Mungkin sudah menjadi ”suratan tangan” tak ada petani yang bercita-cita agar anaknya jadi petani. Seseorang menjadi petani umumnya karena tak ada pilihan lain.
Oleh
Sapuan Gafar
·4 menit baca
Seorang kawan yang menerima warisan sawah beririgasi teknis di daerah Purwodadi, Pasuruan, mengeluh sambil setengah marah tentang keadaan pertanian dan petani yang terjadi sekarang.
Katanya, punya tanah sawah malah jadi beban. Apabila sawah dikerjakan sendiri, sulit mencari tenaga kerja mandiri. Yang ada, kelompok buruh tani dari luar yang meminta cara borongan, mulai dari mengolah tanah, tanam, menyiang, sampai memanen. Disewakan ”sistem paro” sering terserang hama dan penyakit, akhirnya menjadi rugi. Apabila sawah dibuat ”bera”, tetap harus bayar PBB.
Masalah seperti di atas umumnya terjadi di daerah yang mengalami perubahan dari zona pertanian ke zona industri, seperti Kabupaten Pasuruan, atau daerah pinggiran yang menjadi kota besar, seperti Malang. Akhirnya pertanian dan petani jadi terpinggirkan.
Akhirnya pertanian dan petani jadi terpinggirkan.
Pertanian dan petani terpinggirkan karena dihadapkan pada keadaan yang membuat mereka termarjinalkan. Petani yang memiliki tanah relatif luas juga menghadapi kendala untuk memproduktifkan tanah sawahnya karena sulitnya mencari tenaga kerja. Kesulitan tenaga kerja pertanian terjadi di mana-mana. Tenaga kerja di perdesaan lebih menyukai bekerja di pabrik, ngojek, atau menjadi TKI di luar negeri.
Tenaga kerja yang tersisa adalah tenaga kerja usia tua. Ini diperparah lagi dengan tak adanya anak dan cucu yang tertarik bekerja di sektor pertanian. Selain itu, upah tenaga kerja di pertanian juga dirasakan mahal.
Banyak petani mengatakan lebih enak menjadi buruh tani yang upahnya 8-10 kilogram beras sehari ketimbang petaninya sendiri yang harus menunggu 3-4 bulan dan belum tentu hasilnya. Tahun 1960-an, upah tenaga kerja pertanian hanya 1,5-2 kilogram beras sehari.
Tidak ada yang mengurus
Di era Soeharto, mulai dari gubernur, bupati, camat, hingga kepala desa, semua menaruh perhatian serius pada pertanian. Bahkan, para kepala daerah berusaha mempelajari seluk-beluk pertanian karena presidennya bisa jadi penyuluh pertanian yang andal.
Kini tak banyak kepala daerah yang menaruh perhatian pada pertanian di daerahnya. Tak terlihat kegiatan penyuluh pertanian. Di sejumlah tempat, kepala desa dan camat justru lebih tertarik mengurus pembebasan tanah untuk pembangunan pabrik dan perumahan.
Agar pertanian dan petani tak terpinggirkan, pertama, kita harus mengubah tradisi berpikir kita. Pertanian dan petani harus jadi prioritas utama agar tak menjadi institusi yang terpinggirkan.
Perubahan pola pikir ini menyangkut suprastruktur berupa undang-undang yang pro-pertanian dan petani. Struktur atau kelembagaan yang menjamin kelangsungan pertanian dan melindungi petani. Selanjutnya penyediaan infrastruktur untuk mengembangkan pertanian.
Kedua, memilih calon pemimpin di pusat dan daerah yang punya platform yang dapat menerjemahkan pesan Pembukaan UUD 1945, khususnya menjabarkan pesan ”untuk memajukan kesejahteraan umum” serta Pasal 33 dan 34, khususnya yang dapat menjabarkan demokrasi ekonomi yang mengamanatkan kemakmuran bagi semua orang.
Pertanian dan petani harus jadi prioritas utama agar tak menjadi institusi yang terpinggirkan.
Kita dapat belajar dari kesuksesan negara lain yang segera bisa keluar dari kemelut ekonomi karena dapat memilih pemimpin yang tepat, punya platform jelas, serta tahu cara memperjuangkan dan bisa melaksanakannya dengan baik.
Ketiga, menjadikan petani profesi menarik. Mungkin sudah menjadi ”suratan tangan” tak ada petani yang bercita-cita agar anaknya jadi petani. Seseorang menjadi petani umumnya karena tak ada pilihan lain. Diharapkan para kepala daerah dapat menemukan pola pembangunan pertanian dengan pemilikan lahan kecil tetapi dapat menyejahterakan petani.
Keempat, mencegah adanya kebijakan dan kegiatan yang memiskinkan pertanian. Kehadiran perbankan di perdesaan umumnya menyerap dana lebih banyak dibanding penyalurannya sehingga ini dapat memiskinkan pertanian dan perdesaan kita. Apakah keadaan ini tak bisa dibalik, yakni adanya perbankan di perdesaan lebih banyak menyalurkan dananya.
Memanusiakan petani
Kelima, perlu gerakan perubahan paradigma tentang putting the farmer first (meletakkan kepentingan petani yang pertama dan utama). Pemerintah harus menjadikan tugasnya untuk nguwongke (menghargai), ngayemi (memberikan rasa tenteram), ngayomi (melindungi), dan ngayani (membuat kaya) petani. Pemerintah harus menghargai petani sebagai orang penting yang bermartabat mulia, memberikan/menjamin ketenteraman, melindungi, dan menyejahterakan dengan berbagai tindakan nyata.
Keenam, untuk bisa menjalankan saran di atas perlu didukung program peningkatan produktivitas lahan. Untuk itu, perlu dukungan pembiayaan yang jelas dan berkesinambungan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perlu dukungan penelitian untuk mendapatkan benih tanaman yang produktivitasnya tinggi, tetapi disukai konsumen dan dukungan peralatan mekanisasi pertanian untuk mengatasi kesulitan tenaga kerja. Selain itu, penyediaan benih, pupuk, dan obat-obatan yang terjangkau serta mudah didapat di pasar. Penyuluh pertanian yang ada diaktifkan, dan jika perlu menggunakan tenaga dari sekolah pertanian yang sudah mumpuni.
Penyuluh pertanian yang ada diaktifkan, dan jika perlu menggunakan tenaga dari sekolah pertanian yang sudah mumpuni.
Presiden Joko Widodo mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, kita perlu tindakan extraordinary di segala bidang. Apabila di sektor pertanian masih kekurangan pupuk (Kompas, 2/9/2020), kesulitan tenaga kerja atau modal usaha, pemberantasan hama dan penyakit, pemasaran hasil, dan sebagainya, pembantu Presiden perlu melakukan terobosan, termasuk para gubernur, bupati, camat, dan kepala desa.
Sapuan Gafar,Petugas Bimas (Mahasiswa) 1967 di Banjarnegara, Sekretaris Menteri Negara Pangan 1993-1999.