Revisi UU KPK dan Kekecewaan terhadap Pemberantasan Korupsi
Masyarakat sipil semakin pesimistis akan kerja penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinilai kian melemah setelah revisi Undang-Undang KPK disahkan setahun lalu. KPK dinilai telah kehilangan independensinya.
Sudah setahun berlalu revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi disahkan oleh DPR dan pemerintah. Revisi yang dilakuan tanpa mendengar aspirasi publik tersebut menimbulkan banyak kekecewaan karena KPK semakin tak bertaji. Gerakan antikorupsi baru perlu digagas bersama-sama untuk menghadang pihak-pihak yang ingin melumpuhkan KPK.
Dari catatan Kompas, DPR dan pemerintah merampungkan pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam waktu dua pekan. Total, hanya lima kali rapat yang diketahui publik.
Ironisnya, dalam proses revisi tersebut, pimpinan KPK saat itu tidak pernah dilibatkan secara penuh. ”Kami hanya sekali mendapatkan surat untuk mewakili KPK, setelah itu tidak ada lagi surat yang diterima,” ujar Wakil Ketua KPK 2015-2019 Laode M Syarif.
Bagi Laode, tidak dilibatkannya KPK dalam revisi aneh. Sebab, KPK yang bertugas melaksanakan UU tersebut. KPK sempat mengirim surat kepada DPR agar tidak mengesahkan undang-undang tersebut sampai diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan. Namun, KPK tidak diberikan kesempatan.
Baca juga: Satu Tahun Pascarevisi UU, KPK Melemah
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang dipublikasikan pada Agustus lalu, pembentukan UU No 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang KPK mengalami cacat formil di tiga tahapan. Ketiganya ada pada perencanaan, penyusunan, dan pembahasan.
Pada tahap perencanaan, perubahan kedua UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menggunakan naskah akademik fiktif. Pada tahap penyusunan, terdapat pelanggaran terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Pada tahap pembahasan tingkat I, revisi UU KPK berjalan cepat dan penuh kejanggalan, serta tidak partisipatif.
Adapun pada tahap pembahasan tingkat I berjalan cepat dan penuh kejanggalan, serta tidak partisipatif. Pada pembicaraan tingkat II, sidang paripurna DPR tidak kuorum saat pengambilan keputusan dan paripurna mengabaikan pernyataan persetujuan serta penolakan dari fraksi-fraksi.
Akibat buruknya proses revisi tersebut, materi perubahan kedua UU KPK justru menjurus pada pelemahan KPK secara kelembagaan. Revisi UU KPK justru meruntuhkan independensi lembaga yang selama ini menjadi kekuatan KPK. Sebab, KPK dimasukkan ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Pengangkatan Dewan Pengawas oleh presiden membuat campur tangan presiden dalam kelembagaan KPK terlalu besar. Dewas memiliki kewenangan pro justitia yang selama ini tidak ada pada lembaga negara independen.
KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan lagi di daerah, hilangnya hak kaum muda untuk menjadi pimpinan KPK, dan KPK bisa mengentikan penyidikan serta penuntutan jika suatu perkara tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Pimpinan KPK tidak lagi berstatus penyidik dan penuntut, pegawai KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN), hilangnya independensi KPK dalam merekrut penyidik.
Pimpinan KPK tidak lagi berstatus penyidik dan penuntut, pegawai KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN), hilangnya independensi KPK dalam merekrut penyidik, terganggunya independensi KPK dalam melakukan penyadapan karena harus memperoleh izin dari Dewas, dan hilangnya independensi KPK dalam melakukan penuntutan karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Baca juga: Independensi KPK Dipertanyakan
Terkait dengan kehadiran Dewas di KPK, Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean menegaskan, Kamis (24/9/2020), Dewas memiliki komitmen mendukung pemberantasan korupsi sepenuhnya dan tidak menghambat apa yang dilakukan pimpinan KPK dalam penanganan perkara.
”Masalah penyelidikan seperti pemberian izin penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan memang termasuk di dalam ranah pro justitia. Namun, Dewas tidak mencampuri dan mengintervensi di dalam penanganan perkara. Penyidik mau menahan, menangkap, menyita, menggeledah, silakan. Namun, untuk penyitaan, penggeledahan, penyadapan diperlukan izin terlebih dahulu,” ujar Tumpak.
Ia mengungkapkan, jika dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengadilan yang memberikan izin tersebut. Adapun di KPK, Dewas yang memberikan izin agar lebih cepat. Ia menegaskan, tidak ada izin yang diberikan Dewas lewat dari tenggang waktu yang diatur dalam undang-undang, yakni 1 kali 24 jam.
