Penerapan UU No 19/2016 tentang Perubahan Atas UU No 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik masih bermasalah. Sivitas akademika tidak luput dari sasaran.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Kalangan sivitas akademika mengalami ancaman kriminalisasi saat menyampaikan ekspresi di internet. Jika dibiarkan, ancaman ini akan mengganggu kebebasan akademik.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P Wiratraman menyampaikan hal itu di sela-sela webinar "UU ITE dan Ancaman Kriminalisasi Kebebasan Berinternet", pekan lalu di Jakarta. Berdasarkan data KIKA, sejauh ini terdapat lima dosen dilaporkan melanggar Undang - Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11/2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Perkembangan kasus kelimanya berbeda-beda.
Sebagai contoh, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi, divonis bersalah dalam kasus pencemaran nama baik oleh pengadilan negeri Banda Aceh pada April 2020. Saiful divonis tiga bulan penjara, denda Rp 10 juta, dan subsider 1 bulan penjara.
Kasus Saiful bermula saat dia memberikan kritik hasil tes calon pegawai negeri sipil untuk dosen fakultas teknik pada akhir 2018. Kritik itu disampaikan melalui grup aplikasi pesan instan. Dia dibalas dengan tuduhan pencemaran nama baik dengan menggunakan pasal 27 ayat (3) UU No 19/2016.
Contoh lainnya adalah Ramsiah Tasruddin adalah dosen Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan. Kasusnya bermula saat dia terlibat membicarakan penyelesaian kasus penutupan sepihak Radio Kampus Syiar di aplikasi pesan instan tahun 2017. Dia dilaporkan oleh salah satu pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi ke kepolisian. Dia ditetapkan jadi tersangka tindak pidana pencemaran nama baik sesuai pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) UU No 19/2016 pada September 2019.
Kemudian, dosen Universitas Negeri Semarang Sucipto Hadi Purnomo juga dituduh menyebarkan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo melalui media sosial. Pada Februari 2020, dia sempat dinonaktifkan agar bisa menjalani pemeriksaan hukum sesuai kaidah UU No 19/2016.
Kebebasan akademik dilindungi karena bagian dari hak asasi manusia. Kampus semestinya terbuka terhadap masukan.(Herlambang Wiratraman)
"Kebebasan akademik dilindungi karena bagian dari hak asasi manusia. Kampus semestinya terbuka terhadap masukan," ujar Herlambang.
Dia mengatakan, orang berselancar dan mengekspresikan diri di internet tidak ada bedanya dengan orang berbincang - bincang di warung kopi. Konteks keduanya sama - sama dilindungi sebagai perwujudan hak asasi manusia.
Pemidanaan sivitas akademika karena menyampaikan ekspresi di internet termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Fenomena ini juga terjadi di luar negeri. Tren di dunia sekarang adalah memerangi pencemaran nama baik yang berujung pidana.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, hukum pencemaran nama baik didefinisikan sebagai hukum yang bertujuan untuk melindungi orang terhadap pernyataan palsu atau fakta palsu yang menyebabkan kerusakan pada reputasi mereka. Dalam penerapannya, hukum ini menyasar kepada pernyataan bohong, faktual, menimbulkan kerusakan, mengganggu reputasi, dan dipublikasikan kepada pihak ketiga.
Dia menjelaskan, hukum pencemaran nama baik bisa dikatakan inkonstitusional dengan beberapa persyaratan. Misalnya, melindungi perasaan pribadi dan gagal menyediakan pembelaan memadai.
Mengenai implementasi UU No 19/2016, dia memandang sering gagal membuktikan unsur jahat dari konten yang disebarkan. Apalagi, jika dalam penerapannya, penegak hukum tidak merujuk pada ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Dalam pantauan kami, sepanjang 2019-2020 terdapat sekitar enam dosen dilaporkan melanggar UU No 19/2016. Latar belakang kasus mereka berbeda - beda," kata dia.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, kasus ancaman kriminalisasi kebebasan berekspresi berkaitan dengan budaya institusi. Misalnya, budaya demokrasi lemah, patronase senior-junior, dan anti toleran.
"Permasalahan yang dihadapi sivitas akademika bukan pada substansi peraturan, melainkan penegakan hukum," ujar dia.
Sri berpendapat, kasus-kasus pencemaran nama baik semestinya didudukkan pada delik materi. Ada kasus yang berdampak besar. Ada pula kasus yang hanya menyangkut relasi.