Penerbit Lokal Menuju Panggung Global
Jakarta terpilih sebagai tuan rumah perhelatan Kongres International Publishers Association (IPA) yang ke-33 yang akan berlangsung pada 11-13 November 2022.
Meskipun telah memiliki reputasi yang baik, Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah dalam memproduksi dan memperkenalkan literaturnya di kancah global. Pelaku industri perbukuan perlu lihai memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas.
Kabar baik bagi penerbit buku di Indonesia. Jakarta terpilih sebagai tuan rumah perhelatan Kongres International Publishers Association (IPA) yang ke-33 selama 11-13 November 2022. Hal ini akan diumumkan secara resmi di acara Frankfurt Book Fair pada 14 Oktober 2020.
IPA merupakan asosiasi penerbit terbesar di dunia yang berdiri sejak 1896. Asosiasi ini bertujuan untuk mempromosikan penerbitan serta meningkatkan kesadaran penerbit sebagai kekuatan pembangunan ekonomi, budaya, dan sosial. Saat ini, IPA memiliki 83 anggota dari 69 negara.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyambut baik perhelatan kongres IPA akan berlangsung di Jakarta. Jakarta siap menjadi hub pengembangan industri buku di Asia Pasifik mengingat kawasan ini dihuni oleh 60 persen total populasi dunia.
”Kami berdedikasi untuk menyelenggarakan acara internasional bergengsi ini, dan mengadakan pertemuan bagi para pemangku kepentingan penerbit buku untuk menghasilkan ide-ide kreatif dan mempersiapkan Asia Pasifik sebagai pusat pengembangan dunia di masa depan,” kata Anies.
Ketua Harian Jakarta World Book City Laura Bangun Prinsloo mengatakan, keterpilihan Jakarta merupakan salah satu upaya untuk mengakselerasi Jakarta sebagai hub internasional perhelatan kegiatan perbukuan dan konten kreatif.
Jakarta merupakan kota dengan infrastruktur yang memadai untuk menjadi tuan rumah. Sebagai kota melting pot, Jakarta menjadi rumah bagi 5.604 perpustakaan, 1.240 penerbit, dan 30 persen toko buku modern.
”Saat pameran ke luar negeri, hanya segelintir orang Indonesia yang mampu ikut. Dengan menjadi tuan rumah dan rencana untuk menjadi hub industri kreatif, semoga ini bisa dimanfaatkan seluas-luasnya di Indonesia,” kata Laura dalam diskusi virtual ”Alih Wahana Konten sebagai Masa Depan Penerbitan: Jakarta Sebagai Tuan Rumah Kongres Penerbit Internasional Ke-33 Tahun 2022”, di Jakarta, Rabu (23/9/2020).
Wakil Presiden IPA Bodour Al Qasimi menyambut baik Jakarta sebagai tuan rumah kongres IPA pada 2022. ”Pasar penerbitan Indonesia tumbuh dalam kekuatan dan bereputasi serta memiliki setiap peluang untuk muncul sebagai kekuatan besar Asia dalam waktu dekat,” kata Al Qasimi, dikutip dari internationalpublishers.org.
Perhelatan kongres internasional dapat menjadi catatan baik dalam rekam jejak industri perbukuan Indonesia. Indonesia merupakan produsen buku terbesar di Asia Tenggara karena lebih dari 5.000 penerbit memproduksi rata-rata 120.000 buku per tahun.
Pada tahun 2015, Indonesia dipercaya sebagai tamu kehormatan Frankfurt Book Fair (FBF) di Frankfurt, Jerman, pada 2015. Tahun lalu, Indonesia juga terpilih sebagai negara ”Market Focus” atau negara fokus pemasaran dalam London Book Fair 2019. Masa kontrak Indonesia sebagai ”Market Focus” London Book Fair berlangsung hingga 2020.
Adapun Jakarta juga tengah mencalonkan diri sebagai Kota Buku Dunia (World Book Capital City) UNESCO untuk tahun 2022.
