Tak Hanya Demonstran, Dua Buruh Bangunan Juga Dianiaya Polisi di Kendari
›
Tak Hanya Demonstran, Dua...
Iklan
Tak Hanya Demonstran, Dua Buruh Bangunan Juga Dianiaya Polisi di Kendari
Pengamanan unjuk rasa oleh polisi di Kendari, Sultra, dinilai melanggar protokol. Tidak hanya demonstran, polisi juga diduga kuat menganiaya dua buruh bangunan yang melintas di lokasi pengamanan aksi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Deretan korban kekerasan aparat dalam penanganan aksi peringatan setahun meninggalnya Randi-Yusuf di Kendari, Sulawesi Tenggara, terus bertambah. Selain mahasiswa, dua buruh bangunan juga diduga menjadi sasaran pemukulan sejumlah polisi. Ombudsman Sultra menilai aparat telah melanggar protokol penanganan aksi.
Aksi peringatan setahun meninggalnya Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi berujung bentrokan pada Sabtu (26/9/2020) sore hingga malam hari. Sejumlah mahasiswa terluka dipukuli aparat. Bukan hanya mahasiswa, dua buruh bangunan juga turut menjadi korban kekerasan aparat. La Duma (29) dan La Iwan (29) mengalami sejumlah luka di kepala dan badan.
Duma, Minggu (27/9/2020), di Kendari, menceritakan, ia baru saja tiba di kediamannya di Kambu, Kendari, sehabis mengerjakan pengecatan sebuah rumah. Ia diajak iparnya, Iwan, untuk membeli ayam. Mereka berdua lalu berboncengan menuju pasar.
”Pas tiba di Bundaran Gubernur, sekitar 500 meter dari Mapolda Sultra, kami ditahan. Awalnya disuruh putar balik, lalu ada yang suruh turun. Pas saya turun, ada yang tendang saya dari belakang. Saya jatuh dan dipukuli banyak orang. Saya tidak tahu ada berapa orang, tetapi ada yang pakai seragam (polisi), ada yang tidak,” ucap Duma.
Setelah terjatuh, Duma menceritakan, darah keluar dari kepalanya. Hal itu membuat ia tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia merasakan sakit pada kepala dan tulang ekor. Kepalanya mendapat tujuh jahitan, ia pun tidak bisa berdiri.
Iwan, iparnya, menuturkan, tangannya bengkak dipukul pentungan. Punggungnya juga sakit karena tendangan. Ia terpisah dengan Duma saat dipukuli aparat.
Padahal, tambah Iwan, ia sudah menyampaikan jika mereka berdua hanya pekerja bangunan, bukan mahasiswa. Namun, mereka berdua terus dipukuli hingga babak belur. Mereka setelahnya dibawa ke Markas Polda Sultra untuk diinterogasi.
”Setelah kami sampaikan kalau kami buruh bangunan, kami dirawat dahulu, lalu diperbolehkan pulang. Saya tidak tahu bagaimana ini mau periksa ke rumah sakit karena kami ini cuma orang kecil,” ujar Iwan.
Selain dua buruh, sejumlah mahasiswa mengalami luka setelah ditangkap aparat. Hingga Sabtu sore, terlihat empat mahasiswa ditangkap aparat dengan kondisi wajah memar. Berdasarkan informasi yang dihimpun, 17 orang ditangkap hingga Sabtu malam. Mereka diinterogasi lalu dipulangkan.
Meski demikian, hingga Minggu malam, aparat kepolisian belum bisa dikonfirmasi terkait hal ini. Kepala Polda Sultra Inspektur Jenderal Yan Sultra Indrajaya, saat dihubungi, tidak menjawab telepon. Direktur Polairud Polda Sultra Komisaris Besar Suryo Aji juga tidak bisa dihubungi. Suryo adalah penanggung jawab lapangan saat penanganan aksi tersebut. Kasubdit Penmas Polda Sultra Komisaris Agus Mulyadi juga tidak menjawab telepon.
Kepala Perwakilan Ombudsman Sultra Mastri Susilo menyampaikan, pihaknya sedang mengumpulkan laporan dan temuan dari aksi berujung bentrokan tersebut. Sejumlah video dan dokumentasi aksi, baik pembubaran massa dengan helikopter maupun bentrokan, telah diterima dan sedang ditelaah.
”Kami masih mendalami dan memverifikasi terkait kejadian ini. Dugaan kekerasan aparat atau warga juga sedang kami dalami. Nanti akan kami pastikan juga ke pihak kepolisian. Kalau dugaan dari laporan sementara, memang ada potensi pelanggaran protokol pengamanan aksi,” ucapnya.
Pekan depan, tutur Mastri, pihaknya akan melakukan verifikasi ke pihak Polda Sultra terkait hal ini. Oleh karena itu, bukti-bukti pendukung hingga laporan dan aduan penting untuk disampaikan dan diketahui selengkap-lengkapnya.
Sebelumnya, pada Sabtu siang, ratusan mahasiswa dari berbagai elemen melakukan aksi peringatan setahun kematian Randi-Yusuf di Mapolda Sultra. Mereka menuntut polisi bertanggung jawab terkait hal itu dan menyelesaikan kasus yang hingga saat ini belum juga jelas.
Aksi berlangsung damai dengan beberapa koordinator melakukan orasi. Sebuah helikopter milik Polairud Sultra lalu datang di atas kerumunan massa. Helikopter tersebut terbang rendah dan berputar sebanyak tiga kali di atas kerumunan massa. Hal ini lalu memicu kemarahan sejumlah mahasiswa.
Mahasiswa lalu kembali melanjutkan aksi. Mereka menuntut Kapolda Sultra menemui mereka dan menjelaskan duduk perkara penanganan kasus Randi-Yusuf. Meski demikian, hingga jelang sore, tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Bentrokan antara massa dan aparat pun tidak terhindarkan. Saling lempar batu terjadi. Aparat menembakkan air dan gas air mata untuk membubarkan massa. Bentrokan terjadi hingga Sabtu malam.
Hidayatullah, aktivis prodemokrasi Sultra, mengecam tindakan aparat yang kembali represif dalam penanganan massa. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya perubahan penanganan massa di kepolisian meski sebelumnya telah merenggut dua nyawa.
”Saya lihat tidak ada kemajuan dari penanganan aksi oleh aparat. Mereka tetap melakukan kekerasan dan langsung membubarkan massa. Padahal, aksi ini adalah buntut dari ketidakjelasan penanganan kasus oleh kepolisian sendiri,” ujar mantan Ketua KPU Sultra ini.
Menurut Hidayatullah, kematian dua mahasiswa, Randi-Yusuf, merupakan catatan kelam demokrasi di Indonesia. Hal ini menambah deret catatan buruk kepolisian dalam menangani massa. Meski begitu, hingga saat ini, pelaku dan aktor utama dari penembakan belum juga terungkap.