Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia 2045, dibutuhkan penguatan kebijakan kependudukan. Pengendalian kuantitas dan kualitas penduduk penting dengan kebijakan yang disesuaikan kondisi kependudukan setiap provinsi.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia diprediksi akan menjadi negara berpenghasilan tinggi dan kekuatan ekonomi dunia pada 100 tahun kemerdekaannya pada 2045. Namun, untuk mewujudkan impian itu tak mudah. Kesenjangan kuantitas dan kualitas manusia akan menjadi tantangan yang tak mudah diselesaikan.
Pada 2045, Indonesia diproyeksikan akan memiliki 318,9 juta penduduk dengan 72,8 persen tinggal di perkotaan. Jawa nyaris menjadi pulau kota karena lebih dari 90 persen penduduknya berada di kota. Usia harapan hidup ditaksir mencapai 75,5 tahun dengan jumlah warga lanjut usia berumur lebih dari 65 tahun mencapai 44,9 juta jiwa atau empat kali lipat jumlah lansia 2010.
Untuk mencapai penduduk 318,9 juta jiwa itu, angka fertilitas total (TFR) harus dijaga tetap 2,1. (Muhammad Cholifihani)
”Untuk mencapai penduduk 318,9 juta jiwa itu, angka fertilitas total (TFR) harus dijaga tetap 2,1,” kata Direktur Kependudukan dan Perlindungan Sosial Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Muhammad Cholifihani dalam webinar ”Megatren Demografi dan Visi Indonesia 2045” dari Jakarta, Senin (28/9/2020).
Tingkat fertilitas total 2,1 itu berarti setiap perempuan usia subur rata-rata memiliki 2,1 anak. TFR sebesar ini merupakan kondisi ideal agar penduduk tumbuh seimbang, artinya dua anak yang dilahirkan akan menggantikan kedua orangtuanya.
Upaya menjaga TFR ideal itu tidak mudah karena kesenjangan yang tinggi antarprovinsi. Pada 2019, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan TFR 1,80 menjadi provinsi dengan tingkat kelahiran terendah, sedangkan Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan TFR tertinggi 3,26. Saat ini, 21 dari 34 provinsi di Indonesia masih memiliki TFR lebih dari rata-rata nasional sebesar 2,45 pada 2019.
Secara ekonomi, Indonesia ditargetkan memiliki pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita sebesar 23.199 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 336 juta dengan kurs Rp 14.500 per dollar AS pada 2045. Sementara Badan Pusat Statistik menyebut PDB per kapita Indonesia pada Februari 2020 mencapai 4.174,9 dollar AS atau sekitar Rp 60,5 juta. Pada 2045, Indonesia diproyeksikan akan menjadi kekuatan ekonomi kelima dunia.
Untuk mewujudkan cita-cita Indonesia 2045, lanjut Cholifihani, dibutuhkan penguatan kebijakan kependudukan. Pengendalian kuantitas dan kualitas penduduk penting dengan kebijakan yang disesuaikan kondisi kependudukan di setiap provinsi. Pembangunan keluarga juga perlu diperkuat karena keluarga menjadi awal proses pembangunan penduduk.
Masyarakat digital
Presiden Asian Population Association Aris Ananta dari Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, mengatakan masyarakat Indonesia pada 2045 adalah masyarakat digital. Pola itu akan merevolusi mobilitas warga, mereka akan ada di mana-mana, tetapi tidak ke mana-mana.
”Pandemi Covid-19 mempercepat proses revolusi digital. Jika selama pandemi orang dipaksa melakukan imobilitas, setelah pandemi berlalu mereka tetap akan mengalami imobilitas, tetapi dengan sukarela,” tambahnya.
Mereka yang melek digital itu ada pada semua kelompok umur. Lansia berumur lebih dari 65 tahun pada 2045 adalah mereka yang saat ini berumur minimal 40 tahun. Karena itu, mereka yang sekarang belum melek digital dipastikan akan tertinggal.
