Chabib Wibowo, Mantan Anak Jalanan Pendamping Kaum Marjinal
Chabib lama bergumul di jalanan. Tidak ingin nasib sama menimpa orang lain, ia baktikan diri merawat dan mendampingi kaum marjinal. Ia membuatkan pondok hingga mengurus jenazah jika ada yang meninggal.
Chabib Wibowo (43) seorang ”pensiunan” anak jalanan. Saat masih menggelandang di jalan, terjaring razia menjadi makanan sehari-harinya. Tak ingin nasib yang sama menimpa kaum marjinal lainnya, ia baktikan diri merawat dan mendampingi anak jalanan, lansia, hingga orang dengan gangguan jiwa yang terlupakan.
”Tidak ada orang yang mau hidup di jalanan. Itu bukan pilihan mereka. Keadaan yang memaksa mereka harus hidup dengan cara seperti itu,” ujar Chabib, saat ditemui di Wisata Rumah Jiwa Hafara, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakata (DIY), Kamis (17/9/2020).
Wisata Rumah Jiwa Hafara merupakan tempat tinggal bagi para anak jalanan, lansia, dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang telantar. Saat ini, ada 94 orang yang menghuni rumah tersebut. Pengelolanya adalah Yayasan Anugerah Tuhan Hafara, organisasi sosial yang bergerak di bidang kemanusiaan, yang telah berdiri 15 tahun lamanya. Chabib merupakan salah satu pendiri yayasan itu.
Yayasan itu tidak hanya mendampingi warga telantar para penghuni rumah tersebut. Masih ada sekitar 800 lansia, 50 anak jalanan, dan 200 anak yatim piatu, yang juga mereka dampingi di luar rumah tersebut.
Pendirian rumah jiwa sekaligus yayasan, berawal dari keresahan Chabib semasa masih hidup di jalanan. Meski lahir di Jakarta, sejak remaja, ia sudah pergi dari rumah, hingga hidup di jalanan Yogyakarta.
Saat itu, berulang-ulang, ia terciduk dalam razia yang digelar Satuan Polisi Pamong Praja. Namun, ia tak pernah merasakan ada perubahan berarti dari pembinaan yang diterimanya setiap kali terjaring razia. Mereka hanya didata, lalu dilepaskan lagi sehingga kapan pun bisa selalu kembali ke jalan.
Terekam jelas di ingatan Chabib sewaktu terjaring razia, di Kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, pada 2004. Ia dipukuli habis-habisan karena melawan dalam razia tersebut. Bersama sekitar 70 anak jalanan dan gelandangan lain, ia dibawa ke Panti Karya untuk pendataan. Setelah itu, ia mesti menginap satu hingga dua malam di situ.
”Saat itu, saya merenung. Tidak bisa kami terus seperti ini. Hanya dirazia dan diambil datanya lalu dilepas lagi. Harus ada jalan keluar dari masalah ini. Tidak sekadar mendata lalu memulangkan begitu saja,” kenang Chabib, yang juga dipanggil Babe oleh anak-anak jalanan dampingannya.
Saran Emha
Ia pun mengajak sejumlah anak jalanan lain untuk menemui budayawan, Emha Ainun Najib yang saat itu banyak beraktivitas di Kawasan Malioboro, bahkan dijuluki Presiden Malioboro. Ia ingin meminta usul dari Emha tentang cara mengatasi persoalan anak jalanan dan gelandangan yang menjadi salah satu potret kehidupan di kawasan tersebut.
Emha menyarankan Chabib membuat sebuah organisasi sosial berbadan hukum resmi. Lewat organisasi sosial itu, Chabib diharapkan mengatasi berbagai keresahannya lewat aksi nyata. ”Beliau (Emha) lalu mempertemukan saya dengan Pak Busyro Muqoddas (Ketua KPK Periode 2010-2011). Saya dikenalkan dengan notaris-notaris. Dari pertemuan-pertemuan ini, terbentuklah Hafara,” kata Chabib.
Nama Hafara diusulkan oleh Busyro. Nama itu singkatan dari ”Hadza min Fadli Robbi” yang berarti ”ini karunia Allah”. Nama itu diberikan sebagai doa bagi yayasan agar dalam setiap niat baiknya selalu diberi kelancaran.
Pada 2005, Wisata Rumah Jiwa Hafara pun berdiri di tanah sitaan bank yang terletak di Gonjen, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Bantul. Dengan tempat itu, Chabib langsung bergerak memburu anak jalanan, ODGJ, dan lansia telantar untuk tinggal di pondoknya itu.
”Jadi, kalau dulu saya yang diburu (Satpol PP). Sekarang, justru saya yang memburu Satpol PP agar mereka (yang terkena razia) bisa kami dampingi, Bahkan, saat ini Satpol PP malah langsung menurunkan hasil razia mereka ke tempat kami,” ujar Chabib.
