Kluster Ketenagakerjaan Dibahas, Buruh Ancam Mogok Nasional
›
Kluster Ketenagakerjaan...
Iklan
Kluster Ketenagakerjaan Dibahas, Buruh Ancam Mogok Nasional
Pembahasan kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja yang dikebut tiga hari terakhir tak selaras dengan tuntutan buruh. Buruh menuntut kluster itu dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memicu penolakan buruh. Buruh meminta pembahasan dihentikan dan mengancam akan melakukan mogok nasional jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Pembahasan kluster ketenagakerjaan yang merupakan kluster terakhir dari 11 kluster di RUU Cipta Kerja dikebut sejak Jumat (25/9/2020) hingga Minggu. Pembahasan pada Sabtu dan Minggu pun dilakukan di luar Gedung DPR karena ada perbaikan teknis kelistrikan di kompleks parlemen di Senayan, Jakarta. Dalam dua hari terakhir ini terjadi pemadaman listrik di kompleks parlemen. Rapat pada Sabtu digelar di Hotel Sheraton Bandara, sedangkan rapat pada Minggu digelar di Swissbell Hotel BSD, keduanya berada di Tangerang, Banten.
Rapat yang digelar pada hari libur dan dilakukan di luar Gedung DPR membuat publik kesulitan mengakses rapat itu secara leluasa.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pembahasan pada Sabtu-Minggu dilakukan di luar Gedung DPR karena ada pemadaman listrik selama dua hari di Kompleks Parlemen. Pembahasan di luar Gedung DPR itu dibolehkan sepanjang mendapatkan izin dari pimpinan.
Ia pun menampik anggapan adanya target waktu tertentu dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. ”Tidak ada target waktu tertentu. Semua pembahasan itu bergantung pada fraksi-fraksi. Apakah mereka setuju ataukah tidak. Dalam pembahasan dua hari ini pun, kami belum masuk ke dalam susbstansi yang pokok, seperti upah dan pesangon, tetapi baru membahas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT),” kata Baidowi, saat dihubungi, Minggu (27/9/2020).
Terkait dengan penolakan buruh atas pembahasan kluster ketenagakerjaan, menurut Baidowi, itu sah-sah saja. Namun, ia menegaskan, DPR juga mendengarkan suara buruh dan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh.
”Kita terus berjuang, terutama agar pengaturannya tidak memberatkan buruh. Yang kita sepakati sementara ini tidak ada yang memberatkan buruh. Misalnya, soal sanksi pelanggaran atas persoalan perburuhan, itu dikembalikan pada UU eksisting. Selama saya memimpin rapat, yang dibahas lebih mengenai pengaturan yang bersifat fleksibel, misalnya terkait perjanjian kerja waktu tertentu,” ujarnya.
Pada Sabtu, DPR dan pemerintah menyepakati pengaturan mengenai PKWT diatur lebih detail di dalam peraturan pemerintah. Sebagai contoh, sebelumnya di dalam UU Ketenagakerjaan diatur pekerja yang terikat dalam PKWT harus diangkat menjadi pegawai ketika sudah bekerja selama tiga tahun. Artinya, ia tidak lagi menjadi pekerja kontrak. Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, pengaturan mengenai hal itu dikeluarkan dari UU dan hanya diatur di dalam PP.
”Yang penting kita benahi dulu yang ada. Yang bengkok-bengkok kita luruskan. Sikap akhir nanti bergantung pada fraksi-fraksi,” katanya.
Pembahasan RUU Cipta Kerja sejak Jumat memang dinamis. Awalnya ada tujuh fraksi yang menginginkan agar kluster ketenagakerjaan itu dipertimbangkan lagi secara mendalam atau kalau bisa dikeluarkan dari pembahasan. Tujuh fraksi itu ialah Nasdem, Demokrat, PDI-P, Gerindra, PAN, PPP, dan PKS.
Namun, pada pembahasan selanjutnya, Sabtu, hanya tersisa dua fraksi yang tetap meminta kluster itu dikeluarkan, yakni Nasdem dan Demokrat. Dua fraksi yang meminta kluster itu dikeluarkan juga tetap mengikuti pembahasan RUU Cipta Kerja.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, pihaknya tetap meminta agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja. Sebaiknya, materi dalam kluster itu dimasukkan dalam UU Ketenagakerjaaan. Oleh karena itu, ia mengusulkan revisi UU Ketenagakerjaan guna memasukkan kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja.
