Pandemi, ketika banyak nyawa ada di mulut bahaya, sejatinya dapat menjadi kesempatan bagi banyak pemerintahan mengoreksi diri dan berbenah. Kepada siapa sejatinya kekuasaan diabdikan?
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
Tak ada seorang pun meragukan bahwa Covid-19 mendatangkan bencana. Akan tetapi, bagi sebagian pihak, pandemi ternyata bisa dikelola menjadi materi politik yang renyah.
Setidaknya dalam dua bulan terakhir, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kerap kali mendesak agar sebelum Pemilu AS, yang akan digelar pada 3 November, vaksin telah tersedia.
Dalam berita di kanal Kompas.id berjudul ”Politisasi Vaksin Mengancam Demokrat”, Minggu (20/9/2020), disebutkan, Trump pada Jumat (18/9) mengulangi pernyataannya bahwa 100 juta dosis vaksin akan diproduksi pada akhir tahun dan jumlahnya akan mencukupi bagi seluruh rakyat AS pada April 2021. ”Tiga vaksin sudah dalam tahap akhir,” kata Trump pada sebuah briefing.
Dalam berita itu ditulis, politisasi pengadaan vaksin oleh calon presiden petahana dari Partai Republik itu menyulitkan gerak Partai Demokrat. Jika Demokrat secara agresif menyerang klaim kampanye ketersediaan dan efektivitas vaksin Trump, tindakan itu berisiko merusak kepercayaan publik pada obat. Sebaliknya, jika mereka mundur dan tidak menekan, Trump akan lebih leluasa menggunakan vaksin sebagai alat untuk meningkatkan keterpilihannya.
Meskipun banyak pihak, termasuk kalangan Republik, meragukan ketersediaan vaksin yang aman dan efektif dalam waktu yang sangat pendek, tampaknya begitulah ”mesin politik” bekerja.
Ketersediaan vaksin jelang pemilu akan menjadi pengubah permainan bagi Trump. Apabila sebelumnya Trump dikecam karena kebijakannya yang buruk atas pandemi dan itu memengaruhi ”kekalahannya” dalam aneka jajak pendapat, kali ini semuanya bisa jadi akan dijungkirbalikkan.
Tidak bisa dimungkiri, ada motif kekuasaan di balik percepatan vaksin itu. Kemenangan politik menjadi segalanya.
Trump dengan mesin politik yang dimilikinya akan mengapitalisasi apa pun demi kemenangan. Di sisi lain, selain berniat kembali ke kursi presiden, ia pun ingin meninggalkan legasi, sebagaimana dia menegaskan betapa penting dirinya dalam normalisasi hubungan diplomatik Israel-Uni Emirat Arab.
Haryatmoko, dalam Etika Politik dan Kekuasaan, menyebutkan bahwa politik riil adalah pertarungan kekuatan. Akan tetapi, secara panjang lebar ia mengungkapkan bahwa dalam pertarungan itu tidak tertutup ruang bagi wacana normatif di mana nilai-nilai luhur seperti kesejahteraan bersama, keadilan, dan penghargaan pada martabat manusia dan kemanusiaan berkembang.
Politik tidak hanya semata-mata menjadi mekanisme untuk mengklaim kemenangan. Politik juga dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Konsep yang berkembang menjadi gagasan etis itu menempatkan kepemimpinan dan kekuasaan yang diperoleh melalui ”pertarungan kekuatan” menjadi alat yang diabdikan pada kepentingan bersama, bukan semata-mata pada langgengnya kekuasaan.
Kesejahteraan publiklah yang menjadi misi utamanya. Ada dimensi moral, ada kewajiban pada keberlanjutan kehidupan warga, bukan sebaliknya.
Terkait dengan asumsi bahwa Trump menggunakan isu vaksin untuk mendongkrak keterpilihannya, setiap pihak yang saat ini ada dalam situasi yang sama—mungkin—bisa menguji, apa yang sejatinya menjadi misinya?
Pandemi, ketika banyak nyawa ada di mulut bahaya, sejatinya dapat menjadi kesempatan bagi banyak pemerintahan mengoreksi diri dan berbenah. Kepada siapa sejatinya kekuasaan diabdikan?