Ujian Demokrasi Saat Pandemi
Sebagian besar negara yang menggelar pemilu saat pandemi mengalami kenaikan kasus baru Covid-19. Korsel terhindar dari kecenderungan ini. Negara itu menggelar pemilu setelah tren laju infeksi menurun.
Pandemi Covid-19 telah menghadirkan momen yang sangat sulit bagi demokrasi di banyak negara. Ada risiko kesehatan serius dan, bisa jadi, persoalan legitimasi akan dihadapi jika menggelar pemilihan umum di tengah pandemi. Pada akhirnya, pandemi menjadi ujian seberapa berkualitas demokrasi sebuah negara.
Untuk mencegah penyebaran Covid-19, warga selalu diimbau bekerja dari rumah dan tak bepergian kecuali untuk alasan penting. Ribuan sekolah ditutup. Jutaan pelajar menjalani pembelajaran secara daring di rumah masing-masing.
Urusan ibadah pun dibatasi. Shalat Jumat di daerah dengan penularan tinggi sempat ditiadakan. Ibadah haji tahun 2020 bagi calon jemaah internasional juga tidak ada. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi membatasi haji hanya untuk warganya dan ekspatriat di negaranya melalui seleksi.
Baca juga: Arab Saudi Gelar Ibadah Haji Terbatas
Namun, untuk mengantarkan calon kepala daerah ke tampuk kekuasaan politik di daerahnya melalui sarana demokrasi modern—pemilihan umum—semua pembatasan itu tak berlaku. Pemerintah Indonesia memutuskan pemilihan kepala daerah tetap digelar di tengah desakan penundaan dari berbagai komponen masyarakat.
Indonesia tidak sendiri. Amerika Serikat, misalnya, tetap akan mengadakan pemilu presiden 3 November 2020. Sebelumnya, Korea Selatan dan Singapura tetap menggelar pemilu di tengah pandemi. Kemudian Perancis, Jerman, dan Australia juga menyelenggarakan pemilu lokal.
Berdasarkan laporan lembaga International Foundation for Electoral System (IFES) per 25 Agustus 2020, sebanyak 65 negara dan 8 wilayah menunda pelaksanaan pemilu, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun pemilu tingkat kota. Antonio Spinelli, Penasihat Senior Regional untuk Proses Pemilihan dan Partisipasi Politik serta Keterwakilan Institute For Democracy and Electoral Assistance (IDEA) Program Asia Pasifik mengatakan, banyak pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal (provinsi maupun kota), memilih menunda pemilu karena khawatir meluasnya penyebaran Covid-19.
Baca juga: Pilkada Berisiko Memperparah Pandemi
Tahapan pemilu biasanya melibatkan massa, mulai dari kampanye, hari pemilihan, hingga pasca-pemilihan. Hal ini jelas meningkatkan risiko penyebaran virus penyebab Covid-19 secara langsung dan tidak langsung. Rendahnya kedisiplinan warga menerapkan protokol kesehatan, koordinasi pemerintah yang buruk, serta tes dan penelusuran kasus yang tidak optimal membuat proyeksi pemilu di Tanah Air dari sisi risiko kesehatan semakin buruk.
Sementara menunggu pandemi berakhir, bukan jadi pilihan. Namun, jika tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi berakhir, pemilu setidaknya dilakukan ketika kasus Covid-19 sudah terkendali.
Lonjakan kasus
Apakah pemilu menyebabkan lonjakan kasus Covid-19? Council on Foreign Relations menyebut sulit memastikan hal itu. Beberapa negara memang melaporkan adanya lonjakan kasus setelah pemilu. Namun, pemilu tidak bisa dijadikan sebagai penyebab tunggal. Ada faktor lain—mulai dari pelonggaran pembatasan sosial terlalu awal, jumlah tes yang rendah, hingga kasus yang tidak terlaporkan—yang turut memengaruhi jumlah kasus positif.
Belarus, misalnya. Pasca-pemilu, tren penambahan kasus positif Covid-19 di negara itu naik. Negara eks-Soviet tersebut dilanda krisis politik, demonstrasi besar-besaran memprotes hasil pemilu selama berminggu-minggu. Ini berpotensi meningkatkan jumlah kasus positif. Demonstrasi pasca-pemilu dan tren kenaikan kasus terjadi juga di Serbia. Namun, ditengarai hal itu terjadi lebih karena banyak kasus yang tidak terlaporkan sebelum pemilu.
