Hasil eksaminasi atas putusan lepas di tingkat kasasi terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung menemukan banyak kejanggalan. Perbuatan Syafruddin dalam kasus dugaan korupsi BLBI termasuk pidana.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Hasil eksaminasi atas putusan lepas di tingkat kasasi terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung menemukan banyak kejanggalan. Perbuatan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut, dalam kasus dugaan korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dinilai sebagai tindakan pidana, bukan perdata dan administrasi.
Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) memutus lepas Syafruddin Arsyad Temenggung, Selasa (9/7/2019). Putusan tersebut membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Pada 24 September 2018, majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Syafrudin dengan pidana penjara 13 tahun dan denda Rp 700 juta. Adapun pada 2 Januari 2019, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberatkan hukuman pidana penjara menjadi 15 tahun dan denda Rp 1 miliar, (Kompas, 10 Juli 2019).
Terhadap putusan kasasi tersebut, KPK sudah melakukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK). PK diajukan karena jaksa penuntut umum (JPU) menilai ada kontradiksi dalam pertimbangan dengan putusan kasasi.
Namun, PK tersebut ditolak oleh MA karena dianggap tidak memenuhi syarat formal. MA menyatakan permohonan PK JPU tidak sesuai dengan Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV-2016, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, Sabtu (26/9/2020), mengatakan, kerugian negara dalam dugaan tindak pidana korupsi BLBI sebenarnya telah terkonfirmasi oleh audit keuangan yang jelas.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total kerugian negara dalam perkara BLBI senilai Rp 147,7 triliun. Uang tersebut disalurkan dalam bentuk bantuan likuiditas kepada 48 bank bermasalah. Salah satunya adalah bantuan likuiditas yang diberikan kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sehingga dari sisi ekonomi, seharusnya tidak ada perdebatan lagi kasus itu masuk ranah pidana atau perdata.
Apalagi, dalam kasus bantuan likuiditas BDNI milik Sjamsul Nursalim itu ada praktik jahat mengelabui negara. Nilai aset milik BDNI yang dilaporkan ke negara tidak sesuai dengan nilai aset sesungguhnya. BDNI melaporkan total aset Rp 4,8 triliun. Ternyata, setelah diverifikasi, total aset hanya Rp 1 triliun. Selisih aset itu terjadi karena aset piutang BDNI yang disalurkan kepada petambak adalah kredit macet. Piutang yang tertagih jumlahnya tidak sebesar nilai yang dilaporkan.
“Secara ekonomi, ini sudah terang benderang ada praktik jahat mengelabui negara dengan menyampaikan aset yang tidak sesungguhnya. Itu pasti disengaja karena aset seharusnya tercatat dengan baik. Tindakan memanipulasi aset agar keluar surat keterangan lunas (SKL) dari BPPN inilah yang merupakan tindakan melawan hukum,” kata Enny.
Menurut Enny, tindakan Syafruddin Arsyad Temenggung mengeluarkan SKL juga melanggar hukum. Sebab, tugas BPPN tidak hanya untuk menyehatkan perbankan nasional, tetapi juga bertugas menekan dan memitigasi agar tidak ada kerugian negara.
Enny pun mendukung langkah eksaminasi yang dilakukan oleh ICW. Sebab, jika tidak dikritisi, hal itu akan menjadi modus upaya penjarahan uang negara. Kasus BLBI pada BDNI ini harus diselesaikan secara tuntas.
Jangan jadi yurisprudensi
Pengajar hukum di Universitas Parahyangan, Bandung, Budi Prastowo menambahkan, argumen yang dibangun hakim kasasi MA dalam perkara BLBI ini banyak yang janggal. Majelis kasasi berpendapat bahwa tindakan Syafruddin Temenggung sudah sesuai dengan kewenangan yang diatur UU. Memang, sebagai Kepala BPPN, Syafruddin berwenang menerbitkan SKL. Namun, kewenangan itu harus dilakukan sesuai prosedur hukum yang benar.
”Dalam putusan judex facti di pengadilan tingkat pertama dan tinggi, dinyatakan bahwa penerbitan SKL tidak sesuai dengan prosedur hukum. Ada kesalahan administrasi yang dilakukan oleh BPPN sehingga menimbulkan kerugian negara dan menguntungkan pihak lain. Tapi, anehnya, MA malah mengatakan bahwa kesalahan administrasi itu bukanlah tindak pidana,” kata Budi.