Jejaring internasional
Kongres-kongres berskala internasional bermanfaat besar baik bagi penerbit besar maupun penerbit kecil. Penerbit-penerbit lokal akan memiliki jejaring yang dapat membantu pertumbuhan bisnis dan perkembangan bisnis.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina menyebutkan, kongres IPA dapat menjadi ajang bagi penerbit Indonesia mendiskusikan berbagai permasalahan yang masih membayangi industri di Tanah Air. Beberapa isu yang masih menjadi masalah, antara lain pembajakan, penentuan harga buku oleh pemerintah, dan persaingan penjualan buku antara penerbit dengan pemerintah.
”Penerbit didorong untuk memiliki sertifikasi dan akreditasi, tetapi peluang dan pasar enggak ada. Kita bisa sharing dan ambil banyak pelajaran dari berbagai negara yang mirip dengan kita, seperti India dan Amerika Selatan,” ujarnya.
Keikutsertaan penerbit kecil di pertemuan berskala internasional juga penting. Marjin Kiri adalah salah satu penerbit indie yang mengecap manfaat melalui berjejaring internasional. Penerbit ini sebelumnya ikut serta dalam FBF 2019 di Jerman. Marjin Kiri berhasil menjual satu judul buku yang diterbitkannya pada hari ketiga FBF 2019 (Kompas, 19/10/2019).
Pemimpin Redaksi Marjin Kiri Ronny Agustinus menjelaskan, jejaring internasional dapat menghubungkan para penerbit kecil yang memiliki kesamaan visi untuk bertukar pikiran. Adapun Marjin Kiri adalah anggota Aliansi Penerbit Independen Internasional.
Tidak hanya itu, rasa solidaritas antara penerbit bisa sangat kuat meskipun berbeda negara. ”Sesama penerbit bisa mendapatkan hak buku untuk diterjemahkan dengan harga murah atau yang sering disebut sebagai solidarity rights,” kata Ronny.
Oleh karena itu, Ronny mengimbau agar penerbit-penerbit indie tidak segan dan ragu untuk menjalin koneksi yang lebih luas. Di luar negeri, jumlah penerbit indie tidak kalah banyak dan juga menerbitkan karya-karya yang layak diterjemahkan.
”Penerbit kecil dan indie itu dihargai di banyak negara karena mereka sering membawa wacana yang tidak tercakup penerbit besar. Mereka aktor kebudayaan penting,” tuturnya.
Konten kreatif
Rosidayati menambahkan, dari segi konten, industri perbukuan nasional saat ini juga harus berinovasi dalam memproduksi konten-konten kreatif. Meskipun preferensi terhadap buku fisik masih mendominasi, pola konsumsi terhadap buku mulai mengambil beragam bentuk.
Sejumlah penerbit telah mengantisipasi perkembangan selera pasar itu dengan merilis buku digital. Tidak hanya itu, buku-buku juga mengalami alih wahana konten yang secara umum berarti perubahan jenis konten suatu kesenian ke jenis konten kesenian yang lain.
Menurut Rosidayati, di Indonesia, alih wahana konten telah terjadi selama 10 tahun terakhir. Alih wahana dalam industri perbukuan berarti mengubah buku menjadi industri kreatif. Sebuah buku fisik bisa bertransformasi menjadi film, musik, animasi, audiobook, bahkan tempat pariwisata.
Contoh alih wahana konten yang paling berhasil adalah buku seri Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang telah diadaptasi menjadi film dan lagu. Lokasi cerita dalam buku, Belitung, bahkan menjadi tujuan wisata favorit.
”Secara teoritis, alih wahana adalah masa depan perbukuan. Dalam tataran penerbitan, pelaku sudah ada kesadaran untuk mencari bentuk baru dan kreatif untuk menampung aspirasi berbagai audiens,” kata Rosidayati.
Rosidayati melanjutkan, kedepannya, penerbit akan berperan sebagai salah satu subsektor ekonomi kreatif yang menciptakan multiplier effect pada ekonomi. Konten yang dihasilkan harus mampu memberikan dampak kepada industri kreatif lain dan menyejahterakan masyarakat di daerah.