Tren kenaikan kasus setelah pemilu juga terjadi di Singapura (pemilu 10 Juli 2020) dan Polandia (pemilu 28 Juni-12 Juli 2020). Seminggu sebelum pemilu, kasus baru di Polandia masih di bawah 400 sehari. Setelah pemilu, kasus baru terus bertambah hingga mencapai 900 kasus sehari pada pertengahan Agustus 2020. Sementara di Singapura yang pada hari-H pemilu dilaporkan kasus baru di bawah 200 kasus sehari, pada akhir Juli kasus baru sekitar 900 kasus sehari.
Pelonggaran pembatasan yang terlalu awal disebut-sebut turut berkontribusi pada kenaikan kasus di dua negara itu.
Baca juga: Rakyat Singapura Memilih di Tengah Pandemi Covid-19
Di sisi lain, Korea Selatan yang juga menggelar pemilu legislatif, 15 April lalu, melaporkan nol kasus dari penyelenggaraan pemilu. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi di Wisconsin, Amerika Serikat, setelah pemilihan pendahuluan, April lalu.
Baca juga: Korea Selatan Gelar Pemilu di Tengah Pandemi
Tunggu terkendali
Apabila berkaca pada Kosel, satu hal yang patut menjadi perhatian semua negara yang akan mengadakan pemilu adalah pemilu digelar ketika tren laju infeksi baru Covid-19 menurun. Setelah mencapai puncaknya pada 29 Februari dengan 909 kasus sehari, tren penambahan kasus positif di Korsel terus turun.
Pada hari pencoblosan, Korsel melaporkan 27 kasus baru. Tidak ada lonjakan kasus setelah itu. Bahkan, sampai 10 Mei 2020, jumlah kasus baru tidak pernah lebih dari 20 per hari.
Untuk mencegah penyebaran, protokol kesehatan standar, seperti mengukur suhu tubuh, mengenakan masker, menjaga jarak, menyediakan sarana cuci tangan, dan mengenakan sarung tangan, menjadi kewajiban pemilih dan panitia pemungutan suara di Korsel. Bahkan, petugas TPS yang melayani warga yang sedang menjalani isolasi mandiri memakai alat pelindung diri (APD) lengkap untuk mencegahnya tertular.
Komisi Pemilu Nasional (NEC) Korsel juga mengembangkan dua mekanisme yang bisa digunakan pemilik hak suara untuk tetap menggunakan hak suara di tengah pandemi. Pertama, pemungutan suara awal dan waktu pemungutan suara yang ditambah bagi warga Korsel yang tengah menjalani isolasi mandiri di rumah atau lokasi tertentu agar tidak terjadi penumpukan pemilih di satu TPS tertentu. Kedua, memisahkan jam pemungutan suara bagi warga yang menjalani isolasi mandiri dan tidak.
Secara teknis, penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi lebih rumit dan mahal. Korsel mengeluarkan anggaran ekstra hingga 16 juta dollar AS untuk memastikan protokol kesehatan yang ketat selama pemilu. Pengalaman Korea Selatan menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi tanpa menimbulkan lonjakan kasus positif itu barangkali bukan sesuatu yang gampang ditiru negara lain.
Baca juga: Rumit dan Mahal, Penyelenggaraan Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19
Spinelli mengatakan, kedisiplinan tidak hanya ditunjukkan oleh para petugas TPS yang rata-rata masih berada pada usia produktif, tetapi juga oleh para calon pemilih. Mereka rela mengantre cukup lama, menjaga jarak satu sama lain sekitar 1 meter, sebelum bisa menggunakan hak suaranya.
Itu berbeda dengan pelaksanaan pemilihan perdana menteri di Israel, awal Maret lalu. Meski petugas TPS mengenakan APD lengkap, calon pemilih tidak cukup teratur untuk menjaga jarak dalam antrean. Tidak jarang mereka bergerombol dan berbicara satu sama lain dalam jarak yang cukup dekat.
Ashley Quarcoo, peneliti pada lembaga Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan, tidak sedikit pemerintahan yang ”memaksakan” pelaksanaan pemilihan di tengah pandemi untuk menjamin proses politik dan juga pelaksanaan transisi demokrasi yang baik tetap berlangsung.
Namun, urusan demokrasi bukan semata pemilu. Demokrasi dilandasi semangat mendengarkan dan mengakomodasi suara publik, si pemberi mandat. Ketika pemilu tetap dipaksakan di tengah penolakan publik, hal itu sebenarnya telah menyemai krisis legitimasi.