Selama tinggal di pondok, pendampingan diberikan mulai dari psikologis hingga keagamaan. Ini berlaku bagi siapa saja, baik anak jalanan, ODGJ, hingga lansia. Yayasan juga melakukan kunjungan rumah bagi warga dampingan yang tinggal di luar pondok.
Pemakaman
Selain itu memberi pendampingi, Yayasan Hafara turut mengurus pemakaman jenazah orang telantar. Tindakannya ini bertujuan agar tidak ada tangan nakal yang memanfaatkan jenazah tersebut demi mengeruk keuntungan. Ini bukan isapan jempol. Chabib menyaksikannya sendiri. Suatu ketika, temannya yang juga anak jalanan meninggal.
”Teman saya (yang meninggal) dibuatkan identitas baru. Jenazahnya dibawa ke rumah sakit dan diklaimkan asuransi. Uang klaim asuransi diambil oknum-oknum itu. Saya tidak ingin kejadian seperti ini terjadi lagi,” kata Chabib.
Sejak 2005, sebanyak 243 jenazah telantar tanpa identitas sudah dimakamkan oleh Chabib dan teman-temannya. Awalnya, pemakaman itu dilakukan di Tempat Pemakaman Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bantul. Namun, satu tahun belakangan, jenazah tersebut dimakamkan, di Makam ”Sepi Pamrih, Tebih Ajrih”, milik yayasan tersebut. Pemindahan lokasi karena area pemakaman milik Dinas Sosial PPPA Bantul sudah penuh.
Pada 2006, Wisata Rumah Jiwa Hafara berpindah lokasi di sebuah tanah kas desa, di Brajan, Desa Tamantirto. Lokasi kedua ini bertahan hingga 2017. Yayasan harus berpindah tempat karena warga merasa tak nyaman melihat sukarelawan sering membawa jenazah ke pondok itu sebelum dimakamkan.
Chabib mengaku sempat kebingungan harus berpindah ke mana lagi dengan penolakan tersebut. Beruntung dia tidak perlu kebingungan dalam waktu yang lama. Donasi mengalir dari banyak orang dan bisa dimanfaatkan untuk membeli tanah seluas 1.000 meter persegi yang sekarang menjadi tempat berdirinya Wisata Rumah Jiwa Hafara, di Kecamatan Jetis, Bantul.
Tentu, persoalan pendanaan selalu jadi masalah klasik setiap aktivitas sosial. Chabib mengaku mesti pontang-panting mencari dana untuk biaya operasional bagi kegiatan sosialnya itu. Membecak, menjual rongsokan, hingga mengamen dilakoninya agar organisasi sosial itu bisa terus berjalan. Selain itu, sistem donasi terbuka juga disiarkan melalui berbagai kanal media sosial.
”Kami sangat beruntung. Masih banyak orang-orang baik yang tak ingin disebutkan namanya selalu memberikan bantuan bagi kami,” kata Chabib.
Selain dana, menurut Chabib, mendampingi anak jalanan juga menjadi tantangan baginya. Ia punya mimpi, tidak ada lagi anak jalanan. Setiap anak, termasuk yang berada di jalanan, mesti dipenuhi berbagai macam haknya mulai dari pendidikan hingga kesehatan.
Mendidik anak jalanan ada seninya. Harus benar-benar telaten. Apalagi meminta mereka sekolah
”Mendidik anak jalanan ada seninya. Harus benar-benar telaten. Apalagi meminta mereka sekolah. Ya, ini harus kami edukasi juga kepada orangtuanya. Jika ada yang sama sekali tidak mau sekolah, kami menjalin komunikasi dengan sekolahnya,” kata Chabib.
Rata-rata, anak-anak jalanan yang didampingi Chabib berhasil menyelesaikan pendidikan hingga setingkat SMA. Setelah lulus, mereka diminta agar bisa hidup mandiri dengan bekal pengetahuan dan keterampilan selama masa pendampingan. Misalnya, kesenian membatik. Ada salah seorang anak jalanan dampingan yang saat ini menjadi perajin batik. Bahkan, sesekali anak tersebut diminta menjadi mentor bagi anak jalanan lain.
Selain itu, Chabib juga berupaya memperkerjakan anak-anak jalanan yang didampinginya di yayasan tersebut. Saat ini, sedikitnya ada 15 eks anak jalanan yang telah mentas dari kehidupan jalanan dan menjadi pegawai yayasan tersebut. Kebanyakan anak jalanan tersebut ditempatkan di Divisi Keamanan dan Divisi Pendampingan.
”Yang jadi pendamping, mereka giliran ’menemani’ teman-temannya yang saat ini masih menjadi anak jalanan. Harapannya, mereka mampu memberikan inspirasi bagi yang lain,” tutur Chabib.
