Wajah komunitas ragam jender dan seksualitas di media kerap ditampilkan lekat dengan kriminal, nakal, dan patut disalahkan. Padahal, mereka juga punya segudang kisah penuh makna untuk orang-orang di sekitarnya.
Oleh
abdullah fikri ashri
·5 menit baca
Wajah komunitas ragam jender dan seksualitas di media kerap ditampilkan lekat dengan kriminal, nakal, dan patut disalahkan. Padahal, mereka juga manusia yang punya segudang kisah penuh makna untuk orang-orang di sekitarnya.
Hendrika Mayora (34), transjender perempuan atau transpuan, sempat marah besar saat membaca berita di sebuah media di Maumere, Nusa Tenggara Timur, 2018. Judulnya, ”Waspada Oknum Waria, Profesi Jual Diri”.
”Narasumbernya tidak ada dari transpuan. Namun, ada pengelola salah satu organisasi yang mengatakan oknum waria jual diri dan melayani 15 sampai 20 laki-laki setiap malam. Padahal, kami sudah tidak (bekerja) di jalan,” kata Mayora, saat dihubungi Kompas di Kabupaten Sikka, Kamis (24/9/2020).
Saat itu, katanya, sebagian besar transpuan setempat sudah punya rumah dan mengelola usaha salon meski kecil. Mayora pun merasa berita itu hoaks. Ia mendatangi kantor media tersebut dan menuntut hak jawab.
Begitulah sedikit gambaran komunitas ragam jender yang dikenal dengan lesbian, gay, biseksual, transjender, queer, dan interseks (LGBTQI) di media. Komunitas ini kerap dituding sebagai kriminal, menyimpang, dan hal buruk lainnya.
Mesin pencari di internet dengan kata ”waria” mengungkapkannya. Sederet judul berita yang muncul adalah ”Setelah Berhubungan Intim dengan Waria, Pria Ini Kehilangan Uang Rp 18 Juta” atau ”Ditinggal Suami Keluar Kota, Seorang PNS Pesta Sabu Bareng Waria”.
Berbagai berita itu, lanjutnya, turut memengaruhi stigma negatif publik tentang LGBTIQ. ”Setiap orang memang punya salah. Tetapi, jangan cari-cari kesalahan,” ucap Mayora, pendiri Fajar Sikka, organisasi yang mewadahi sekitar 50 transpuan di Sikka.
Sebaliknya, kisah penuh makna LGBTIQ jauh dari pemberitaan. Padahal, mereka melakukannya juga untuk masyarakat. Mayora dan komunitasnya, misalnya, sejak 2018, aktif di Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), posyandu, rohani, dan kegiatan sosial.
Ketika pandemi Covid-19, Mayora membantu warga, termasuk transpuan, mengurus kartu tanda penduduk agar memperoleh bantuan langsung tunai dari pemerintah. Bagaimanapun transpuan juga warga negara yang membayar pajak tanah atau kendaraan dan punya nomor pokok wajib pajak.
”Kami juga terima donasi untuk dibagikan ke warga lansia, mama janda, dan anak stunting. Kami tidak eksklusif. Orang melihat kami tidak menakutkan,” kata Ketua Badan Permusyawaratan Desa Habi, Kecamatan Kangae, Sikka, itu.
Amanah sebagai pejabat desa sejak Maret lalu menunjukkan Mayora dipercaya warga. ”Padahal, saya enggak ada kampanye. Tetapi, dicalonkan dan dipilih sebagai ketua BPD,” ungkap Mayora yang juga menjadi salah satu ketua lingkungan dengan 30-an rumah tangga di desanya.
Bahkan, Mayora mendapat tawaran masuk partai dan menjadi kepala desa. Namun, ia menolak. ”Politik itu kadang-kadang kotor dan jahat,” ucapnya.
Jadi jembatan
Penerimaan masyarakat terhadapnya seperti membuka ”lemari” hidupnya yang baru. Selama 32 tahun, ia merantau dalam jiwa tak merdeka. Memiliki tubuh dengan fisik seorang pria, Mayora merasa menjadi lebih utuh sebagai transpuan. Namun, ia dicap sebagai pendosa karena menyalahi kodratnya.
