Kawasan Jabodetabek adalah wilayah agregat, yang terhubungkan setiap hari melalui mobilitas manusianya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan penanganan Covid-19 yang masih memisahkan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek sebagai wilayah masing-masing dipandang skeptis terkait efektivitas penerapan peraturan daerah pembatasan sosial berskala besar di Ibu Kota. Apalagi, wilayah Bodetabek diizinkan pemerintah pusat menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang meningkatkan risiko penyebaran virus korona jenis baru.
”Berdasarkan kajian perilaku masyarakat, perangai apatis kian nyata di warga Jabodetabek akibat semakin menurunnya kepercayaan terhadap kebijakan di pemerintah pusat maupun daerah,” kata Sayifudin, Kepala Laboratorium Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, saat dihubungi di Jakarta, Senin (28/9/2020).
Ia menjabarkan, faktor kejenuhan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian dan kehidupan sosial mereka kian diperparah oleh simpang siurnya kebijakan antara pusat dan daerah, terutama mengenai transparansi anggaran dan pengelolaan bantuan sosial. Beberapa hal yang diamati Laboratorium Pendidikan Sosial UNJ adalah pemberian bansos yang belum sepenuhnya tepat guna dan tepat sasaran di masyarakat. Itu mencakup subsidi upah Rp 600.000 per bulan untuk empat bulan ke depan.
Permasalahan yang dipetakan ialah belum transparannya syarat penerima bantuan, identitas penerima bantuan, serta konsistensi jadwal pemberian bantuan. Selain itu, ada janji keringanan cicilan utang dan subsidi listrik. Baru-baru ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengutarakan akan menyubsidi kuota pulsa internet untuk pendidik, siswa, dan mahasiswa. Akan tetapi, semua inisiatif itu di lapangan banyak menemui hambatan sehingga penerapannya tidak optimal.
Ada pula polemik Kartu Prakerja yang disebutkan akan memberi pelatihan peningkatan keterampilan. Padahal, masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta maupun kondisi Covid-19 tidak memungkinkan menyelenggarakan kegiatan fisik berkumpul yang membahayakan kesehatan. Tumpang tindih kebijakan pemerintah ini memberi preseden buruk bagi masyarakat.
”Apatisme adalah ekspresi kolektif masyarakat menyatakan daripada mengikuti peraturan yang tidak jelas arahnya, lebih baik berbuat seolah keadaan normal dan berkegiatan seperti biasa. Untungnya mental bangsa Indonesia lebih kepada menerima dan pasrah dengan nasib maupun risiko, bukan cenderung anarkistis seperti di India dan Amerika Serikat. Akan tetapi, hal ini bahaya bagi kesehatan dan keselamatan bangsa,” papar Syaifudin.
Risiko pilkada
Satu hal yang berisiko paling besar dalam penyebaran Covid-19 adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Memang DKI Jakarta tidak mengadakan pilkada, tetapi Bodetabek melaksanakannya. Dalam hal ini, pemerintah dinilai gegabah karena ”lupa” melihat Jabodetabek adalah wilayah agregat.
Mayoritas pekerja di Ibu Kota berasal dari Bodetabek. Data Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) tahun 2019 menyebutkan bahwa 80 persen pelaju dengan moda kereta rel listrik berasal dari Depok dan Bogor menuju Jakarta untuk bekerja.
”Jumlah ini belum termasuk orang-orang dari Bekasi dan Tangerang, bahkan lebih jauh lagi seperti Karawang dan Maja yang keluar masuk Jakarta. Pengetatan PSBB dan perda untuk membuat operasi yustisi akan kian sulit diefektifkan jika wilayah satelit Jakarta memaparkan diri pada risiko penyebaran Covid-19. Patut diingat, warga Jakarta memperhatikan kejadian di sekitar mereka. Jangan anggap remeh pengetahuan warga,” ujar Syaifudin.
Sementara itu, dalam seminar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI mengenai ”Belum Terkendalinya Wabah Covid-19 dan Apa yang Harus Dilakukan?”, Guru Besar Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI Ascobat Gani menjelaskan bahwa persentase kasus positif nasional adalah 14,3 persen. Artinya, di setiap kerumunan beranggotakan 100 orang, ada 15 orang yang mengidap Covid-19 walaupun tanpa gejala.
Khusus di Ibu Kota, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani mengungkapkan persentase kasus positif adalah 11 persen. Saat ini ada 12.732 warga Jakarta yang masih dirawat atau menjalani isolasi. Secara keseluruhan sudah 72.177 warga terpapar virus korona baru dengan 57.741 orang sembuh dan 1.704 orang meninggal.