Antisipasi Risiko Tsunami di Selatan Jawa
Kajian terbaru menunjukkan potensi tsunami setinggi 20 meter di selatan Jawa. Hal itu menjadi momentum untuk mengevaluasi tata ruang dan strategi mitigasi di kawasan ini.
Jejak tsunami raksasa di selatan Jawa telah banyak ditemukan dalam satu dekade terakhir. Namun, pembanguan di kawsan ini justru semakin marak, termasuk Bandara Internasional Yogyakarta. Kajian terbaru tentang potensi tsunami 20 meter di selatan Jawa menjadi momen untuk mengevaluasi kembali tata ruang dan strategi mitigasi di kawasan ini.
Beberapa hari setelah tsunami melanda pada 17 Juli 2006, Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto datang ke tapak bencana di Pangandaran. Dia menelusuri kawasan pesisir untuk memetakan jangkauan tsunami itu.
Sekitar 350 meter dari pantai, Eko menemukan jejak tsunami tua berupa lapisan pasir halus yang kaya fosil kerang foraminifera di singkapan tebing Sungai Cikembulan. Jenis kerang ini biasanya ada di dasar laut dalam, yang biasanya terdampar jauh ke daratan karena tsunami besar di masa lalu.
Analisis carbon dating (C-14) terhadap sisa tanaman yang ditemukan di lapisan tsunami ini menujukkan angka sekitar 400 tahun lalu. Angka inilah yang kemudian dianggap sebagai momen terjadinya tsunami di masa lalu.
Penelusuran lebih lanjut di sepanjang pesisir selatan Jawa, dari Lebak, Banten, hingga Pacitan, Jawa Timur, menemukan jejak lapisan tsunami dengan umur yang sama. Bahkan, jejak tsunami juga ditemukan hingga di selatan Bali.
Baca juga: Potensi Tsunami di Selatan Jawa Bisa Mencapai 20 Meter
Eko menyimpulkan, tsunami yang melanda 400 tahun lalu itu pasti jauh lebih dahsyat daripada tsunami 2006 karena melanda garis pantai sepanjang lebih dari 800 meter. ”Kemungkinan tsunami sedahsyat Aceh 2004,” katanya.
Tak hanya sekali, berdasarkan jejak deposit tsunami, kehancuran di selatan Jawa telah terjadi berulang kali. Peneliti paleotsunami Pusat Geoteknologi LIPI, Purna S Putra, mengatakan, selain deposit tsunami berumur sekitar 400 tahun lalu, juga ditemukan deposit 1.000 tahun lalu, 1.800 tahun lalu, dan 3.000 tahun lalu.
Data perulangan tsunami di selatan Jawa ini kemungkinan lebih banyak lagi, tetapi belum ditemukan karena keterbatasan penelitian. ”Di pesisir Sukabumi kami juga menemukan 9 lapisan deposit tsunami di kedalaman 14 meter, tetapi ini belum diperiksa penanggalannya kapan terjadi,” tuturnya.
Di pesisir Sukabumi kami juga menemukan 9 lapisan deposit tsunami di kedalaman 14 meter, tetapi ini belum diperiksa penanggalannya kapan terjadi.
Serangkaian temuan bukti tsunami di selatan Jawa ini yang kemudian ditulis Eko dan Purna bersama geolog Amerika Serikat, Ron Harris, di Society of Exploration Geophysicist (2019). ”Data lebih rinci sedang kami tulis untuk jurnal,” kata Purna.
Selain kajian Emile A Okal di Geophysical Journal International (2012), bukti deposit tsunami 400 tahun lalu inilah yang menjadi dasar perhitungan energi gempa yang tersimpan di celah seismik di zona penunjaman lempeng di bawah Laut Selatan Pulau Jawa oleh S Widiantoro dari Global Geophysics Research Group, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan tim.
Hasil kajian mereka kemudian dipublikasikan di jurnal Nature pada Kamis (17/9/2020). Para peneliti awalnya mengidentifikasi celah seismik di antara pantai selatan Jawa dan Palung Jawa. Celah seismik merupakan zona kegempaan aktif yang menyimpan tenaga dan berpotensi gempa besar di masa depan.
Menurut mereka, celah seismik yang memanjang ini bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat gempa. Jika segmen di selatan Jawa Barat saja yang lepas, gempa yang dihasilkan bisa M 8,9 dan segmen di Jawa Tengah-Jawa Timur bisa memicu gempa M 8.8. Sedangkan jika kedua segmen pecah bersamaan, akan berkekuatan M 9,1.