Menurut Tumpak, sebelum ada Dewas tidak dibutuhkan izin. Namun, hal tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membenarkan, sejauh ini izin yang diajukan ke Dewas tidak ada yang ditolak. Keberadaan Dewas untuk memastikan bahwa aturan-aturan yang ada diikuti. Selain itu, orang yang menjadi tersangka juga diperhatikan haknya.
Alex menegaskan, selama ia menjadi pimpinan KPK di masa sebelum dan sesudah revisi UU KPK, ia tidak merasakan ada perubahan kewenangan serta tugas KPK dalam memberantas korupsi. Menurut Alex, KPK tidak dilemahkan karena ia tetap bekerja seperti biasa seperti sebelum UU KPK direvisi.
Minim penindakan
Revisi UU KPK juga merubah prioritas tugas KPK. Pada UU No 30/2002 Pasal 6, pemberantasan korupsi berada pada urutan pertama dan pencegahan ada pada urutan keempat. Sementara pada UU No 19/2019, tindakan pencegahan menjadi urutan pertama.
KPK tidak dilemahkan karena ia tetap bekerja seperti biasa seperti sebelum UU KPK direvisi.
Menempatkan pencegahan menjadi prioritas turut berpengaruh pada minimnya penindakan yang dilakukan KPK. Selama semester pertama, KPK hanya mampu melakukan dua operasi tangkap tangan (OTT). Jumlah tersebut jauh di bawah tahun sebelumnya, yakni 2016 ada 8 OTT, 2017 (5), 2018 (13), dan 2019 (7).
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menegaskan, indikator keberhasilan pemberantasan korupsi bukan sekadar dari jumlah koruptor yang berhasil ditangkap. Namun, keberhasilan pemberantasan korupsi dilihat dari jumlah keuangan negara yang efektif dan efisien memenuhi rencana pembangunan nasional.
Alex menambahkan, pencegahan menjadi prioritas kerja KPK, tetapi tidak menghilangkan penindakan karena masih diatur di Pasal 6 Huruf e UU Nomor 19 Tahun 2019. Dalam pasal itu disebutkan, KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Prioritas tersebut sejalan dengan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang dimiliki pemerintah.
Meskipun menjadi prioritas, Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai, kerja KPK dalam pencegahan selama ini sporadis dan kasuistik. ”Kita tidak tahu sektor mana yang menjadi prioritas dan belum ada arah kebijakan strategis yang terlihat,” tutur Oce (Kompas, 19/8/2020).
Kerja KPK dalam pencegahan selama ini sporadis dan kasuistik.
Kontroversi
Ketika kerja KPK masih minim, justru beberapa kontroversi yang muncul. Penggunaan helikopter mewah untuk keperluan pribadi yang dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri pada Juni 2020 cukup menyita perhatian publik.
Firli telah diputus bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku KPK oleh Dewas. Ia dinyatakan terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) Huruf f Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Baca juga: Firli Bahuri Melanggar Kode Etik
Firli diberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis II yang memiliki masa berlaku hukuman 6 bulan. Selama 6 bulan itu, Firli tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan tugas belajar atau pelatihan.
Hukuman ini dipertanyakan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. Menurut Kurnia, seharusnya Firli dijatuhi sanksi berat. Sebab, sanksi ringan itu bisa menjadi preseden bagi pegawai atau unsur pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.
Sanksi ringan itu bisa menjadi preseden bagi pegawai atau unsur pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.
Apalagi, sebelum kasus tersebut, Firli diduga juga telah melanggar kode etik. Diantaranya, terkait pengembalian paksa penyidik KPK, Komisaris Rossa Purbo Bekti, ke instansi Polri dan abai melindungi pegawai yang sedang mencari Harun Masiku, buron KPK dalam kasus suap untuk bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan.
Pascarevisi UU KPK, situasi politik dan hukum di Indonesia telah mengubah KPK. Hal tersebut membuat Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Febri Diansyah memilih mundur dari KPK.
Mantan juru bicara KPK tersebut telah menyampaikan surat pengunduran dirinya pada 18 September 2020. Ia berharap, proses pemberhentian dirinya sudah tuntas pada 18 Oktober 2020.
”Kondisi KPK memang sudah berubah. Kita tahu bulan September 2020 ini kurang lebih satu tahun setelah revisi UU KPK disahkan di DPR. Kami tidak langsung meninggalkan KPK pada saat itu. Kami bertahan di dalam dan berupaya untuk bisa berbuat sesuatu agar bisa tetap berkontribusi untuk pemberantasan korupsi,” ujar Febri.
