Satu dari lima remaja atau anak usia 13-17 tahun, khususnya di Jawa Timur dan Yogyakarta, pernah merokok tanpa mengetahui atau mengabaikan dampak kesehatan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Satu dari lima remaja atau anak usia 13-17 tahun, khususnya di Jawa Timur dan Yogyakarta, pernah merokok tanpa mengetahui atau mengabaikan dampak kesehatan. Situasi ini memperlihatkan anak-anak dan remaja mudah mendapat akses untuk merokok sekaligus penegakan hukum yang lemah.
Keberadaan perokok anak dan remaja menjadi keprihatinan sejumlah kalangan di Jatim. Terkait hal ini, Yayasan Arek Lintang (Alit), lembaga swadaya masyarakat pendamping anak-anak, mengadakan Lokakarya Membangun Kebijakan Strategis dalam Menekan Jumlah Perokok Anak di Gedung Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Surabaya, Senin (28/9/2020).
Dalam lokakarya, Yayasan Alit dan Jaringan Koalisi Stop Child Abuse memaparkan hasil penilikan dasar (baseline survey) pada 13 Juni-13 Juli 2020 terhadap 506 responden. Survei diadakan di lima wilayah, yakni Surabaya (100 responden), Sidoarjo (101 responden), Malang Raya (104 responden), Jember-Banyuwangi (101 responden), dan Yogyakarta (100 responden).
Penegakan hukum sulit diwujudkan karena pertentangan aturan itu sendiri. (Kris Nugroho)
Penilikan memperlihatkan 446 responden dari 506 informan (88 persen) memiliki anggota keluarga dekat, yakni ayah, ibu, atau saudara, yang merokok. Sebanyak 470 pelapor (93 persen) pernah diminta oleh kerabat untuk membeli rokok. Sebanyak 420 responden (83 persen) merupakan perokok aktif. Remaja mulai merokok yang terbanyak pada usia 14 tahun (120 orang), 13 tahun (119 orang), 12 tahun (84 orang), dan 15 tahun (66 orang).
Situasi itu mirip dengan penilikan yang pernah dilaksanakan di Amerika dan Eropa bahwa remaja mulai merokok pada usia 15-16 tahun. Di India, remaja mulai merokok pada usia 15-18 tahun.
Memprihatinkan
Di Indonesia lebih memprihatinkan sebab remaja usia 13-14 tahun sudah mulai merokok. Situasi di Indonesia ditunjang oleh kemudahan anak dan remaja mendapatkan rokok di mana 81 persen responden survei ternyata membeli sendiri komoditas tersebut, terutama secara eceran atau satuan.
Membeli rokok secara eceran cukup lumrah dan belum dianggap sebagai persoalan meskipun terjangkau atau mampu terbeli oleh anak dan remaja dari keluarga cukup melalui uang saku mereka.
Direktur Eksekutif Yayasan Alit Yuliati Umrah mengatakan, hasil penilikan memperlihatkan ketiadaan pengamanan terhadap anak-anak dari pencegahan merokok. Bisa diyakini ada kelemahan dalam penegakan peraturan soal distribusi rokok sehingga tetap mudah dijangkau oleh anak dan remaja. Belum banyak yang mempersoalkan penjual rokok tetap melayani pembelian dari kalangan anak dan remaja.
”Kami segera bersurat kepada Presiden Joko Widodo untuk mencermati situasi ini,” kata Yuliati.
Menurut Kepala Bidang Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Jatim Herawanto Ananda, keberadaan perokok anak bukan salah anak atau remaja, melainkan keluarga dan masyarakat.
”Anak dan remaja meniru gaya hidup keluarga dan lingkungan,” kata Ananda.
Perokok anak hadir karena orangtua atau kerabat keluarga dekat, tetangga atau lingkungan, dan teman sepermainan merokok. Karena melihat banyak yang merokok, anak dan remaja terpicu untuk mencoba hal yang sama. Berbagai larangan dan ancaman hukuman belum ampuh sebab dalam usia remaja ada kecenderungan ”memberontak” dan berani coba-coba.
Anak dan remaja meniru gaya hidup keluarga dan lingkungan. (Herawanto Ananda)
Ananda mengingatkan, merokok pada anak membahayakan empat hak dasar mereka, yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak partisipasi. Anak atau remaja yang sakit akibat merokok atau terdampak lingkungan sebagai perokok pasif akan kehilangan keempat hak dasar itu.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim sekaligus Wakil Ketua Umum Kadin Jatim Sulami Bahar mengatakan, regulasi dari pemerintah tentang rokok belum tegas.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2019 sebagai Perubahan Kedua Regulasi Nomor 136 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menyatakan kenaikan harga jual 23 persen, sedangkan harga jual eceran naik 35 persen.
Namun, regulasi ini belum membatalkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang menyatakan produsen dapat menjual eceran di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang telah disurvei.
Dosen Kebijakan Publik di Departemen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kris Nugroho, mengatakan, peraturan yang berbeda antara Menteri Keuangan dan Dirjen Bea Cukai memperlihatkan adanya lobi politik. Regulasi lebih dipengaruhi oleh pasar atau kepentingan industri daripada melihat situasi riil di masyarakat.
”Penegakan hukum sulit diwujudkan karena pertentangan aturan itu sendiri,” kata Kris.