Berikutnya, mereka memodelkan potensi ketinggian tsunami jika gempa itu terjadi dengan tiga skenario, yaitu hanya segmen Jawa Barat yang lepas, segmen Jawa Tengah dan Jawa Timur saja yang lepas, dan segmen Jawa bagian barat dan timur lepas bersamaan.
Baca juga: Tujuh Lapis Tsunami di Selatan Jawa Ditemukan
Skenario terburuk, yaitu jika segmen Jawa Barat hingga Jawa Timur runtuh bersamaan dapat menghasilkan tsunami dengan ketinggian maksimum 20,2 m di dekat pulau-pulau kecil di sebelah selatan Banten. Sementara tinggi tsunami rata-rata di sepanjang pantai selatan Jawa mencapai 4,5 meter. Ketinggian tsunami bahkan bisa lebih besar lagi jika gempa memicu longsor bawah laut, seperti yang terjadi dalam gempa bumi M 7,5 di Palu pada 2018.
Implikasi temuan
Kajian dari Widiantoro dan tim ini menggenapi serangkaian riset sebelumnya yang mengukuhkan tingginya risiko gempa dan tsunami di selatan Jawa. ”Saat ini yang lebih penting sebenarnya langkah mitigasinya, apalagi pembangunan di pesisir selatan Jawa sangat masif, termasuk Bandara Yogya,” kata Eko.
Bandar Udara Internasional Yogyakarta di pantai Kulon Progo ini dibangun di atas deposit tsunami. Jejak tsunami dekat tapak bandara itu ditemukan Eko dan tim pada penggalian tanah berjarak 2 kilometer dari pantai pada Juli 2018.
Sebelum bandara dibangun, peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, sudah mengingatkan risiko tsunami dan menyarankan memilih lokasi lebih aman (Kompas, 10 Juni 2014). ”Toh, bandara tetap dibangun, sekarang yang harus dipikirkan mitigasinya,” kata Widjo.
Baca juga: 25 Tahun Tsunami Senyap Banyuwangi
Gempa bumi bisa dimitigasi dengan rekayasa bangunan. ”Namun, tidak ada bangunan tahan tsunami, bahkan tanggul raksasa seperti di Jepang tidak bisa menjadi jaminan. Paling yang bisa dilakukan mengosongkan lantai bawah bangunan dengan banyak bukaan sehingga air tsunami bisa lewat,” ujarnya.
Selain bangunan bandara, yang lebih dikhawatirkan adalah perkembangan ekonomi yang mengikutinya. Bandara pasti menjadi magnet ekonomi baru dan akan diikuti pembangunan lainnya, termasuk perumahan. ”Harus ada tata ruang yang tegas mengatur bahwa kawasan ini zona merah,” kata Widjo.
Eko mengatakan, pembangunan bandara dan sejumlah bangunan publik lain di pesisir selatan Jawa bertentangan dengan pola ruang tradisional kawasan ini yang menjauhi pantai. Berdasarkan peta Belanda tahun 1800-an, lokasi permukiman di pantai selatan Jateng dan DIY rata-rata berada di sebelah utara Jalan Daendels jalur selatan.
Bahkan, hingga awal 1900-an, kawasan di pesisir selatan Jawa yang relatif berkembang hanya Cilacap, kota yang dibangun Belanda. Seperti ditulis Ahmad Wongsosewodjo dalam bukunya, Berkeliling Hindia: Tanah Djawa Keradjaan Lama (1937), ”Di pantai selatan seluruh tanah Jawa, hanya Cilacap sajalah bandar pelabuan yang diperbaiki gubermen dan yang disinggahi kapal.”
Berjaraknya pola hunian tradisional dari pantai ini, menurut Eko, kemungkinan karena masyarakat Jawa lama memiliki pengetahuan tentang bahaya besar yang pernah melanda dari laut selatan, yang kerap dikisahkan dalam legenda Ratu Kidul.
Selama berabad-abad, pengetahuan lokal ini menjaga pesisir yang berisiko ini sepi dari hunian, tetapi belakangan mulai diabaikan. Padahal, ancaman dari Laut Selatan Jawa itu nyata adanya.
Perlu diingat, gempa bumi berkekuatan M 7,7 yang diikuti tsunami di Pangandaran pada 2006 telah menewaskan 668 orang dan 9.299 orang lainnya luka-luka. Bagaimana jika gempa bumi berkekuatan di atas M 9 terjadi, sudah siapkah kita?