Pertegas Peran Swasta dalam Penyelenggaraan Pendidikan
›
Pertegas Peran Swasta dalam...
Iklan
Pertegas Peran Swasta dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Setelah kluster pendidikan dicabut dari RUU Cipta Kerja, ketegasan regulasi penyelenggaraan pendidikan oleh swasta dinanti. Peraturan apa pun yang kelak dibuat tidak melanggar cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masuknya investasi swasta ke pengelolaan pendidikan adalah keniscayaan. Meski demikian, pemerintah harus memiliki ketegasan kebijakan sehingga hak atas pendidikan tetap dapat dinikmati semua warga.
”Pada era sekarang, Indonesia tidak mungkin menutup diri dari kerja sama dengan asing sekalipun. Pemerintah perlu membuat regulasi yang tidak merugikan sebagai bangsa,” ujar pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Darmaningtyas, Senin (28/9/2020), di Jakarta.
Sejak 1990-an telah berkembang investasi ke pengelolaan pendidikan. Tidak ada permasalahan muncul sebab satuan pendidikan yang mereka dirikan memiliki segmen pasar tersendiri.
Jauh sebelum itu, pra dan pasca kemerdekaan RI telah berkembang sekolah dikelola swasta, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan yayasan di bawah agama tertentu. Mereka membantu negara menyelenggarakan pendidikan sebelum pemerintah punya anggaran.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya disebut pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat. Masyarakat dalam UU ini dimaknai sebagai sekolah swasta.
”Kecenderungan yang ada saat ini adalah pemerintah terlalu menyamaratakan keberadaan sekolah swasta sebagai pencari bisnis. Padahal, hanya sejumlah satuan pendidikan swasta tertentu (yang) berorientasi ke profit,” katanya.
Menurut Darmaningtyas, salah satu alasan penolakan kluster pendidikan diikutsertakan dalam Rancangan UU Cipta Kerja adalah pemerintah meniadakan persyaratan satuan pendidikan asing masuk ke Indonesia, misalnya peniadaan syarat akreditasi dan wajib kerja sama dengan lembaga pendidikan lokal.
Perlu kerja sama
Direktur Pendidikan Vox Point Indonesia Indra Charismiadji saat dihubungi secara terpisah di Jakarta memandang, alokasi dana pendidikan yang diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara tidak cukup membiayai kebutuhan seluruh penyelenggaraan pendidikan. Model kerja sama pemerintah dan swasta mau tidak mau harus diambil.
Dilihat dengan kacamata investasi, penanaman modal apa pun akan selalu mencari profit dan itu tidak seutuhnya salah. Hanya saja, pemerintah harus tetap melindungi kepentingan bangsa. (Indra Charismiadji)
”Dilihat dengan kacamata investasi, penanaman modal apa pun akan selalu mencari profit dan itu tidak seutuhnya salah. Hanya saja, pemerintah harus tetap melindungi kepentingan bangsa,” ujarnya.
Menurut Indra, regulasi penyelenggaraan pendidikan perlu tegas dibedakan antara sekolah negeri dan swasta. Untuk sekolah yang dikelola masyarakat atau swasta khususnya, dia memandang harus dibuat parak (beda). Sebagai gambaran, saat ini terdapat sejumlah sekolah yang dikelola swasta dengan prinsip nirlaba penuh. Sekolah-sekolah seperti ini biasanya dikelola oleh ormas agama tertentu.
Dia berpendapat, untuk sekolah seperti itu, pemerintah bisa membantu pembiayaan utuh, tetapi pengelolaannya diserahkan ke ormas bersangkutan. Dengan demikian, orangtua siswa tidak membayar biaya apa pun ke sekolah.
Sementara model lainnya, seperti satuan pendidikan kerja sama asing, pengelolaannya diserahkan kepada organisasi bersangkutan. Indra memandang, hal itu termasuk urusan komersialisasi, pelaksanaan kurikulum, dan ujian. Segmen pengguna satuan pendidikan model itu umumnya adalah orangtua siswa berkewarganegaraan asing.
”Sejauh ini, regulasi yang mengatur model-model satuan pendidikan tersebut cenderung masih campur aduk,” katanya.
Ketua Perkumpulan Sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) Indonesia Haifa Segeir mencontohkan, di satu sisi, SPK tunduk pada Peraturan Mendikbud Nomor 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia. Di sisi lain, SPK harus memenuhi kewajiban dari regulasi lain, seperti UU No 20/2003 dan Peraturan Pemerintah No 32/2013 tentang Standar Pendidikan Nasional. SPK umumnya mengakomodasi siswa yang akan melanjutkan jenjang pendidikan tinggi di luar negeri.
Haifa menyampaikan perlu ada ketegasan regulasi dari pemerintah. Hingga sekarang, ada beberapa sekolah swasta dikelola lembaga nasional, tetapi mematok sumbangan pembinaan pendidikan setara dengan SPK.
”Investor yang mau masuk ke penyelenggaraan pendidikan sudah ada. Ada unsur pendidikan butuh investasi dari swasta atau asing, seperti riset dan pengembangan. Ada pula ’pakem-pakem’ penyelenggaraan pendidikan tidak boleh dieksploitasi untuk tujuan komersial dan itu harus jelas,” ujarnya saat menghadiri diskusi ”Arah Kebijakan Pendidikan Nasional Pasca Kluster Pendidikan Keluar dari RUU Cipta Kerja”, Minggu (27/9/2020), di Jakarta.
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik Vinsensius Darmin Mbula, OFM, mengatakan telah ada pergeseran pandangan masyarakat terkait penyelenggaraan pendidikan. Sebagai gambaran, pada 1970, orang akan memuji hebat ketika ada orang lain berhasil masuk salah satu perguruan tinggi negeri. Saat ini seseorang akan segera bertanya besaran biaya yang harus dikeluarkan.
Berangkat dari fenomena itu, dia memandang, penyelenggaraan pendidikan nasional sekarang tidak jelas peruntukannya, yakni menyiapkan sumber daya manusia unggul atau gali profit.
”Saat kluster pendidikan dikeluarkan dari RUU Cipta kerja, saya rasa penyelenggaraan pendidikan perlu dikembalikan ke akarnya, yaitu kebudayaan. Hal ini memang akan menimbulkan pro kontra saat pembahasan kerangka konseptual,” katanya.
Anggota Komisi X DPR sekaligus bagian dari Panja RUU Cipta Kerja, Ferdiansyah, menyampaikan, setelah pencabutan kluster pendidikan, pekerjaan rumah pemerintah kemudian adalah mempersiapkan revisi UU No 20/2003 dan membahas cetak biru pendidikan nasional. Secara khusus, revisi UU No 20/2003 ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional saat rapat bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2020.
Adapun cetak biru pendidikan terdiri atas dua isu mendesak. Isu pertama, penyelenggaraan pendidikan yang mengakar kebudayaan nasional. Isu kedua, penyelenggaraan pendidikan untuk mendukung perkembangan kebutuhan kompetensi.