”Dalam keseluruhan DIM yang dibahas, fraksi kami ingin tetap kembali ke UU Ketenagakerjaan, kecuali ada hal-hal baru yang rasional. Kami tetap ingin ikut dalam pembahasan karena kalau kami keluar nanti tidak bisa mengawal pembahasan DIM. Pada prinsipnya, segala ketentuan mengenai ketenagakerjaan kami kembalikan kepada UU yang sudah ada,” katanya.
Buruh menolak
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya bersama KSPSI Andi Gani Nuwawea dan 32 federasi lainnya meminta kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.
Selain itu, serikat pekerja meminta tidak ada pasal-pasal di dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah atau dikurangi.
“Bila ada permasalahan perburuhan yang belum diatur dalam UU No 13/2003 seperti penguatan pengawasan perburuhan, peningkatan produktivitas melalui pelatihan dan pendidikan, pengaturan regulasi pekerja industri startup, pekerja paruh waktu, pekerja tenaga ahli, dan sebagainya dalam rangka meningkatkan investasi dan menghadapi revolusi industri 4.0, maka mari kita dialog untuk dimasukan dalam omnibus law. Tetapi, tidak boleh sedikit pun merubah apalagi mengurangi isi UU No 13 Tahun 2003,” katanya.
Said Iqbal mengatakan, kelompok buruh menolak sistem kejar tayang yang dipaksakan oleh pemerintah dan DPR. Jika dalam beberapa hari mendatang pembahasan RUU Cipta Kerja tidak mengakomodir kepentingan buruh, pihaknya akan menggelar aksi besar-besaran setiap hari di depan gedung DPR, dan menyiapkan mogok nasional.
Kelompok buruh pimpinan Said Iqbal merupakan bagian kelompok buruh yang membentuk tim teknis bersama dengan DPR dalam membahas RUU Cipta Kerja. Sebelumnya, buruh telah memberikan sejumlah masukan kepada anggota panitia kerja (panja) Baleg DPR yang membahas RUU Cipta Kerja. Masukan itu menjadi daftar inventarisasi maslah (DIM) sandingan DPR. Namun, melihat arah pembahasan RUU dua hari terakhir ini, kalangan buruh khawatir pembahasan RUU akan melenceng dari harapan mereka.
Adapun yang dikhawatirkan buruh dari RUU Cipta Kerja antara lain ialah penghilangan upah minimum kabupaten/kota (UMK), adanya upah padat karya, PHK dipermudah, hak upah atas cuti hilang, cuti haid hilang, karyawan kontrak atau alih daya seumur hidup, nilai pesangon dikurangi bahkan komponennya ada yang dihilangkan, jam kerja eksploitatif, tenega kerja asing (TKA) buruh kasar mudah masuk ke Indonesia, dan hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Pengajar hukum dan ilmu perundang-undangan Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, ada empat tahapan pembentukan peraturan yang diabaikan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Empat tahapan itu ialah inisiasi, negosiasi sosial-politik, penormaan, dan penyebarluasan.
“Pada inisiasi, pengusul mengajukan draf untuk dibahas dalam koridor negosiasi sosial-politik. Artinya, pada tahap kedua inilah suara-suara publik yang berbeda diwadahi dan dipertimbangkan. Masukan dan kritikan harusnya menjadi bahan bagi penyusunan norma. Norma yang terbentuk tidak lagi seperti norma yang diinisiasi, melainkan menyesuaikan dengan masukan sosial-politik yang berkembang. Setelah norma disepakati, barulah disebarluaskan,” katanya.
Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, suara-suara yang berbeda itu, menurut Bayu, cenderung kurang diwadahi, karena mekanisme pembahasannya yang cenderung condong pada kepentingan kelompok tertentu.
”Pembentukan legislasi kita dalam setahun terakhir tidak memberikan ruang pada perbedaan itu sehingga ketika inisiasinya adalah A, maka penormaannya cenderung sama dengan A. Tidak terjadi ruang dialog dalam wadah sosial-politik. Berbagai kepentingan tidak bertemu, melainkan memaksakan satu kepentingan tertentu,” katanya.
Akibat dari mekanisme pembentukan RUU semacam itu, lanjut Bayu, muncul kecurigaan publik tentang adanya agenda-agenda tertentu untuk mengesahkan suatu legislasi. Kedua, rancangan legislasi itu akan mendapatkan tentangan dari publik karena tidak berhasil menjadi titik temu dari berbagai kepentingan. Kelompok buruh, misalnya, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja mendesak agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari draf RUU tersebut.