Akan tetapi, Febri merasa ruang baginya untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi akan lebih signifikan kalau berada di luar KPK. Ia berjanji tetap memperjuangkan dan ikut dalam advokasi pemberantasan korupsi.
Keluarnya Febri pun disayangkan oleh penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Menurut Novel, Febri telah bekerja dengan baik dan berdedikasi. Keluarnya Febri tak lepas dari pengaruh kesungguhan pemerintah dan KPK dalam pemberantasan korupsi.
”Apabila pemerintah tidak mendukung dan KPK tidak tampak sungguh-sungguh berantas korupsi, orang-orang yang memilih jalan untuk berjuang dalam rangka memberantas korupsi akan meninggalkan gelanggang yang tidak ada harapan,” tutur Novel.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra pun menunjukkan rasa pesimistisnya terhadap KPK dalam kegiatan Malam Sarasehan Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK bertajuk ”Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi”. Kegiatan ini diselenggarakan Pukat UGM pada Selasa (22/9) lalu.
Menurut Azyumardi, permasalahan yang ada di KPK saat ini terjadi karena revisi UU KPK. Situasi tersebut terjadi karena pimpinan negara ini tidak memiliki kemauan politik untuk memberantas korupsi. Bahkan, mereka bersekongkol untuk merevisi UU KPK. Ia menilai, situasi ini tidak akan ada perubahan sampai 2024.
Permasalahan yang ada di KPK saat ini terjadi karena revisi UU KPK. Situasi tersebut terjadi karena pimpinan negara ini tidak memiliki kemauan politik untuk memberantas korupsi. Bahkan, mereka bersekongkol untuk merevisi UU KPK.
Dukungan publik
Revisi UU KPK telah membuat KPK lumpuh. KPK tidak bertaji lagi dan pemberantasan korupsi menjadi kehilangan arah. Harapan satu-satunya ada pada dukungan publik.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango pernah mengungkapkan kepada Kompas, kepercayaan dan dukungan masyarakat adalah hal terpenting bagi eksistensi KPK. ”Sangat sulit membayangkan bagaimana lembaga ini bisa eksis saat kepercayaan masyarakat telah tergerus,” tuturnya.
Hal tersebut diungkapkan Nawawi setelah pada Juni 2020 lalu, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat terhadap 591 responden di 33 provinsi. Dari hasil jajak pendapat tersebut, 44,6 persen responden menjawab citra KPK baik. Sementara pada jajak pendapat Januari 2020 terdapat 64,2 persen responden yang menjawab baik.
Baca juga: Modal Sosial KPK Semakin Tergerus
Persepsi masyarakat terkait citra KPK tercatat menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020.
Dari sisi tingkat kepuasan terhadap kinerja KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi, 56,9 persen responden menyatakan tidak puas. Persentase ini lebih buruk dibandingkan jajak pendapat sebelumnya, 35,9 persen.
Persepsi masyarakat akan citra KPK terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020.
Nawawi menuturkan, jika rasa kepercayaan ini tergerus akibat pengaruh dari kekecewaan terhadap kebijakan regulasi yakni revisi terhadap UU 30/2002 dengan terbitnya UU 19/2019, tentu itu ada di luar persoalan KPK sendiri.
Lain halnya jika tergerusnya itu dipandang dari sisi kinerja tim pimpinan yang ada sekarang. Hal tersebut harus dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap segala aspek dan perilaku kinerja pimpinan. Pimpinan harus meresponsnya dengan mengevaluasi kembali model perilaku kinerja yang ada sekarang ini.
Meskipun demikian, seharusnya masih ada yang dapat sedikit menjaga rasa kepercayaan publik terhadap KPK. ”Bukankah arus bawah di lembaga ini masih ’arus semangat’ yang sama dengan rezim kepemimpinan KPK sebelumnya?” tutur Nawawi.
Oce mengajak agar masyarakat sipil kembali bergabung untuk berkonsolidasi. Ia ingin ada model gerakan antikorupsi baru yang perlu digagas bersama-sama untuk menghadang pihak-pihak yang ingin melumpuhkan KPK dan menengguk keuntungan dari melemahnya KPK.
”Revisi UU KPK tidak hanya berdampak pada KPK itu sendiri, tetapi lebih jauh dari itu. Ternyata memiliki efek turunan kepada berbagai macam kebijakan di berbagai sektor. Ada soal minerba (mineral dan batubara). Kemudian belakangan ini kita sedang disibukkan mengkritisi omnibus law. Kemudian berbagai kebijakan lain yang rasanya ini adalah efek turunan dari melemahnya kelembagaan itu,” tutur Oce.