Sejarah merupakan instrumen fundamental dalam pembangunan karakter bangsa. Karena itu, kedudukan mata pelajaran sejarah di sekolah harus diperkuat sebagai mata pelajaran wajib dan kualitas kontennya ditingkatkan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah merupakan fondasi untuk membangun keindonesiaan. Karena itu, sejalan pula dengan kebijakan merdeka belajar yang bertujuan mewujudkan profil pelajar Pancasila, mata pelajaran sejarah harus diperkuat dalam struktur kurikulum pendidikan.
Sejarah tidak hanya didudukkan sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan, tetapi juga kualitas kontennya harus ditingkatkan. Konten pelajaran sejarah yang selama ini sarat dengan muatan politik harus direvisi dan disesuaikan per jenjang pendidikan.
Apalagi, pengetahuan sejarah merupakan pengetahuan yang dinamis. Candi Borobudur tetap akan menjadi Candi Borobudur, tidak akan berubah. Fokus pelajaran sejarah bukan pada fakta sejarah tersebut, melainkan bagaimana mendalami maknanya.
”Untuk jenjang SD, kenalkan yang sifatnya sosial dan struktural. Untuk SMP baru yang lebih textbook. Sementara untuk SMA/SMK, penekanannya pada historiografi, bukan lagi pada narasi. Dan, setiap siswa wajib mempelajari sejarah,” kata Andi Achdian dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dalam webinar bertema ”Posisi dan Urgensi Mata Pelajaran Sejarah dalam Bangunan Keindonesiaan” yang diselenggarakan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Minggu (27/9/2020).
Kontroversi rencana perubahan kurikulum yang tengah digodok Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi pengingat akan pentingnya pelajaran sejarah bagi semua siswa di semua tingkatan.
Kontroversi rencana perubahan kurikulum yang tengah digodok Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi pengingat akan pentingnya pelajaran sejarah bagi semua siswa di semua tingkatan. Jangan sampai revisi Kurikulum 2013 pada 2014, 2016, dan 2018 yang mengurangi porsi mata pelajaran sejarah di SMK dari semula mata pelajaran wajib di semua kelas menjadi hanya di kelas X terulang kembali.
Meskipun draf sosialisasi penyederhanaan kurikulum yang beredar belakangan masih pembahasan awal dan menurut Kemendikbud ada sejumlah alternatif lain, dokumen itu menunjukkan ada satu pemikiran untuk mengubah posisi dan porsi mata pelajaran sejarah di SMA/SMK. Hal ini, menurut Ketua Umum Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah Se-Indonesia (P3SI) Abdul Syukur, merupakan gambaran keinginan untuk membangun keindonesiaan tanpa pelajaran sejarah.
”Kami heran, kalau ingin membangun keindonesiaan, mengapa mata pelajaran sejarah dikurangi. Semoga pemerintah menyadari untuk memperkuat pelajaran sejarah tidak hanya di SMA/SMK, kalau perlu juga di SMP dan SD,” kata Abdul Syukur.
Jika Kemendikbud kesulitan menyusun naskah akademik kurikulum mata pelajaran sejarah, P3SI, MSI, AGSI, dan Perkumpulan Prodi Sejarah Seluruh Indonesia (PPSI) siap menyusun naskah akademik mata pelajaran sejarah. ”Kalau ada yang kurang (dari konten pelajaran sejarah), mari kita bicarakan,” kata Ketua PPSI Raden Mulyadi.
Presiden AGSI Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan, pelibatan akademisi, praktisi, dan organisasi profesi penting dalam setiap kajian dan pengambilan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan bidang kesejarahan. Gotong royong diperlukan untuk menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran yang berbasis pada pendekatan multidimensional dengan berorientasi pada keterampilan berpikir dan kesadaran sejarah.
Kebijakan merdeka belajar
Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nunuk Suryani yang hadir dalam webinar mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud masih mengkaji berbagai alternatif penyederhanaan kurikulum. Draf yang beredar masih berupa kajian dan ada beberapa alternatif kajian.
Perubahan serta perbaikan kurikulum, pedagogi, dan asesmen, kata Nunuk, merupakan satu dari sejumlah langkah yang dilakukan Kemendikbud terkait kebijakan merdeka belajar. Langkah-langkah lain seperti infrastruktur dan teknologi pendidikan, peningkatan kualitas tenaga pendidikan, serta perbaikan kepemimpinan pendidikan yang dimulai dari tingkat terkecil di kelas melalui program guru penggerak.
”Inti sari seluruh perbaikan kurikulum, pedagogi, kebijakan karena Kemendikbud ingin bahwa lulusan nanti adalah pelajar Pancasila. Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila pasti mengacu pada sejarah,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Yogi Anggraena dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemendikbud mengatakan, proses perubahan kurikulum yang dimulai pada Februari 2020 saat ini masih dalam tahap pembahasan di tingkat internal Kemendikbud. Draf yang beredar belakang itu pun masih dalam tahap sosialisasi internal di Kemendikbud.
”Diskusi ini menjadi masukan berharga, menguatkan bahwa mata pelajaran sejarah menjadi mata pelajaran wajib. Nanti akan kami perjuangkan di struktur kurikulum,” kata Yogi. Perihal penerapan prototyping kurikulum nanti pun, katanya, akan didiskusikan agar struktur kurikulum draf yang beredar belakangan tidak diterapkan di sekolah penggerak.
Secara terpisah, ketika dihubungi Kompas, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemendikbud Maman Fathurrahman mengatakan, implementasi prototyping kurikulum melalui sekolah penggerak paling mungkin dilakukan pada tahun ajaran 2021/2022. Ini untuk melihat apakah perubahan kurikulum tersebut dapat diimplementasikan dengan baik atau tidak serta melihat respons dan menerima saran/perbaikan.