Terus Merugi, Pengelola Pusat Perbelanjaan Minta Pandemi Ditangani Lebih Baik
›
Terus Merugi, Pengelola Pusat ...
Iklan
Terus Merugi, Pengelola Pusat Perbelanjaan Minta Pandemi Ditangani Lebih Baik
Pembatasan sosial membuat pusat-pusat perbelanjaan terus merugi akibat menurunnya jumlah kunjungan. Pengelola pusat perbelanjaan meminta penanganan pandemi Covid-19 lebih baik.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial membuat pusat-pusat perbelanjaan terus merugi akibat menurunnya jumlah kunjungan. Pengelola pusat perbelanjaan meminta penanganan pandemi Covid-19 lebih baik.
Ketua Umum Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, resesi sudah dirasakan pusat perbelanjaan dan ekosistemnya, seperti penyewa pusat perbelanjaan, supplier, serta usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Kami sudah defisit besar-besaran sejak Maret 2020. Tingkat kunjungan turun dan berlangsung terus sampai saat ini. Saat pelonggaran PSBB saja, kami tetap defisit karena kapasitas kunjungan hanya 30-40 persen,” sebutnya dalam konferensi pers virtual, Senin (28/9/2020).
Dengan kondisi tersebut, penanganan kesehatan untuk pengendalian pandemi Covid-19 diharapkan lebih serius dilakukan pemerintah.
Yongky Susilo dari Dewan Ahli Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyebut protokol kesehatan sebenarnya sudah menjadi standar operasional pusat perbelanjaan saat ini.
Hal itu dibuktikan dari hasil survei kecil yang mereka lakukan belum lama ini. ”Dari 21 responden, hanya 1 responden yang melaporkan bahwa di unit bisnis mereka terdapat kasus orang tanpa gejala dan positif Covid-19 dalam tiga bulan terakhir,” ujar pria yang juga menjabat Director Retailer Services The Nielsen Company Indonesia itu.
Menurut Yongky, kondisi kesehatan yang dapat dikontrol selama pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah membuat minat masyarakat mengunjungi pusat perbelanjaan kembali meningkat.
Hal itu sesuai dengan hasil survei Mandiri Institute pada Juli hingga Agustus 2020. Dengan menggunakan pelacakan live tracking di 5.968 lokasi toko dan 7.531 restoran di kota besar, ditemukan kunjungan pusat perbelanjaan naik dari 44 persen pada Juli menjadi 61 persen pada Agustus. Kenaikan didukung kembalinya aktivitas perkantoran dan keinginan konsumen untuk mencari hiburan.
Persepsi itu juga ditangkap survei Nielsen terhadap 537 responden di 11 kota. Ditemukan bahwa masyarakat mengharapkan bisa mengunjungi mal pada Juni dan Juli. Pada Agustus dan September, masyarakat berekspektasi bisa pergi keluar kota dan menonton film di bioskop.
Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah menyebutkan, total kerugian peritel yang menyewa pusat perbelanjaan diprediksi Rp 200 triliun akibat turunnya omzet.
”Setahun biasanya omzet kami Rp 400 triliun. Kalau operasional dibatasi 50 persen, logikanya kami hanya dapat Rp 200 triliun. Tetapi, itu juga sepertinya tidak bisa,” kata Budihardjo pada kesempatan yang sama.
Tidak hanya penurunan omzet, sektor ritel penyewa pusat perbelanjaan juga terancam lebih banyak merumahkan karyawan, melakukan pemutusan hubungan kerja, dan menutup usaha. Hal itu berpotensi terjadi jika pemerintah tidak segera membantu para peritel.
Menurut Hippindo, selama September dan Oktober 2020, peritel dari sektor fashion akan melanjutkan merumahkan karyawan dan memotong gaji, tetapi tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal yang sama diputuskan peritel sektor makanan dan minuman, dengan dampak terburuk penutupan usaha. Adapun peritel sektor department store akan mengambil pilihan PHK, merumahkan karyawan, dan memotong gaji karyawan.
”Biaya gaji dan operasional jadi pengeluaran peritel terbesar. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah mau memberi bantuan langsung tunai ke perusahaan, salah satunya dengan subsidi pendapatan sumber daya manusia kami yang menjaga toko setiap hari,” tutur Budihardjo.