Permasalahan pupuk bersubsidi di tingkat petani cukup kompleks. Masalah tidak hanya disebabkan ketersediaan stok, tetapi juga sistem distribusi, termasuk mekanisme pembelian oleh petani.
Oleh
IQBAL BASYARI/RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
MADIUN, KOMPAS — Permasalahan pupuk bersubsidi di tingkat petani cukup rumit. Masalah tidak hanya disebabkan ketersediaan stok, tetapi juga sistem distribusi, termasuk mekanisme pembelian oleh petani.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Madiun Suharno mengatakan, permasalahan pupuk bersubsidi tidak hanya terkait stok. Permasalahan riil sangat kompleks karena menyangkut juga sistem distribusi. Mekanisme pembelian pupuk bersubsidi oleh petani terus berubah, bahkan dalam hitungan hari.
Awal September lalu, pemerintah pusat mewajibkan pembelian pupuk bersubsidi menggunakan kartu tani. Di Madiun, mayoritas petani sudah memiliki kartu tani pada 2017. Namun, karena tidak pernah dipakai, banyak yang rusak. Kalaupun ada petani yang masih menyimpan kartu taninya dengan baik, mereka tetap tidak bisa menggunakannya karena mesin EDC di kios pupuk banyak yang telah ditarik.
”Mesin EDC itu diambil lagi karena tidak pernah ada transaksi. Petani bebas membeli pupuk tanpa kartu tani. Ketika kebijakan kartu tani ini diaktifkan lagi, infrastrukturnya sudah tidak ada,” ujar Suharno di Madiun, Senin (28/9/2020).
Permasalahan kedua terkait dengan pasokan atau stok pupuk bersubsidi di lini pemasaran paling bawah, yakni kios pupuk. Stok pupuk bersubsidi mulai berkurang, bahkan sulit diperoleh sejak sebulan belakangan atau seiring dimulainya musim tanam kemarau (MK) II. Salah satu penyebabnya karena permintaan tinggi.
Mesin EDC itu diambil lagi karena tidak pernah ada transaksi. Petani bebas membeli pupuk tanpa kartu tani. Ketika kebijakan kartu tani ini diaktifkan lagi, infrastrukturnya sudah tidak ada. (Suharno)
Adapun penyebab lain, alokasi atau kuota pupuk bersubsidi yang diduga mulai menipis, bahkan habis di daerah sentra pertanian seperti Kabupaten Madiun. Menipisnya kuota pupuk bersubsidi ini karena serapan yang tinggi. Selain itu, pada dasarnya alokasi pupuk yang disiapkan pemerintah tidak sesuai kebutuhan riil petani.
Hal itu terjadi karena mayoritas petani masih menggunakan pupuk kimia secara berlebih untuk memaksimalkan produktivitas padi. Contohnya, kebutuhan pupuk urea petani rata-rata masih di atas 600 kilogram per hektar, padahal idealnya 450 kg. Pemerintah hanya mengalokasikan 450 kg sehingga terjadi kekurangan stok di lapangan.
Petani sebenarnya tidak mempermasalahkan kekurangan 150 kg pupuk urea karena mereka bisa memenuhinya dengan membeli pupuk nonsubsidi. Namun, belakangan ini pasokan pupuk nonsubsidi juga tidak sesuai harapan. Di banyak kios pupuk, stok pupuk nonsubsidi juga kosong.
Ketidaklancaran stok pupuk nonsubsidi itu memicu kenaikan harga yang tinggi. Pada kondisi seperti beban petani menjadi ganda karena mereka harus tetap membeli pupuk yang harganya tinggi itu agar tanamannya tidak gagal panen, pemerintah daerah dan pemerintah pusat seharusnya hadir di tengah para petani.
Menurut Suharno, Pemerintah Provinsi Jatim harus segera mengevaluasi stok pupuk di setiap kabupaten/kota. Daerah yang serapan pupuknya rendah, atau stoknya masih banyak, bisa direalokasikan ke sentra produksi pertanian yang kekurangan stok.
”Upaya itu akan efektif mengatasi kelangkaan pasokan sekaligus menurunkan harga pupuk yang tinggi di pasaran,” kata Suharno.
Pada saat yang sama, pemerintah harus membenahi mekanisme pembelian pupuk di tingkat petani dengan mengevaluasi kondisi infrastruktur yang ada saat ini. Jangan asal mengeluarkan kebijakan tanpa melihat kondisi riil. Apalagi situasi pandemi Covid-19 juga berdampak pada sektor pertanian.
Menyalurkan tambahan
Sekretaris Perusahaan PT Petrokimia Gresik Yusuf Wibisono mengatakan, Petrokimia Gresik sebagai salah satu penyalur pupuk bersubsidi siap menyalurkan tambahan pupuk bersubsidi jika provinsi ataupun kabupaten/kota mengajukan realokasi kuota. Namun, realokasi harus diputuskan melalui peraturan gubernur di tingkat provinsi dan surat keputusan dinas pertanian di tingkat kabupaten.
”Jika seandainya alokasi pupuk bersubsidi habis, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, dinas pertanian setempat biasanya akan melakukan realokasi. Petrokimia Gresik kemudian akan menyalurkan sesuai dengan realokasi tersebut dengan prinsip enam tepat, yaitu tepat waktu, tepat jumlah, tepat tempat, tepat jenis, tepat mutu, dan tepat harga,” katanya.
Dia mengatakan, Petrokimia Gresik siap menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai penugasan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2020. Peraturan ini kemudian diturunkan melalui peraturan gubernur di tingkat provinsi dan surat keputusan dinas pertanian di tingkat kabupaten.
Dalam Permentan Nomor 10 Tahun 2020, alokasi pupuk bersubsidi nasional sebesar 7,9 juta ton. Dari jumlah tersebut, Petrokimia Gresik mendapat penugasan penyaluran sebesar 4,7 juta ton atau sekitar 59,61 persen dari alokasi nasional.
Pupuk tersebut disalurkan secara berkala sejak awal tahun. Adapun penyaluran hingga September mencapai 3,8 juta ton atau sekitar 72 persen dari total penugasan penyaluran pupuk bersubsidi dari Petrokimia Gresik.
”Penyaluran di Jatim yang kuotanya sebanyak 2 juta ton sudah dilaksanakan hingga 1,3 juta ton atau 64 persen dari alokasi yang ada. Kami terus memaksimalkan penyaluran untuk mendukung petani, terutama saat menghadapi musim tanam ketika pandemi Covid-19,” kata Yusuf.
Adapun stok pupuk bersubsidi milik Petrokimia Gresik hingga saat ini sebanyak 657.722 ton. Rinciannya pupuk Urea 85.689 ton, ZA 79.077 ton, SP-36 122.079 ton, Phonska 291.111 ton, dan Petroganik 79.766 ton. Dari total stok tersebut, alokasi untuk Provinsi Jatim sebanyak 272.364 ton, terdiri dari Urea 85.689 ton, ZA 28.410 ton, SP-36 25.125 ton, Phonska 90.560 ton, dan Petroganik 42.580 ton.