Bagi anak jalanan yang masih memiliki relasi keluarga, metode pendampingan yang diutamakan Chabib, yakni kunjungan rumah. Ia ingin sebisa mungkin anak jalanan, yang masih punya relasi keluarga, tinggal di rumah sendiri. Jangan sampai tinggal di pondok. Menurut dia, rumah adalah tempat terbaik bagi anak untuk tumbuh.
Peran keluarga
Pernyataan itu didasari pengalaman pribadi Chabib. Saat kecil, ia tak betah tinggal di rumah. Orangtuanya yang merupakan anggota militer mendidiknya secara tegas, bahkan dengan hukuman fisik. Ia akhirnya kerap membuat onar hingga dikeluarkan dari sekolah. Selepas SMA, dia Setelah lulus SMA, dia kabur ke Yogyakarta dan memilih ke jalanan. Ia menjadi pemulung dan tidur di kawasan Malioboro.
Bagaimanapun tempat anak tumbuh itu di rumahnya. Dia harus merasa nyaman bersama keluarganya
”Bagaimanapun tempat anak tumbuh itu di rumahnya. Dia harus merasa nyaman bersama keluarganya. Jadi, misi kami mengembalikan anak-anak jalanan ini ke rumah dan keluarganya,” kata Chabib merefleksikan kenangan masa kecilnya itu.
Membuat anak jalanan berubah menjadi lebih baik juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya, Chabib butuh waktu lebih dari 20 tahun untuk lepas dari kehidupan jalanan. Kesabaran memberikan pemahaman pada anak jalan tak boleh putus.
Chabib kenal kehidupan jalanan sejak masih duduk di bangku SD. Saat itu, dia tinggal, di Jakarta. Obat-obatan terlarang juga dikonsumsinya masa itu. Itu berlanjut hingga bersekolah di bangku SMP. Ia sempat dipindahkan ke Yogyakarta, karena ingin sembuh dari kehidupan jalanan. Nyatanya, ia kembali lagi ke jalan. Bahkan, berkali-kali kembali ke Jakarta, untuk membeli obat-obatan terlarang itu.
Masa SMA, Chabib pindah sekolah sebanyak tiga kali di Yogyakarta. Sampai-sampai, orangtuanya harus memasukkan Chabib ke Pondok Pesantren Suralaya, Tasikmalaya. Di sana, ia merampungkan pendidikan SMA-nya. Kendati sudah dibekali ajaran agama yang kuat sewaktu di pesantren, Chabib masih kembali ke jalanan. Baru peristiwa razia saat menggelandang di Malioboro pada 2004, membuatnya sadar.
Bahkan, pasal-pasal pidana saya bisa hapal. Saya pernah sekolah di dalam (penjara). Penyebabnya, ya, macam-macam. Maling, narkoba, dan lain-lain.
”Bahkan, pasal-pasal pidana saya bisa hafal. Saya pernah sekolah di dalam (penjara). Penyebabnya, ya, macam-macam. Maling, narkoba, dan lain-lain. Sekarang, saya bisa berkegiatan di Hafara butuh waktu panjang. Jadi, memang tidak mudah untuk mengajak anak jalanan berubah,” kata Chabib.
Ketekunan Chabib merawat ODGJ, lansia, dan anak jalanan membuahkan hasil mulai tahun 2009. Saat itu, Yayasan Anugerah Tuhan Hafara diganjar penghargaan berupa Organisasi Sosial Berprestasi Tingkat Nasional oleh Kementerian Sosial. Setahun sesudah itu, giliran Chabib yang diberikan penghargaan Satya Lencana, dalam bidang Kebaktian Sosial, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2010.
Kesetiaan Chabib mendampingi warga telantar didasari satu hal. Ia merasakan sendiri pahit getirnya kehidupan jalanan. Untuk itu, ia tak ingin ada orang lain yang harus mengalami pahitnya hidup di jalan seperti dirinya.
Kini, Chabib bercita-cita agar bisa membuat Kampung Ramah Jiwa. Menurut dia, banyak ODGJ yang hidup dengan tak layak di luar sana. Telantar dan tak diurus oleh keluarganya. Padahal, ODGJ berhak mendapat perhatian penuh dari keluarganya. Bukan malah ditelantarkan karena tampak berbeda dibandingkan orang lain.
Chabib Wibowo
Lahir: Jakarta, 1 Desember 1973
Pendidikan:
- SD 09 Jakarta
- SMP 181 Jakarta
- SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta
- SMA N 2 Godean Sleman
- SMA Islam 2 Moyudan Sleman
- SMA Pembangunan Bugisan
- Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
Penghargaan:
- Organisasi Sosial Berprestasi Tingkat Nasional, Kementerian Sosial (2009)
- Satya Lencana Presiden Bidang Kebaktian Sosial (2010)