”Padahal, kami tidak buat-buat (jadi transpuan) begini. Ini anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Dengan itu, kami bisa menerima diri sendiri dan banyak berbuat baik,” kata mantan biarawan yang sempat berpikir bunuh diri karena stigma yang menimpanya.
Belakangan, kisahnya mulai mendapat tempat di media lokal hingga internasional. Namun, stigma negatif terhadap kelompok ragam jender masih mendominasi pemberitaan di media.
Riset Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia, April 2016, mengungkapkan diskriminasi itu. Dari survei ini, ada 10 kelompok yang menjadi sasaran kebencian di negeri ini. LGBT berada di pucuk kebencian (26,1 persen), diikuti komunis (16,7), Yahudi (10,7), dan seterusnya (Kompas, 19/1/2018).
Padahal, kami tidak buat-buat (jadi transpuan) begini. Ini anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Dengan itu, kami bisa menerima diri sendiri dan banyak berbuat baik
Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), forum yang fokus pada isu lintas iman dan seksualitas, pun mencoba menjembatani komunitas ragam jender dengan jurnalis melalui workshop ”Jurnalis Progresif”. Kegiatan itu berlangsung via virtual pada Minggu-Selasa (20-22/9/2020).
Sebanyak 16 jurnalis dan anggota komunitas LGBTIQ dari sejumlah daerah turut serta. Dalam forum itu, komunitas mengeluhkan pemberitaan di media yang menyudutkan mereka, tetapi tidak meminta pendapat komunitas.
Sejumlah peserta dari jurnalis mengatakan, berita yang ditulis terkait komunitas LGBTIQ sudah sesuai dengan fakta serta pendapat narasumber, seperti polisi dan pemangku kebijakan. Mereka juga mengeluhkan minimnya akses ke komunitas. Di sisi lain, pemberitaan terkait komunitas dinilai bisa berdampak pada gejolak masyarakat.
Koordinator Nasional YIFoS Jihan Fairuz berharap workshop yang kali pertama digelar itu memberikan akses pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara komunitas dan jurnalis. ”Jadi, jurnalis nantinya tidak lagi menulis diksi provokatif tentang komunitas yang membentuk stigma negatif publik,” ujarnya.
Tantowi Anwari, Manajer Program Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), menilai, sejumlah media menjadikan komunitas LGBTIQ untuk menaikkan jumlah pembaca atau clickbait. Misalnya, membuat judul yang menghubungkan orientasi seks dengan tindakan kriminal. ”Padahal, keduanya tidak terkait,” ucapnya.
Jadi, jurnalis nantinya tidak lagi menulis diksi provokatif tentang komunitas yang membentuk stigma negatif publik.
Nyaris tidak ada judul berita ”Seorang Heteroseksual Membunuh Pasangannya”. Sebaliknya, judul seperti ”Seorang Homoseksual atau Waria Membantai Pria” bisa dengan mudah ditemui. Media juga lebih memilih menggunakan diksi yang dinilai tidak adil, seperti penggunaan ”waria” ketimbang ”transpuan” atau ”kaum” daripada ”komunitas”.
Untuk itu, seorang jurnalis perlu membekali diri dengan pengetahuan sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristic (SOGIESC). SOGIESC mendorong pemenuhan hak manusia meski orientasi seksual, karakteristik, dan identitas jendernya beragam.
Saat meliput, jurnalis harus bersikap kritis terhadap narasumber yang fobia terhadap keragaman jender dan menghindari ungkapan dengan tendensi permusuhan. Sebaliknya, komunitas keragaman jender perlu diberi panggung untuk menyuarakan aspirasinya.
”Selama ini, mereka kerap mengalami diskriminasi. Karena itu, bersikap netral saja tidak cukup,” ujarnya.
Api kebencian itu harus segera dipadamkan. Sudah terlalu lama stigma itu membakar mereka membabi buta. Media massa punya tanggung meredakannya, bukan justru menjadikan api itu kian membara.