening
Menelisik agenda FKY 2020 ternyata cukup beragam. Satu di antaranya sebuah pameran seni rupa yang mengambil tema, ”Akar Hening di Tengah Bising”.
Sebanyak 33 perupa menghadirkan karya lukisan, patung, instalasi, fotografi, audio visual, dan performans untuk pameran daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan). Teknologi sudut pandang 360 derajat dipakai untuk pameran daring.
Pengunjung juga bisa hadir ke ruang pamer di Museum Sonobudoyo. Namun, kunjungan itu secara terbatas sesuai protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Menurut kurator Lisistrata Lusandiana, semangat ”Akar Hening di Tengah Bising” mengacu pada fenomena merebaknya informasi digital melalui media sosial sekarang. Melalui karya-karya seni rupa ingin disuguhkan akar keheningan di tengah kebisingan itu.
Perupa Terra Bajraghosa merefleksikan akar keheningan di tengah bising melalui karya video seni Cap Klangenan (2015-2020), berdurasi 8 menit. Terra mengumpulkan bungkus-bungkus teh yang biasanya dibuang menjadi karya video seni. Di situlah Terra memainkan akar keheningan dari yang biasa terbuang.
Perupa Chandra Rosellini menghadirkan personifikasi dirinya seperti arang hitam yang rapuh, tetapi menjadi media berguna untuk membuat gambar. Beberapa karya ditampilkan Chandra dengan memadukan media arang dengan cat air.
”Arang ini menggambarkan diri saya dan mungkin juga manusia lain yang sangat rapuh,” kata Chandra.
Kolektif The Freak Show Men menghadirkan performans yang dibingkai menjadi karya video seni Piknik Seru Rabu Sore dengan durasi 6 menit.
”Jangan marah kalua ada yang selfie, eksis, alay, lebay, check in sana-sini, otw, dinner, dan jalan-jalan. Karena pada dasarnya media sosial memang diciptakan untuk pamer. Kalau tidak suka, ya, nulis diary aja,” demikian konsep karya yang dituangkan untuk video Piknik Seru Rabu Sore.
The Freak Show Men menunjukkan bahwa kebisingan demi kebisingan media sosial hampir tak terelakkan. Jalani saja. Ini erat berkelindan dalam berkebudayaan itu berproses.
Perubahan memang tidak selamanya secara rela direngkuh. Pada akhirnya, karya Piknik Seru Rabu Sore juga dipandang sebagai sindiran bagi pengunjung pameran seni rupa yang datang ke pameran hanya untuk berfoto, kemudian foto dipamerkan di media sosial. Mereka tidak benar-benar mau atau berkehendak memahami karya dengan sebaik-baiknya.
Membentuk proses
Masyarakat Yogyakarta selama ini akrab dengan kerja-kerja kebudayaan. Direktur Kreatif FKY 2020 Ginanti memungut modal sosial ini untuk membentuk proses berkebudayaan yang dapat disajikan ke ruang publik.
Pembentukan proses akhirnya bisa diraba dan dirasa. Proses bukan lagi abstraksi tak terjamah. Proses mampu menjelma menjadi sebuah keindahan seni.
Pada pembukaan FKY 2020, ditampilkan tari topeng dari Anterdans oleh Anter Asmorotedjo berjudul, Wit. Di situ ada semiotika tentang ”wit” dalam bahasa Jawa, yang berarti tetumbuhan.
Karya Anterdans ini terinspirasi dari Mahadaya Rempah Nuswantara. Wit atau tetumbuhan adalah awalan proses sebuah kehidupan.
Melalui tarian ini, di masa pandemi Covid-19 sekarang diarahkan pada pola kehidupan baru. Pola kehidupan yang saling bersinergi antara manusia dan tetumbuhan, manusia dengan alamnya.
Kolaborasi lintas disiplin seni kemudian disajikan Landung Simatupang dengan dunia teater, Kunto Aji (musik), dan Lintang ”Kenali Rangkai Pakai” Radittya (seni instalasi). Landung membacakan puisi, ”Langkah Tak Berhenti”, diiringi komposisi musik Kunto Aji. Lintang merangkainya menjadi elemen karya seni instalasinya.
Representasi membentuk sebuah proses juga tampak pada agenda sayembara Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya. Ginanti memungut salah satu bagian proses pembentukan ketoprak, yaitu pada bagian dialog yang dikemas menjadi sandiwara radio.
Sandiwara radio disiarkan melalui Radio Retjo Buntung selama tiga kali dalam sehari dan berlangsung di sepanjang FKY 2020 selama enam hari. Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya mementaskan judul ”Sumilaking Pedhut”. Kira-kira, makna judul ini, tersingkapnya kabut (misteri).
”Sandiwara radio ini sebagai proses adaptasi dari sebuah ketoprak, yang kemudian menjadi pertunjukan dengan alih media,” tutur Ginanti.
Pemirsa diberikan kuis sayembara. Seusai penyelenggaraan akan ditentukan para pemenangnya.
Keriuhan FKY 2020 lainnya secara virtual bisa ditengok di laman internet. Mereka bersinergi dengan stasiun-stasiun radio dan televisi lokal. Kemudian juga bersinergi dengan kantung-kantung budaya yang ada. Agendanya pun beragam, mulai dari diskusi berbagai tema sampai ke pertunjukan.
Pentas Orkes Musik Keroncong Sinten Remen digelar pada 24 Sepptember 2020 di Gedung Layang-layang, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK).
Pendendang Endah Laras tampil di situ. Agenda ini diberi tajuk, Ora Obah Ora Mamah. Judul ini dalam bahasa Jawa, yang maknanya kira-kira, tidak bekerja maka tidak makan.
”Tema-tema yang dihidangkan mencoba untuk tetap kontekstual di masa pagebluk ini. Kerja-kerja kebudayaan melebur di medan tempur baru dan tidak sekadar untuk menemukan kebaruan, tetapi juga menjaga kewarasan,” kata Ginanti.