Sesuai UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kesalahan administrasi dan prosedural termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Apalagi, kesalahan tersebut sudah merugikan keuangan negara. Melihat fakta-fakta ekonomi yang dipaparkan sebelumnya juga jelas bahwa tindakan itu merupakan kesengajaan sehingga unsur tindak pidana korupsi dalam kasus itu seharusnya sudah terpenuhi.
Dalam pertimbangan putusan kasasi, MA juga mengatakan bahwa SKL yang diterbitkan Syafruddin sudah sesuai dengan aturan. Namun, MA tidak menjelaskan acuan aturan yang menunjukkan SKL tersebut terbit sesuai aturan. MA juga tidak membantah pertimbangan judex facti. Argumen MA dalam hal ini dianggap sumir dan tidak cukup.
Budi juga mengatakan bahwa eksaminasi ini penting untuk disampaikan kepada pihak terkait. Putusan tersebut harus diperbaiki agar tidak dirujuk hakim lain dan menjadi yurisprudensi. Bukan tidak mungkin, putusan tersebut akan menjadi pegangan hakim saat memutus perkara serupa. Putusan itu telah mencederai rasa keadilan.
”KPK dapat mengajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum melalui jaksa agung. Itu tidak akan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa, tetapi bisa mengoreksi putusan yang keliru tersebut agar tidak dirujuk oleh hakim berikutnya yang menangani perkara sama (yurisprudensi),” kata Budi.
Cara pandang keliru
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril menambahkan, cara pandang MA terhadap kedudukan dan kewenangan BPPN keliru. Hal itu berdampak pada kedudukan BPPN menjadi lembaga superbodi. Padahal, jika dilihat dari kelembagaan, BPPN adalah badan hukum publik yang mewakili pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dengan demikian, lembaga tersebut tidak boleh menyalahgunakan wewenang.
Selain itu, mengacu pada UU Perbankan, posisi BPPN tidak berada di bawah Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Dalam membuat kebijakan, BPPN dapat berkonsultasi dengan KKSK. Namun, dalam menjalankan misi penyehatan perbankan, BPPN tetap sebuah lembaga mandiri.
”Majelis hakim menilai bahwa BPPN adalah mandataris KKSK. Ini logika yang salah karena dalam UU Perbankan tidak ada satu pasal pun yang menyatakan itu. BPPN adalah lembaga mandiri yang memiliki kewenangan atributif,” kata Oce.
Dalam kasus bantuan likuiditas terhadap BDNI, kata Oce, Syafruddin juga dinilai telah melakukan kesalahan prosedur dan administrasi. Ada misinterpretasi dalam laporan aset yang dilakukan BDNI. Namun, meskipun sudah diketahui, SKL tetap diterbitkan sehingga dinilai tidak ada itikad baik dalam penerbitan SKL tersebut.
Sementara itu, advokat Hendronoto Soesabdo mengatakan, saat menjabat sebagai Kepala BBPN, Syafruddin dinilai telah mengetahui minsinterpretasi aset BDNI. Sebab, perselisihan aset BDNI telah berlangsung lama semenjak Syafruddin belum menjabat sebagai Kepala BPPN.
Walaupun sudah mengetahui ada misinterpretasi, Syafrduin tetap mengeluarkan SKL dan memberikan bantuan likuiditas kepada BDNI. Ini dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Apalagi, perbuatan tersebut merugikan keuangan negara.
”Syafruddin tahu ada hasil audit yang menyimpulkan ada misinterpretasi aset BDNI dari piutang petambak dan lain-lain. Namun, seolah diarahkan tidak ada misinterpretasi itu. Menurut saya, itu adalah bagian dari rekayasa dan skenario pengemplang uang negara,” kata Hendronoto.
Hendronoto pun tidak sepakat dengan argumen MA bahwa misinterpretasi tersebut merupakan ranah hukum perdata. Menurut dia, memang ada perselisihan perdata dalam penerbitan SKL tersebut. Namun, karena tindakan tersebut termasuk melawan hukum dan merugikan keuangan negara, seharusnya tetap masuk dalam ranah pidana sehingga, menurut dia, putusan MA, putusan yang tidak tepat dan merugikan Indonesia.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, hasil eksaminasi ini akan diserahkan kepada KPK. Eksaminasi itu juga akan dipakai untuk mendesak KPK agar segera mencari buronan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Pengusutan tuntas kasus tersebut sangat mendesak karena kasus BLBI segera kadaluarsa pada 2022. Tanpa upaya hukum cepat dari KPK, para koruptor dapat melenggang dari jeratan hukum.