Kampanye Dibatasi, Waspadai Politik Uang
Politik uang dimungkinkan meningkat menyusul diberlakukannya pembatasan kampanye selama Pilkada 2020. Bawaslu bersama aparat keamanan perlu mewaspadai ini selain menjaga kepatuhan pada protokol kesehatan saat kampanye.
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19 tetap tidak boleh kendur sekalipun dalam dua hari pertama kampanye Pilkada 2020 berlangsung relatif kondusif. Belum adanya laporan mengenai pelanggaran protokol kesehatan dalam masa-masa awal kampanye tidak berarti tahapan kampanye akan dipastikan aman karena masih ada waktu kampanye selama 69 hari hingga 5 Desember 2020.
Di sisi lain, pengawasan terhadap potensi politik uang pun perlu ditingkatkan. Risiko politik uang meningkat menyusul diberlakukannya pembatasan kampanye di tengah pandemi Covid-19.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi, saat dihubungi, Minggu (27/9/2020), menuturkan, pelanggaran terhadap protokol kesehatan harus menjadi perhatian semua pihak.
Setiap pasangan calon dan tim suksesnya memiliki kewajiban untuk memastikan kampanye pada masa pandemi Covid-19 ini dengan meminimalisasi kerumunan dan interaksi antarpendukung dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, penyelenggara pemilu diharapkan terus melakukan koordinasi dengan kepolisian dan aparat pemerintah daerah dalam memastikan kampanye berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat.
”Pemerintah tentunya harus mendukung penuh kinerja-kinerja semua pihak terkait dengan penyelenggaraan pilkada serentak ini. Upaya memperketat protokol kesehatan ini bukan berarti mempersempit ruang untuk kampanye atau sosialisasi, tetapi dipastikan bahwa perencanaan kampanye oleh setiap pasangan calon, atau timses, dan sukarelawan itu betul-betul mematuhi penerapan protokol kesehatan,” kata Arwani.
Baca juga: Mereka Mencoba Menyapa Pemilih lewat Ketukan Layar
Belajar dari kasus konser dangdut di Tegal, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh wakil ketua DPRD setempat, pihak kepolisian dan aparat keamanan daerah tidak boleh tinggal diam jika mengetahui ada kerumunan massa dalam jumlah besar di tengah pandemi. Demikian halnya saat tahapan kampanye dalam pilkada.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengatakan, pada masa awal kampanye ini pihaknya belum menemukan ada laporan pelanggaran protokol kesehatan. Hari-hari awal diperkirakan merupakan masa bagi setiap pasangan calon dan timses untuk memahami terlebih dulu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Kampanye Pilkada 2020.
”Semua orang saat ini berusaha menerapkan strategi yang tepat untuk melakukan kampanye pilkada dengan pembatasan-pembatasan. Ada beberapa hal yang jelas boleh, dan mana yang tidak boleh. Soal kapan iklan di media elektronik, media cetak, dan pertemuan apa saja yang diatur, itu semua kan harus dipahami,” kata Fritz.
Saat ini, Bawaslu berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk membersihkan alat peraga kampanye (APK) yang dinilai melanggar. Sebab, banyak pula APK yang dipasang di titik-titik tertentu, yang sebetulnya belum boleh dilakukan karena desain alat peraga kampanye itu harus mendapatkan persetujuan dari KPU setempat sebelum dipasang.
Desain APK itu harus disampaikan kepada KPU daerah lima hari setelah pengundian nomor urut sehingga desain itu paling lambat sudah harus diserahkan kepada KPU daerah pada 29 September.
”Desain APK itu harus disetujui oleh KPU baru bisa dipasang. Oleh karena itu, untuk APK yang belum mendapatkan persetujuan dari KPU, harus ditertibkan karena itu melanggar ketentuan,” ujar Fritz.
Fritz mengatakan, dengan adanya peraturan baru, setiap calon kini sedang menyiapkan diri dan berkonsolidasi tentang cara-cara atau metode baru kampanye yang dapat dilakukan di tengah pandemi. Cara-cara itu sebelumnya tidak dikenal sehingga harus dipikirkan dengan matang bagaimana mekanisme kampanye di tengah pandemi itu dapat dilakukan.
