Kerugian Capai Rp 200 Triliun, Daya Tahan Peritel Terancam Ambruk
›
Kerugian Capai Rp 200 Triliun,...
Iklan
Kerugian Capai Rp 200 Triliun, Daya Tahan Peritel Terancam Ambruk
Omzet peritel anjlok, pusat perbelanjaan terkena dampaknya. Penyewa kios tak mampu bertahan akibat penurunan omzet sehingga terpaksa merumahkan karyawannya. Pusat perbelanjaan dan penyewa butuh bantuan nyata.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perpanjangan kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang semakin ketat memperburuk situasi perdagangan di Ibu Kota. Daya tahan peritel yang memilih menutup sementara, bahkan merumahkan karyawannya, terancam kolaps setelah kerugian terus menumpuk.
Total omzet pengusaha ritel yang mencapai Rp 400 triliun per tahun diperkirakan turun drastis akibat peraturan PSBB. Walapun protokol kesehatan secara ketat diterapkan di pusat-pusat perbelanjaan sesuai dengan ketentuan pemerintah, konsumen tetap merasa khawatir untuk berkunjung ke sana.
Apalagi, selain jam operasional dibatasi, pengusaha yang bergerak di bidang bisnis makanan dan minuman juga sulit meningkatkan pendapatan karena adanya larangan makan di tempat (dine in) bagi konsumen. Sistem pembelian take away atau bawa pulang makanan dan minuman yang diperoleh peritel tidak menutup biaya operasional.
”Pemberlakuan PSBB dengan membatasi separuh jam operasional per hari benar-benar menurunkan omzet sekitar 50 persen. Kerugian atas penurunan omzet tahun ini ditaksir mencapai Rp 200 triliun,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja dalam konferensi pers bertajuk ”Dalam Keterpurukan, Penyewa dan Pusat Perbelanjaan Menghadapi Resesi Ekonomi”, di Jakarta, Senin (28/9/2020).
Menurut Alphonsus, jika akhir bulan ini Indonesia dinyatakan masuk jurang resesi ekonomi, sebetulnya bagi pusat perbelanjaan sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu saat PSBB tahap pertama ditetapkan pemerintah daerah.
Hal-hal yang membuat penurunan omzet, antara lain, wabah virus Covid-19 membuat pengunjung berhati-hati terhadap penyebaran virus ini sehingga menghentikan kunjungan ke pusat perbelanjaan. Daya beli pun merosot tajam setelah berbagai pembatasan diberlakukan oleh pemerintah daerah.
Bantuan riil
APPBI mengusulkan, selain bantuan langsung tunai yang diberikan pemerintah kepada masyarakat selama ini, pengusaha pusat berbelanjaan juga perlu dibantu secara riil. Bentuk bantuan yang diharapkan adalah penghapusan sementara Pajak Penghasilan (PPh) final atas sewa, service charge, penggantian biaya listrik, PPh Pasal 21, 23, dan 25, PPh 22 Impor, dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat.
Sementara dari pemerintah daerah, bantuan yang diharapkan adalah pembebasan sementara berbagai pajak daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak PB 1, pajak reklame dalam ruang dan luar ruang, pajak hiburan, serta pajak parkir. ”Kami juga mengharapkan subsidi gaji karyawan dengan upah minimum. Ini akan memberikan sedikit napas bagi pengusaha ritel,” ujar Alphonsus.
Budihardjo Iduansjah, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), mengatakan, secara ekosistem, para peritel dan penyewa bernaung di pusat perbelanjaan. Situasi bulan Maret hingga September menyebabkan omzet turun drastis. Dalam enam bulan, mereka masih mempunyai kewajiban membayar pajak, sewa, dan menghidupi karyawan dengan gaji.
Dalam menghadapi kebijakan PSBB, terutama di Jakarta, anggota Hippindo sudah menginvestasikan sarana penunjang protokol kesehatan yang aman. Banyak pengamanan dilakukan oleh para peritel, mengingat mereka juga tidak ingin karyawannya terserang Covid-19 juga.
”Kalau peritel tidak mendapatkan omzet yang memadai, bagaimana mungkin mereka menyetorkan pajak?” jelas Budihardjo.
APBBI dan Hippindo mengusulkan sejumlah hal penting untuk pemerintah dalam kasus menurunkan jumlah positif Covid-19 di Jabodetabek, yakni operasi penegakan protokol kesehatan ketat tidak hanya di mal, restoran, dan kantor, tetapi juga di jalan-jalan, pelosok kota, dan pinggiran daerah.
Di pusat-pusat perbelanjaan sudah sangat ketat dan dijalankan oleh mal ataupun penyewa (tenant) setiap hari untuk menjaga kepercayaan pengunjung yang memang sangat hati-hati. Pemerintah diharapkan secara agresif mencari orang tanpa gejala (OTG) dan pasien positif Covid-19, mengisolasinya, serta memberikan bantuan pendapatan (income) selama isolasi jika mereka berasal dari kelas menengah bawah.
Penegakan protokol kesehatan ketat di tempat-tempat permukiman penduduk dan tempat umum ini bisa menyertai PSBB ketat regional di seluruh kawasan Jabodetabek selama 3-4 minggu hingga jumlah penderita positif Covid-19 turun. Jadi, setelah itu dilakukan, bisnis bisa buka kembali. (OSA)