Konsep keluarga pun akan kembali mengarah ke keluarga besar, tetapi secara digital (extended digital family). Anggota keluarga yang berkumpul di dalam satu rumah mungkin hanya 1-2 orang, tetapi mereka tetap terhubung secara digital dengan anggota keluarga lain yang tersebar di sejumlah kota atau negara.
Pola mobilitas digital masyarakat itu akan memengaruhi suplai tenaga kerja. Masyarakat tak perlu tinggal di satu kota yang sama dengan tempat dia bekerja. Pertemuan di kantor hanya dilakukan jika diperlukan dalam waktu tertentu saja. Selain itu, pekerjaan serabutan yang minim jaminan sosial diyakini akan makin berkembang.
Berkumpulnya masyarakat di perkotaan pada 100 tahun Indonesia merdeka juga akan mengubah pola perkembangan kota. Megakota akan berkembang pesat seiring pertumbuhan kota yang tak terkendali maupun perpindahan penduduk yang terus berlangsung. Kota kecil dan sedang juga akan tumbuh karena masyarakat tak perlu berpindah ke kota besar sepanjang terhubung dengan internet.
Meski demikian, Aris menilai tidak perlu khawatir jika angka fertilitas total (TFR) nantinya di bawah 2,1, seperti yang dipatok pemerintah saat ini. Meski jumlah lansia akan melonjak, mereka adalah lansia digital. ”Baik buruk jumlah lansia yang besar sangat bergantung pada kondisi sosial ekonomi di sekelilingnya,” katanya. Digitalisasi di masyarakat juga akan mengubah sejumlah norma dan meningkatkan kepedulian terhadap hak asasi manusia.
Karena itu, penting untuk menyiapkan lansia mulai dari sekarang. Lansia juga membutuhkan investasi pendidikan, sama seperti anak-anak, sehingga mereka bisa meningkatkan keterampilannya. Saat anak muda didorong untuk berwirausaha, upaya tersebut juga perlu diberikan kepada kelompok pralansia yang pasti akan menjadi lansia di masa mendatang. Upaya saling memahami dan membutuhkan ini bisa meminimalkan benturan antargenerasi yang berpeluang terjadi.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo mengatakan, pengembangan isu kependudukan pada 100 tahun Indonesia membutuhkan cetak biru hingga kebijakan kependudukan yang diterapkan memberikan hasil optimal. Pandemi Covid-19 yang terjadi pada satu tahun jelang puncak bonus demografi membuat penyusunan langkah strategis itu diperlukan agar Indonesia tidak telanjur tua sebelum menjadi kaya.
”Butuh terobosan kebijakan yang menjadikan penduduk sebagai variabel penting dalam pengambilan kebijakan,” katanya.
Persoalan tengkes, disabilitas, hingga kesehatan mental perlu diperhatikan sehingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan. Pembangunan pemuda saat ini juga akan menjadi kunci sukses pembangunan kependudukan nantinya karena merekalah yang akan memegang kendali negara pada 2045.
Staf Khusus Presiden Gracia Billy Yosaphat Y Mambrasar mengingatkan timpangnya kondisi anak dan pemuda di Indonesia. Hanya sebagian kecil anak muda yang memiliki akses internet dan bisa mengenyam pendidikan baik. Namun, di daerah-daerah, banyak anak harus putus sekolah, termasuk karena tidak memiliki akses internet dengan pembelajaran jarak jauh saat ini.
Tingkat pengangguran pemuda juga perlu menjadi perhatian. Karena itu, pengembangan pendidikan vokasi dan kewirausahaan perlu terus didorong. Bukan hanya untuk mengurangi tingkat pengangguran yang tinggi, khususnya di sejumlah daerah yang penganggurannya lebih besar dari rata-rata nasional, melainkan juga untuk menekan kemiskinan.