Larang keramaian
PKPU No 13/2020 mengatur dan melarang sejumlah jenis kampanye. Pasal 88 C PKPU No 13/2020 melarang kegiatan kampanye dalam bentuk rapat umum; kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, sepeda santai, perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar, donor darah; dan peringatan hari ulang tahun partai politik.
Pasal 63 PKPU No 13/2020 membolehkan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye, tetapi dilakukan dalam bentuk kampanye melalui media sosial dan media daring. Metode kampanye pertemuan terbatas dibolehkan dengan tatap muka, tetapi dibatasi hanya 50 orang, dan semua yang terlibat wajib menerapkan protokol kesehatan.
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, pihaknya saat ini dalam posisi menyupervisi pelaksanaan tahapan kampanye di daerah. Laporan dari beberapa daerah menyebutkan mulai banyak kandidat yang mendaftarkan akun medsos mereka. ”Untuk medsos, bagi setiap kandidat pilgub maksimal ada 30 akun medsos yang didaftarkan, sedangkan untuk medsos bagi kandidat pilwalkot dan pilbup maksimal ada 20 akun,” katanya.
Selain itu, supervisi dilakukan dalam hal desain APK. KPU daerah juga akan berkoordinasi dengan pemerintahan daerah setempat dalam menentukan titik-titik tempat APK itu dapat dipasang. Pertimbangannya ialah titik yang tidak mengganggu estetika dan keindahan kota.
Raka mengatakan, jika diterapkan dengan konsekuen, ketentuan di dalam PKPU No 13/2020 bisa meminimalikan keramaian dan potensi penularan penyakit Covid-19 dalam tahapan kampanye. ”Ini tahapan kampanye masih cukup panjang. Kseehatan pemilih, penyelenggara, dan paslon sangat penting. Mudah-mudahan masih ada kecukupan waktu sesuai ketentuan,” katanya.
Potensi politik uang
Pengajar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, tidak adanya laporan pelanggaran protokol kesehatan dalam dua hari pertama masa kampanye belum bisa dijadikan ukuran untuk melihat berjalannya tahapan kampanye pilkada. Sebab, masa-masa awal masih menjadi masa konsolidasi dan penyiapan strategi setiap kandidat mengingat ada aturan pembatasan kampanye di tengah pandemi.
Hal lain yang harus pula diwaspadai ialah kemungkinan peningkatan risiko politik uang. Adanya pembatasan kampanye tatap muka dan dorongan untuk kampanye daring diyakini tidak akan menaikkan elektabilitas calon secara signifikan. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bagi para calon yang memiliki kekuatan modal, mereka akan mencari jalan lain, yakni dengan melakukan politik uang untuk memastikan pemilih datang ke TPS dan memilih mereka.
Baca juga: Saatnya Mengubah Cara Berkampanye Pilkada
”Saya melihat ada celah untuk melakukan itu karena di tengah pembatasan kampanye, calon tentu kesulitan menaikkan elektabilitasnya. Waktu dua bulan ini untuk kampanye daring tidak akan secara signifikan menaikkan elektabilitas mereka sehingga boleh jadi nanti politik uang menjadi sarana bagi mereka untuk menarik pemilih datang ke TPS,” katanya.
Menurut Adi, dalam kondisi pandemi, banyak warga di daerah yang kehilangan penghasilan sehingga stimulus berupa uang dari kandidat akan menjadi faktor pemicu dan daya tawar yang tinggi untuk membuat mereka datang ke TPS. Sebab, di sisi lain tidak dapat dimungkiri ancaman penyakit Covid-19 akan memengaruhi partisipasi pemilih datang ke TPS. Namun, jika ada iming-iming yang nilainya fantastis, mereka akan tergiur datang ke TPS.
”Kemungkinan efek samping dari pilkada di tengah pandemi ini juga harus menjadi perhatian penyelenggara pemilu. Jangan sampai politik uang meningkat,” kata Adi.