Skema Pesangon Untungkan Pengusaha, Sebagian Dibayar dari Iuran Buruh
›
Skema Pesangon Untungkan...
Iklan
Skema Pesangon Untungkan Pengusaha, Sebagian Dibayar dari Iuran Buruh
Kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tuntas dibahas. Pesangon bagi buruh yang di-PHK tak lagi sepenuhnya ditanggung perusahaan. Sebagian justru dibayar buruh sendiri melalui skema asuransi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Kerja Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat telah menyelesaikan pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Mekanisme pembahasan yang tidak memberi ruang bagi publik kembali disoroti, bahkan dinilai menunjukkan buruknya proses legislasi regulasi yang dibentuk dengan metode omnibus tersebut.
Dalam rapat maraton yang digelar Panitia Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR sejak Jumat hingga Senin (28/9/2020), sejumlah isu krusial menyangkut nasib pekerja telah disepakati.
Hal-hal yang disepakati antara lain mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang detailnya diatur di dalam peraturan pemerintah, tidak lagi di dalam undang-undang; penghapusan upah minimum padat karya; serta dipertahankannya upah minimum kabupaten/kota (UMK), tetapi dengan dua ketentuan, yakni memperhatikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Adapun terkait aturan pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) diputuskan diberikan 32 kali gaji. Rinciannya, 23 kali gaji ditanggung oleh perusahaan dan 9 kali gaji ditanggung oleh negara melalui skema asuransi jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). JKP itu berasal dari iuran buruh sehingga pada dasarnya uang buruh sendiri yang dijadikan pesangon. Skema pesangon ini mengubah ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan 32 kali gaji diberikan sepenuhnya oleh perusahaan.
Dinamika politik mencuat dalam pembahasan karena beberapa fraksi menginginkan kluster ketenagakerjaan itu dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Namun, pada akhirnya, satu fraksi yang tetap ingin kluster itu dikeluarkan adalah Fraksi Nasdem. Delapan fraksi lainnya di DPR setuju kluster itu tetap dibahas. Nasdem sendiri tetap mengikuti pembahasan.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, sedari awal fraksinya meminta kluster itu dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja.
Pembahasan apa pun mengenai kluster tersebut sebaiknya dilakukan terpisah dalam revisi UU Ketenagakerjaan. Sebab, pembahasan kluster itu sangat spesifik pada kepentingan buruh sehingga untuk pembahasannya diperlukan pembicaraan tripartit yang melibatkan buruh sebagai pihak berkepentingan. Namun, karena mayoritas fraksi akhirnya setuju, pembahasan dilanjutkan.
”Kami harus tetap ikut pembahasan untuk mengawal DIM (daftar inventarisasi masalah). Fraksi kami pada dasarnya tetap menginginkan setiap pengaturan di dalam DIM merujuk kembali pada UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini sehingga tidak ada ketentuan di dalam UU Ketenagakerjaan itu yang harus diubah melalui RUU Cipta Kerja,” ujarnya.
Basari, antara lain, menyoal substansi pengaturan pesangon yang memberikan kewajiban 9 kali gaji ditanggung oleh negara melalui mekanisme asuransi JKP.
Sebab, pada dasarnya, dengan sistem asuransi itu, buruhlah yang menyisihkan atau membayar asuransi itu. Dengan demikian, jika terjadi pemberhentian kerja, buruh sendiri yang membayar uang pesangonnya dengan mekanisme tersebut.
”Kalau negara yang menanggung, mana kuat APBN? Jadi, pengaturan yang mengatakan 9 kali gaji itu ditutup oleh JKP, itu sama saja dari buruh dan kembali ke buruh,” katanya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, fraksinya menginginkan keseimbangan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Sebelumnya, Demokrat juga meminta agar kluster itu dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun, senada dengan partai-partai lain, Demokrat akhirnya setuju pembahasan kluster itu diteruskan.
”Jangan sampai pengaturan di dalam RUU Cipta Kerja ini merugikan kepentingan buruh. Namun, melihat perkembangan selama pembahasan, sudah ada kemajuan,” katanya.
Pada Senin, setelah poin-poin utama di dalam RUU Cipta Kerja disepakati, panja melalui tim perumus dan tim sinkronisasi menyisir kembali rumusan dan norma-norma yang dibahas dalam daftar inventarisasi masalah.
Pembahasan dilakukan dengan menyisir 11 kluster yang telah dibahas oleh Baleg DPR. Setelahnya, rumusan draf itu diserahkan kembali kepada panja untuk pengambilan keputusan tingkat pertama antara pemerintah dan DPR.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya, mengatakan, sejumlah jaminan perlindungan bagi buruh memang dikeluarkan dari UU dan diatur dengan PP, misalnya tentang kewajiban 3 tahun pekerja yang terikat dalam PKWT untuk diangkat sebagai pegawai tetap. Demikian halnya dengan kewajiban negara menjamin 9 kali gaji bagi buruh yang terkena PHK, juga diatur melalui PP teknis pelaksanaannya.
”Semua itu akan diatur di dalam ketentuan penutup. Komitmen pemerintah tentu kami pegang. Harus ada jaminan itu dari pemerintah, dan DPR akan mengawasi,” ujarnya.
Proses legislasi buruk
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, saat dihubungi mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja ini mencerminkan kualitas proses legislasi yang buruk.
Pertama, sejak awal perencanaan dan penyusunan draf RUU Cipta Kerja dilakukan tertutup serta tidak melibatkan pihak-pihak berkepentingan, termasuk buruh. Sampai sekarang, ketika RUU Cipta Kerja itu memasuki tahap akhir, keberatan dari publik pun diabaikan.
Khusus pembahasan kluster ketenagakerjaan, pada Sabtu-Senin ini, pembahasan dilakukan di hotel berbintang di Tangerang, Banten. Pimpinan Baleg DPR beralasan ada perbaikan teknis kelistrikan di gedung DPR sehingga rapat dilakukan di luar gedung.
”Dengan menggelar rapat pada saat hari libur dan tidak di dalam gedung DPR, itu saja sudah menunjukkan betapa pembahasan RUU Cipta Kerja ini tidak memberi publik akses secara layak dan terbuka. Kenyataan ini hanya menambah fakta saja dari pembahasan RUU yang memang sejak awal tidak mengakomodasi masukan dari publik, termasuk buruh,” katanya.
Pembahasan RUU Cipta Kerja yang demikian ini, lanjut Charles, sangat berbahaya. Sebab, cakupan RUU ini bukan hanya buruh, melainkan masyarakat banyak.
Dampak dari RUU Cipta Kerja ini juga akan dirasakan oleh kelompok adat, petani kecil, pemerintah daerah, warga sekitar hutan, pemilik tanah, hingga usaha kecil dan mikro. Oleh karena itu, penyusunan dan pembahasan RUU yang cenderung mengabaikan masukan dari publik tidak hanya bertentangan dengan UU, tetapi juga konstitusi.